JAKARTA - Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho mengkritik keras klaim Satuan Tugas (Satgas) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah menyita aset tanah para obligor dengan nilai Rp19 triliun. Pasalnya, nilai aset yang disita itu tidak mencerminkan nilai sebenarnya lantaran sudah menyusut.
Karena itu, dia meminta menghentikan pernyataan yang terkesan bombastis tersebut.
“Satgas BLBI musti ingat, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu melakukan kekeliruan yang sama yakni perkiraan nilai aset sudah dihitung sebagai nilai pembayaran hutang. Namun setelah dijual, ternyata nilai tunai hanya 5 persen dari perkiraan," ujar Hardjuno Wiwoho dalam diskusi "Mengurai Benang Kusut BLBI", di Jakarta, Minggu 3 April.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Moh. Mahfud MD mengatakan sejak Satgas BLBI dibentuk hingga saat ini, telah berhasil menyita sejumlah aset dan nilainya mendekati Rp20 triliun.
“Sampai saat ini, Satgas BLBI sudah berhasil menyita aset tanah sebesar 19.988.942,35 meter persegi yang kalau dinilai dengan uang seluruhnya dengan perhitungan konservatif dengan hitungan rata-rata sebesar Rp19.134.633.815.293,” paparnya.
Hardjuno menjelaskan klaim Menko Polhukam, Mahfud MD bahwa Satgas telah menyita aset obligor sebanyak 19 juta meter dengan perhitungan rata-rata nilainya Rp19 triliun adalah pernyataan berbahaya dan berimplikasi hukum.
BACA JUGA:
Sebab, aset sitaan, bukanlah sitaan tunai dan belum masuk kas negara sehingga belum bisa dihitung. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menyatakan sitaan tanah itu nilainya sekian dan ternyata setelah dilelang nilainya jauh dari perkiraan, hal itu bisa disebut sebagai korupsi karena merugikan negara.
“Ingat BPPN menerima aset lalu sudah dikatakan nilainya sekian-sekian, hutang obligor lunas, dikasih SKL (Surat Keterangan Lunas). Ternyata setelah dijual nilainya hanya 5 persen dari perkiraan. Ini siapa yang tanggung jawab? Seharusnya bisa disebut sebagai korupsi karena rugikan negara, ini kesalahan fatal yang jangan diulang lagi,” papar Hardjuno.
Pada intinya, Hardjuno menegaskan, Satgas jangan pernah menilai dari valuasi aset seperti tanah yang disita, karena bisa saja nilainya di mark up. Yang harus dinilai adalah ketika aset tersebut sudah dijual dan hasil penjualannya sudah disetorkan ke kas negara sebagai pengembalian kerugian negara.
“Jadi jelas ya, angka klaim Satgas BLBI sudah sukses menyita aset sebesar Rp 19,1 trilliun itu hanyalah angka perkiraan yang cenderung kosong melompong. Tanah-tanah sitaan yang dulu diklaim Rp9,8 triliun itu dan sekarang tambah lagi ini, kita perkirakan jika dilelang nilainya tak lebih dari Rp1-2 triliun,” tandas Hardjuno.