Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum lama ini merilis laporan keuangan negara yang terangkum dalam APBN Kita edisi Desember 2021.

Dalam risalah tersebut diungkapkan bahwa status utang pemerintah pada November 2021 adalah sebesar Rp6.713,24 triliun. Angka ini naik 25,96 triliun triliun dibandingkan dengan periode Oktober 2021 yang sebesar 6.687,28 triliun.

Secara terperinci, utang pada November 2021 terdiri dari Rp832,51 triliun pinjaman, dan Rp5.889,73 triliun surat berharga negara (SBN).

Adapun, SBN ini terbagi dalam dua kategori, yakni SBN yang dilepas di pasar domestik Rp4.614,96 triliun serta SBN valuta asing (valas) Rp1.274,77 triliun.

Dari sisi rasio, posisi utang terakhir RI diketahui sebesar 39,84 persen dari produk domestik bruto (PDB). Persentase tersebut masih cukup lapang dari ketentuan konstitusi Indonesia yang menetapkan batasan maksimal 60 persen PDB.

Sejatinya, utang pemerintah yang semakin membengkak seiring dengan kebutuhan dana penanganan pandemi COVID-19.

Meski demikian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia masih mempunyai kemampuan untuk membayar utang. Hal tersebut dia tegaskan ketika melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur tengah pekan ini.

“Kalau kita belanjanya bagus, infrastruktur bagus, SDM berkualitas, ini membuat Indonesia tumbuh. Dan jika tercapai, maka pasti kita bisa membayar lagi. Insya Allah kembali dengan aman. Itulah yang masuk ke dalam perencanaan keuangan negara,” katanya.

Batal tarik utang Rp310 triliun

Dalam catatan VOI, kinerja moncer APBN 2021 menyelamatkan RI dari penambahan beban utang baru pada sepanjang tahun lalu. Ini terungkap saat Menkeu menggelar konferensi pers realisasi APBN 2021 di Jakarta awal pekan ini.

Disebutkan jika pagu pembiayaan utang pada 2021 adalah sebesar Rp1.177,4 triliun. Namun, pemerintah hanya melakukan penarikan utang sebesar Rp867,4 triliun atau 73,7 persen dari yang direncanakan.

“Pembiayaan utang kita lihat Rp310 triliun lebih kecil,” ujar Sri Mulyani.

Kondisi tersebut tidak lepas dari sektor pendapatan negara yang sebesar Rp2.003,1 triliun atau melesat 114,9 persen dari target APBN Rp1.743,6 triliun.

Capaian itu membuat defisit anggaran menjadi semakin kecil dari sebelumnya diperkirakan Rp1.006,4 triliun menjadi Rp868,6 triliun di akhir Desember 2021.

Faisal Basri ingatkan beban bunga

Ekonom senior Faisal Basri mengakui utang Indonesia secara rasio PDB masih lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara sahabat, ambil contoh Singapura.

Dalam catatannya, utang RI adalah sebesar 40 persen PDB dan utang Singapura 100 persen dari PDB-nya. Meski demikian, Faisal menyebut ada satu hal kunci yang selama ini amat jarang dipublikasikan oleh pemerintah.

“Singapura walaupun beban utangnya 100 persen dari PDB tapi beban bunganya itu hanya 1 persen terhadap penerimaan negara, sementara Indonesia itu sudah 20 persen (dari penerimaan negara) untuk tahun depan (2022),” tuturnya seperti yang diberitakan redaksi pada 27 Desember 2021 lalu.

Akademisi Universitas Indonesia itu melihat bunga tinggi disebabkan oleh strategi Indonesia dalam penerbitan surat berharga dengan rate interest yang menjulang. Hal berbeda akan ditemui apabila dibandingkan dengan negara di ASEAN tersebut.

“Kita memperoleh pinjaman dengan memberikan bunga rata-rata 6 persen. Kalau Singapura 0,1 persen. Ini terjadi karena risiko Indonesia dianggap lebih besar dibandingkan Singapura, seperti political risk, lalu risiko nilai tukar, dan sebagainya,” jelas dia.

Pemerintah akui bunga utang besar

Dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dengan pemerintah pada awal September 2021, terkuak informasi bahwa Indonesia telah membayar bunga utang sebesar Rp317,89 triliun atas pinjaman yang mencapai Rp6.080,08 triliun di sepanjang 2020.

Sementara itu, sektor pendapatan negara pada 2020 menghasilkan Rp1.633,6 triliun. Artinya, pada periode dua tahun lalu pemerintah harus menunaikan kewajiban pembayaran bunga utang sebesar 19,46 persen dari total pendapatan yang diterima.

Melalui Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, pemerintah akhirnya buka suara.

“Pandemi ini kejadian extraordinary. Hampir semua negara menghadapi ini dan mengambil kebijakan countercyclical untuk menjaga perekonomian dan memberi stimulus. Implikasinya defisit melebar. Tapi ini harus diambil demi tujuan dan kepentingan yang lebih besar,” katanya beberapa waktu lalu.

Meski demikian, anak buah Sri Mulyani itu tetap berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan pemerintah tetap berada dijalur yang aman.

“Tahun 2020 pemerintah telah mengelola pembiayaan APBN dengan kebijakan extraordinary yang menjaga pembiayaan pada kondisi aman. Bahkan upaya menekan biaya utang dilakukan dengan berbagai cara, seperti burden sharing bersama BI, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga dekati 0 persen, serta penurunan yield menjadi 5,85 persen,” jelas dia.