Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan tanggapan atas pertanyaan pengusaha Chairul Tanjung (CT) pada sebuah diskusi mengenai keuangan negara. Dalam kesempatan tersebut Menkeu menjelaskan bahwa peningkatan rasio utang kali ini tidak lepas dari peran negara dalam melindungi rakyat.

Diungkapkan jika kondisi pandemi membuat pemerintah harus mengambil tindakan cepat meskipun berimplikasi terhadap beban APBN. Disisi lain, pendapatan negara dipastikan menurun akibat sektor ekonomi yang berhenti beroperasi.

“Pertama adalah uang negara (APBN) itu digunakan sesuai dengan tujuan Undang-Undang. Nah, instrumen ini mengalami shock yang besar dengan dropnya penerimaan sebesar 18 persen karena dunia usaha berhenti. Sementara kita dihadapkan pada dampak pandemi, seperti ancaman kesehatan, ancaman PHK, ancaman sosial, serta sektor keuangan bisa mengalami ambruk dan krisis kalau tidak ditangani,” ujarnya melalui kanal CNBC, Selasa, 22 Maret.

Untuk itu, upaya pemerintah dengan melakukan penarikan utang cukup relevan di demi memitigasi risiko sedini mungkin dari pandemi. Satu hal yang ditekankan oleh Menkeu adalah pemerintah membuka ruang penarikan utang dengan memperlebar defisit anggaran dan bukan memperbesar rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB).

Situasi inilah yang membuat Menkeu yakin bahwa kemampuan negara dalam melaksanakan kewajiban pembayaran bisa terpenuhi.

“Walaupun APBN juga mengalami ancaman (defisit anggaran), dia harus hadir untuk bisa menghentikan berbagai ancaman-ancaman kepada rakyat yang tadi saya sebutkan. Makanya kita katakan defisit bisa diatas 3 persen tapi rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen. Nah, rasio yang 60 persen ini yang tidak kita utak-atik,” tuturnya.

Lebih lanjut, Menkeu menerangkan pula jika beban anggaran sektor kesehatan mengalami peningkatan signifikan akibat COVID-19.

“Pada 2020 kesehatan kita anggarkan Rp75 triliun dan terserap Rp55 triliun. Lalu pada 2021 melonjak ke Rp220 triliun. Semua itu adalah instrumen APBN untuk menyelamatkan masyarakat,” sambung dia.

Kemudian, bendahara negara juga menerangkan bahwa dana yang diperoleh dari utang tersebut kini memberikan efek positif. Katanya, sektor penerimaan negara sudah mulai pulih berkat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dijalankan dalam tiga tahun terakhir.

“Kita lihat pada 2020 pendapatan negara drop 18 persen. Tahun 2021 meningkat di atas 20 persen. Semetara untuk 2022 dalam dua bulan ini penerimaan kita sudah di atas 30 persen. Jadi inilah yang menggambarkan bahwa APBN itu tools. Saat dibutuhkan dia harus kerja keras. Pada saat dia sudah mulai bisa sehat, dia harus menyehatkan diri,” tegasnya.

Sebagai informasi, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR sepakat untuk memperlebar ruang defisit anggaran (APBN) menjadi sekitar 6 persen sejak 2020 hingga 2022. Pada periode 2023, defisit harus kembali lagi ke aturan awal di bawah 3 persen. Amanat itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Sementara itu ketentuan rasio utang yang diperbolehkan oleh konstitusi maksimal sebesar 60 persen dari PDB. Data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa posisi utang hingga akhir Januari 2022 adalah sebesar Rp6.919,15 triliun atau setara dengan 39,63 persen terhadap PDB.

Adapun pertanyaan yang dilontarkan CT kepada Sri Mulyani adalah seputar bagaimana respon pemerintah untuk meng-counter pandangan miring soal utang yang melambung di masa pandemi saat ini.

“Pandemi harus membuat Indonesia mengeluarkan Undang-Undang yang memperbesar defisit, sehingga utang kita bertambah. Namun ini bukan cuma fenomena Indonesia. Seluruh negara banyak melakukan hal itu. Tapi para pengamat selalu meributkan: Menteri Keuangan tukang ngatang. Nah bagaimana ibu menjelaskan fenomena ini?” tanya Chairul Tanjung kepada Menkeu Sri Mulyani dalam diskusi tersebut.