Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang menetapkan batasan rasio utang maksimal 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet kurang tepat. Pasalnya, dia menilai persentase tersebut terlalu tinggi untuk Indonesia.

“Rasio utang ini merupakan angka yang diadopsi dari Maastricht Treaty. Angka 60 persen tersebut muncul dari nilai tengah rasio utang pemerintah negara-negara Eropa pada saat itu,” ujarnya kepada VOI pada Senin, 24 Januari.

Menurut Rendy, karakteristik sejumlah besar negara di benua biru tersebut cukup berbeda dengan kondisi RI.

“Dari sini saja poin kritik bisa disampaikan, karena tentu kondisi fiskal antara negara-negara Eropa dan negara bekembang (yang kemudian mengadopsi angka ini) berbeda,” tuturnya.

Rendy memaparkan, dalam laporan bertajuk Forward-looking Macroeconomic Policies–Re-examining Inflation and Debt Limits yang diterbitkan oleh UNESCAP, terungkap bahwa poin mendasar yang menjadi pembeda.

“Disebutkan angka 60% persen itu lebih cocok untuk negara yang dikategorikan sebagai negara maju. Sementara, rasio utang terhadap negara berkembang disarankan berada pada kisaran level 40 persen dan tidak berlangsung dalam jangka yang cukup panjang,” tegasnya.

Asal tahu saja, dalam laporan APBN Kita edisi Januari 2022 diketahui bahwa utang utang pemerintah hingga akhir Desember 2021 tercatat sebesar Rp6.908,87 triliun atau 41 persen dari PDB. Adapun, rasio utang 60 persen mengacu pada Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 serta Undang-undang APBN.

“Tentu rasio utang terhadap PDB Indonesia yang saat ini berada di kisaran 40 persenan perlu menjadi perhatian terutama untuk keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah sampai dengan panjang,” tutup Rendy.