JAKARTA - Hari ini pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani secara resmi telah menyerahkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR untuk dibahas bersama dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.
Dokumen tersebut berisi tentang garis besar perekonomian RI pada tahun depan serta sejumlah indikator target pencapaian yang ingin dituju, seperti pertumbuhan ekonomi, lifting gas dan minyak bumi, hingga sasaran defisit anggaran.
Dalam pemaparan di Sidang Paripurna, Menkeu sempat menjelaskan soal perkiraan rasio utang pemerintah di periode 2023. Katanya, besaran utang diyakini berada di rentang 40,58 persen sampai dengan 42,42 persen dari produk domestik bruto PDB.
“Rasio utang tetap terkendali dalam batas manageable,” demikian yang dikatakan Menkeu di Kompleks Parlemen pada Jumat, 20 Mei.
Dalam penelusuran redaksi, angka tersebut tercatat melampaui level yang ditorehkan pemerintah saat ini. Laporan terakhir APBN 2022 edisi April menyebutkan bahwa debt to GDP (gross domestic product/ produk domestik bruto) ratio Maret 2022 adalah sebesar 40,39 persen dengan nilai Rp7.052 triliun.
Bukuan itu sekaligus strata baru utang pemerintah setelah sebelumnya kerap berada pada kisaran level psikologis Rp6.000 triliun.
BACA JUGA:
Asal tahu saja, selama ini pola PDB Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Artinya, jika saja acuan PDB Indonesia tetap pada tahun depan maka nilai utang dipastikan akan meningkat karena rasio utang yang dipatok lebih tinggi.
Apalagi, kalau acuan PDB naik dengan perkiraan rasio utang yang juga naik maka sudah bisa dipastikan nilai utang akan naik lebih tinggi lagi.
Meski demikian, pemerintah selalu berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengamanatkan batasan utang yang diperbolehkan maksimal 60 persen terhadap produk domestik bruto.
“Defisit dan rasio utang akan tetap dikendalikan dalam batas aman sekaligus mendorong keseimbangan primer yang positif,” kata Menkeu Sri Mulyani.