Kemendag Curigai Masyarakat Menimbun Minyak Goreng Gara-Gara <i>Panic Buying</i>, YLKI: Harus Dibuktikan Benar Tidaknya!
Ilustrasi. (Foto: Maria Trisnawati/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Minyak goreng mengalami kelangkaan sejak pemerintah mengambil kebijakan untuk menstabilkan harga minyak dengan menetapkan harga menjadi Rp14.000 ribu per liter pada awal 2022. Kelangkaan tersebut membuat Kementerian Perdagangan mencurigai masyarakat panic buying sehingga menimbun minyak goreng.

Menanggapi hal ini, Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto meminta agar pernyataan tersebut dapat dibuktikan secara langsung oleh pemerintah.

"Pernyataan dari kemendag perlu di buktikan apakah memang benar terjadi penimbunan di tingkat masyarakat, itu harus dibuktikan apakah benar memang itu terjadinya di masyarakat atau di tingkat yang lebih tinggi misalnya di pedagang ataupun di distributor," ujar Agus saat dikonfirmasi, Rabu, 9 Maret.

Menurut Agus, dugaan tersebut rasanya tidak beralasan cukup kuat mengingat kemampuan masyarakat sebagai konsumen untuk menampung minyak goreng tersebut tidaklah banyak. Namun, kata Agus, berbeda halnya jika masyarakat tersebut berniat untuk menjual kembali minyak yang telah didapatnya.

"Karena kalau di tingkat masyarakat seberapa banyak si masyarakat bisa menimbun, konsumen itu kan ketika menimbun pasti tidak akan bisa banyak. Kecuali kalau dia akan dijual kembali artinya kan bukan konsumen bukan end user kalau dia membeli lalu dijual kembali berarti dia kan sebagai penjual," ujarnya.

Untuk itu, menurut Agus, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah memastikan mekanisme penyaluran bisa tepat sasaran dan tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

"Jadi yang perlu diperhatikan pemerintah bagaimana mekanisme penyaluran itu bisa tepat sasaran dan tidak terjadinya potensi panic buying dan penimbunan itu yang harus diperhatikan," ungkapnya.

Senada, anggota Komisi VI Andre Rosiade mengaku heran dengan pernyataan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menyebut kelangkaan minyak goreng lantaran ditimbun oleh masyarakat. Menurut dia, dengan sulitnya mendapatkan minyak goreng di pasaran, tidak mungkin masyarakat bisa melakukan penimbunan.

"Minyak gorengnya aja raib, gaib, gimana masyarakat punya akses untuk menimbun," tuturnya dalam diskusi visual, Selasa, 8 Maret.

Andre mengaku khawatir minyak goreng akan semakin sulit untuk didapatkan saat bulan Ramadan. Sebab, permintaan minyak goreng akan segera meningkat memasuki bulan Ramadan. Bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari negara-negara berpenduduk muslim.

Karena itu, lanjut Andre, permasalahan kelangkaan minyak goreng menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pemerintah.

"Kalau besok masuk bulan Ramadan barang itu bisa benar-benar bukan gaib, saya bingung juga apa bahasanya. Ini yang harus jadi PR pemerintah," ucapnya.

Sebelumnya diberitakan, Inspektur Jenderal Kemendag Didid Noordiatmoko menjelaskan bahwa saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan sehingga kelangkaan terhadap produk tersebut seharusnya dapat teratasi paling lambat akhir Maret 2022.

Namun, kata Didid, muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang yakni panic buying. Hal tersebut karena harga minyak goreng yang terjangkau sehingga membuat masyarakat membeli melebihi kebutuhan.

Padahal, kata Didid, hasil riset lah menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Sehingga dengan hasil tersebut maka banyak rumah tangga yang menyetok minyak goreng.