Bagikan:

JAKARTA - Perlawanan hukum PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) terkait penjualan tiket umrah yang dinilai melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha, telah berakhir di tangan Mahkamah Agung (MA). Lembaga hukum tertinggi di Tanah Air ini memutuskan menolak upaya kasasi yang diajukan Garuda Indonesia.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pun merespons keterangan resmi yang disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai hasil putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperkuat keputusan KPPU perihal perkara pelanggaran Undang-undang Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 1999. Keputusan tersebut mengenai penjualan tiket umrah pada tahun 2019 lalu.

Irfan mengatakan Garuda Indonesia sepenuhnya menghormati ketetapan hukum terkait putusan KPPU dimaksud.

"Saat ini Garuda Indonesia masih menunggu pemberitahuan resmi dari MA untuk kemudian dipelajari lebih lanjut guna memastikan tindak lanjut dalam kaitan upaya kepatuhan terhadap aspek legalitas yang berlaku berjalan dengan optimal. Termasuk pemenuhan kewajiban perusahaan terhadap putusan KPPU tersebut," katanya dalam keterangan resmi, Rabu, 23 Maret.

Menurut Irfan, hal ini sejalan dengan komitmen perusahaan untuk senantiasa mengedepankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Salah satunya dengan memastikan kegiatan bisnis yang dijalankan perusahaan selaras dengan iklim persaingan usaha yang sehat.

"Selaras dengan misi tersebut, guna memperkuat ekosistem industri penerbangan yang kondusif, Garuda Indonesia secara berkesinambungan juga telah melakukan penyesuaian skema bisnis penjualan tiket umrah sejak akhir tahun 2019 lalu, dimana seluruh penyedia jasa perjalanan umrah yang telah memiliki izin resmi dari otoritas terkait dapat menjadi mitra usaha penjualan tiket penerbangan Garuda Indonesia untuk perjalanan umrah," ucapnya.

Irfan juga menekankan bahwa pihaknya meyakini iklim usaha yang sehat merupakan pondasi penting dalam upaya peningkatan daya saing industri penerbangan pada umumnya, termasuk Garuda sebagai pelaku industri penerbangan nasional.

"Karenanya, dalam menjalankan kegiatan bisnisnya Garuda Indonesia senantiasa berkomitmen untuk terus menjunjung tinggi penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam praktik tata kelola perusahaan, khususnya di tengah tantangan industri penerbangan pada situasi pandemi saat ini yang berdampak signifikan terhadap kinerja Garuda Indonesia," tuturnya.

Garuda wajib bayar Rp1 miliar

Seperti diketahui, MA menolak kasasi Garuda Indonesia. Putusan tersebut menguatkan putusan KPPU atas perkara praktek diskriminasi perseroan terkait pemilihan mitra penjualan tiket umrah menuju dan dari Jeddah dan Madinah.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur menjelaskan dengan adanya putusan MA tersebut, maka putusan KPPU telah berkuatan hukum tetap, sehingga Garuda Indonesia wajib untuk melaksanakan putusan.

"Khususnya pembayaran denda sebesar Rp1 miliar kepada kas negara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari," katanya dalam keterangan resmi, Senin, 21 Maret.

"Apabila terlambat melakukan pembayaran denda, maka Garuda Indonesia dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 2 persen per bulan dari nilai denda," sambungnya.

Sekadar informasi, perkara ini bermula dari laporan masyarakat mengenai dugaan praktek diskriminasi yang dilakukan Garuda Indonesia terkait upaya penutupan akses saluran distribusi penjualan langsung tiket umrah menuju dan dari Jeddah dan Madinah oleh perseroan melalui Program Wholesaler.

Dalam laporan, masyarakat dan/atau pelaku usaha merasa dirugi dan/atau didiskriminasi akibat perilaku Garuda Indonesia yang membatasi akses langsung pembelian tiket untuk tujuan umrah hanya kepada lima pelaku usaha, bahkan awalnya hanya kepada tiga  pelaku usaha.

Pembatasan akses tersebut dilakukan melalui terbitkannya GA INFO menyatakan bahwa mulai 1 Maret 2019, pembelian tiket Middle East Area (MEA) yang merupakan rute umrah hanya dapat dilakukan melalui lima mitra dari Garuda Indonesia.

Dalam persidangan, KPPU menilai bahwa tindakan Garuda Indonesia yang menunjuk keenam pelaku usaha sebagai wholesaler tanpa melalui proses penunjukan yang dilakukan secara terbuka dan transparan, tidak didasarkan pada persyaratan dan pertimbangan yang jelas dan terukur, serta adanya inkonsistensi dalam rasionalitas penunjukan wholesaler.

KPPU juga menilai tindakan Garuda Indonesia tersebut membuktikan adanya praktik diskriminasi terhadap setidaknya 301 pelaku usahapotensial dalam mendapatkan akses yang sama.

Pemeriksaan telah dilakukan oleh KPPU sampai dengan dibacakannya Putusan dalam Sidang Majelis Komisi KPPU pada tanggal 8 Juli 2021.

"Putusan tersebut pada pokoknya menyatakan Garuda Indonesia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 dan mengenakan denda kepada GIAA sebesar Rp1 miliar," kata Deswin.

Namun, saat itu Garuda Indonesia mengajukan mengajukan upaya hukum Keberatan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 29 Juli 2021 dengan Register Perkara Nomor 03/Pdt.Sus-KPPU/2021/PN Niaga Jkt Pst. Keberatan ini kemudian diputus pada tanggal 3 Desember 2021 dengan amar Menolak Permohonan Keberatan dari GIAA dan memertahankan Putusan KPPU.

Garuda Indonesia tidak menerima putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, sehingga mengajukan Kasasi pada tanggal 3 Januari 2022. Kemudian diputuskan oleh MA pada tanggal 9 Maret 2022 dengan amar putusan ditolak terhadap permohonan kasasi tersebut.