Bagikan:

JAKARTA - Garuda Indonesia sedang menghadapi kondisi keuangan yang sulit. Salah satu penyebabnya adalah utang yang menggunung hingga mencapai Rp139 triliun. Fraksi Nasdem DPR RI pun menawarkan tiga opsi untuk menyelamatkan perseroan dari lilitan utang yang menggunung tersebut.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung menjelaskan, opsi pertama yang ditawarkan fraksinya yakni pemerintah menanggulangi sepenuhnya masalah finansial Garuda. Namun, dia mengakui opsi ini agak sulit untuk dipenuhi.

"Ini opsi yang agak sulit. Karena dengan nilai yang mungkin sekitar Rp80-Rp90 triliun di tengah keterbatasan fiskal kita, tentu tidak mungkin kita menggelontorkan dana sebesar itu. Apalagi kalau beban yang diduga itu memiliki problem-problem pada masalah lalu seperti mark up dan sebagainya," katanya dalam gelaran diskusi di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 1 Desember.

Opsi kedua, kata Martin, percepatan renegosiasi dengan lessor. Apalagi, on going lost mencapai Rp1 triliun per bulan. Jika renegosiasi tidak dilakukan dengan cepat maka akan membuat beban utang semakin besar.

"Ini yang terus menerus kita pertanyakan dalam rapat dengan mitra kami di Komisi VI. Renegosiasi dan sebagainya ini berapa lama. Menurut Pak Wamen BUMN (Kartika) mungkin dia perlu waktu maksimal 1 tahun. Nah kalau maksimal 1 tahun, dengan on going lost Rp1 triliun per bulan, maka secara matematika sederhana saja akan tambah lagi Rp12 triliun uang yang harus disiapkan. Berarti harus kita percepat kalau memang proses renegosiasi itu masih on the table," ucapnya.

Menurut Martin, jika dua opsi tersebut tidak dapat dilakukan, maka opsi ketiga yang bisa diambil adalah dengan membuat perusahaan baru yang lebih sehat dan tidak memiliki beban utang masa lalu. Tujuannya agar Garuda Indonesia tetap bisa mengudara.

"Kalau itu tidak mungkin, opsi lainnya yang terpilih oleh kami adalah Garuda Indonesia Airlinesnya itu kita selamatkan, PT Garuda Indonesia-nya kita selesaikan. Lalu ada perusahaan baru memakai brand tetap. Jadi PT Garuda Indonesia Tbk melepaskan hak mereknya kemudian dibeli atau diambil dengan perusahaan yang baru. Sehingga Garuda Indonesia Airlines tetap terbang dengan tubuh yang baru, perusahaan yang lebih bagus, tidak punya beban masa lalu dan lain sebagainya," ucapnya.

Menurut Martin, Garuda Indonesia memiliki dua entitas yang melekat. Pertama, Garuda sebagai entitas bisnis. Kedua, Garuda sebagai national flag carrier. Ia menilai hal ini juga mempersulit. Artinya tidak membuat leluasa untuk memberikan solusi terkait penyelesaian masalah Garuda sebagai entitas bisnis.

"Jadi kita pisahkan antara menyelamatkan Garuda Indonesia Airlines sebagai national flag carrier dan PT Garuda Indonesia Tbk sebagai entitas badan hukum atau badan usaha. Nah ini yang saya pikir ini yang mungkin kita harus minta pendapat juga kepada publik," jelasnya.

Martin menegaskan bahwa Fraksi Nasdem tidak ingin uang negara terkuras hanya karena persoalan-persoalan masa lalu yang membuat keuangan Garuda tidak sehat.

"Intinya kita enggak mau uang negara habis untuk yang enggak berguna dan menutupi persoalan-persoalan masa lalu," tegas Martin.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Komisaris Garuda Indonesia Peter F Gontha mengungkap bahwa penyebab kerugian Garuda yang menjadi perhatiannya adalah kontrak antara Garuda Indonesia dengan lessor yang justru merugikan perusahaan pelat merah tersebut.

"Siapa yang memaksa Garuda? Patut diduga terjadi sesuatu," ujar Peter.

Sekadar informasi, saat ini Garuda Indonesia menanggung utang sebanyak Rp138,5 triliun dan aset hanya sebesar Rp98,3 triliun. Sementara itu, ekuitas Garuda Indonesia juga tercatat minus Rp40,2 triliun dengan tambahan negatif ekuitas tiap bulannya mencapai Rp1,3 triliun hingga Rp2 triliun. Dari total nilai utang itu, utang terbesar adalah utang kepada lessor yang mencapai Rp90,2 triliun.