Bagikan:

JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan polemik harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertamax dan tidak meninggalkan PT Pertamina (Persero) di tengah pilihan dilematis.

Hal ini seiring dengan harga jual Pertamax di pasaran saat ini yang sudah terlalu murah dibanding harga keekonomiannya yang berada di level Rp14.526 per liter. Padahal seperti diketahui, Pertamina masih menjual Pertamax Series di kisaran harga Rp9.000 hingga Rp9.400 per liter.

"Memang soal harga Pertamax ini murni soal corporate approach dari Pertamina, karena dia (Pertamina) bukan BBM subsidi. Tapi pemerintah menurut Saya harus turun tangan. Minimal mendukung (pertamina). Jadi misal Pertamina sudah memutuskan harga naik, jangan kemudian malah 'cuci tangan' atau seolah-olah tidak tahu situasi. (Pemerintah) Harus dukung (Pertamina)," ujar Ketua YLKI, Tulus Abadi, kepada media, Rabu, 23 Maret.

Atau bahkan bila dirasa dibutuhkan, menurut Tulus, pemerintah juga bisa mengambil alih pengumuman kenaikan harga pertamax dari Pertamina dan lalu dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Agar masyarakat bisa lebih tenang, bahwa kenaikan harga ini sudah sepengetahuan pemerintah. Agar kalau ada protes, kritik dan sebagainya, Pertamina tidak jadi sasaran tembak. Pemerintah harus pasang badan untuk Pertamina," tutur Tulus.

Namun bila pemerintah tidak cukup berani untuk mengambil risiko tersebut, lanjut Tulus, maka konsekuensi logisnya adalah pemerintah harus rela membayar ganti rugi kepada Pertamina sebesar selisih harga jual dan harga keekonomian yang memuat Pertamina merugi. "Jadi tinggal pilih, mau bayar selisih harga atau pasang badan untuk bertanggung jawab atas kenaikan harga pertamax. Jadi jangan sampai justru pemerintah yang berlindung di belakang Pertamina atas opsi kenaikan harga ini," tegas Tulus.