IMF Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022 jadi 5,6 Persen, Faktor COVID-19 Masih Rentan
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada sepanjang 2022 akan berada pada angka 5,6 persen. Level tersebut lebih rendah dari prediksi sebelumnya di Oktober 2021 yang sebesar 5,9 persen.

“Munculnya varian COVID-19 yang lebih agresif dapat memberi tekanan lebih lanjut pada sistem kesehatan dan menyebabkan pembatasan mobilitas baru, dan risiko serta dampak dari kondisi keuangan global yang lebih ketat juga memberikan pengaruh,” kata pejabat IMF Cheng Hoon Lim dalam keterangannya dikutip Rabu, 26 Januari.

Menurut dia, beberapa penguatan tahun ini didukung oleh pemerintah Indonesia yang terus merespon dengan kebijakan strategis dan komprehensif untuk melindungi warga negara, termasuk memastikan sektor pendapatan masyarakat yang terdampak pandemi. IMF menganggap tindakan pemerintah telah berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan.

“Perekonomian pulih dengan kecepatan tinggi. Lonjakan varian Delta memperlambat pemulihan ekonomi pada pertengahan 2021, tetapi pertumbuhan meningkat pada kuartal selanjutnya dan diperkirakan terus terjadi hingga 2023. Adapun, tahun ini bakal ditopang harga komoditas global yang menguntungkan, pelonggaran pembatasan aktivitas, dukungan kebijakan yang berkelanjutan, dan peningkatan mobilitas serta kepercayaan diri saat program vaksinasi meluas ke daerah-daerah yang lebih terpencil,” ucap Lim.

Defisit 3 Persen di 2023

Dalam kesempatan tersebut lembaga global itu menyampaikan apresiasi atas upaya Indonesia untuk mengembalikan tingkat defisit anggaran maksimal 3 persen PDB (produk domestik bruto) pada 2023 mendatang.

Dikatakan jika konsolidasi keuangan publik dengan menghapus dukungan darurat COVID-19, sambil mengakomodasi kebutuhan yang berkelanjutan untuk pengeluaran untuk kesehatan dan perlindungan sosial selama pandemi berlanjut adalah tepat.

“Tim IMF memuji pihak berwenang atas komitmen mereka untuk kembali ke pagu defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB pada 2023,” tutur Lim.

Lebih lanjut, inflasi yang masih lebih rendah dibandingkan negara berkembang dan negara maju lainnya memungkinkan Bank Indonesia (BI) untuk mendukung pemulihan melalui kebijakan yang akomodatif. Inflasi sendiri diperkirakan akan meningkat secara bertahap dalam kisaran 3 persen plus minus 1 persen.

“Realisasi fiskal yang lebih kuat pada 2021 akan mengurangi trade-off antara pelonggaran kebijakan luar biasa dan penyediaan dukungan kebijakan makroekonomi yang memadai. Meskipun pinjaman pemerintah meningkat di tengah pandemi, utang sektor publik Indonesia tetap rendah dan akan tetap berkelanjutan bahkan jika guncangan ekonomi makro yang merugikan terjadi,” tegas dia.