Sri Mulyani Ingatkan Pemulihan Ekonomi Negara Maju dan Berkembang Berbeda: Ini Tantangan Indonesia Sebagai Presiden G20
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai bahwa proses pemulihan ekonomi di situasi pandemi COVID-19 cukup unik. Menurut dia, terjadi perbedaan kondisi pemulihan antara negara yang tergolong maju dengan negara-negara yang masuk dalam kategori berkembang atau bahkan miskin.

“Negara maju terlihat lebih cepat pulih, sementara negara berkembang dan negara miskin seperti tertinggal di belakang,” ujarnya melalui saluran virtual saat memberikan pidato di konferensi internasional On Resilient and Sustainable Economic Recovery, Kamis, 11 November.

Menkeu menambahkan, perbedaan ini memunculkan ketidakseragaman kebijakan yang tak jarang bertolak belakang dengan kepentingan negara lain dalam upaya mengakselerasi pemulihan.

“Terjadi perbedaan yang sangat signifikan terhadap penciptaan kebijakan, dan inilah yang sedang kita hadapi sekarang. Beberapa negara sudah menderita akibat tekanan inflasi dan itu menyebabkan mereka melakukan penyesuaian kebijakan. Tetapi disisi lain, banyak negara yang juga tengah berjuang untuk bangkit dari kontraksi ekonomi, pengangguran, dan juga kemiskinan,” tuturnya.

Untuk itu, Menkeu menilai Indonesia mempunyai peran penting dalam mendorong keselarasan kebijakan untuk bersama-sama mencapai level pemulihan yang diinginkan. Terlebih, Indonesia masuk dalam kelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia dan bakal mengemban amanah sebagai Presiden G20 pada 2022 mendatang.

“Ini adalah beberapa contoh kasus penting yang harus ditangani Indonesia sebagai Presiden G20. Kita harus mengupayakan koordinasi global sehingga dapat melanjutkan penguatan di situasi pemulihan yang tidak merata dan membutuhkan dukungan kebijakan yang berbeda,” tegasnya.

Sebagai informasi, negara-negara yang tergabung dalam G20 menyumbang 80 persen gross domestic product (GDP) dunia. Lalu, kelompok ini juga berandil dalam 75 persen perdagangan global dan juga 60 persen dari populasi penduduk dunia.

“Jadi secara mendasar, G20 mempunyai peran dan juga efek yang sangat signifikan terhadap ekonomi dunia. Kelompok ini juga memiliki andil besar dalam menseting standar global untuk bisa menghasilkan kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah global,” jelas Menkeu Sri Mulyani.

Sebagai gambaran perbedaan policy antara negara maju dengan negara berkembang dapat dilihat dari kasus Amerika Serikat (AS) dan Indonesia yang sama-sama tergabung dalam G20.

AS telah mengirimkan sinyal untuk melakukan pengetatan likuiditas (tapering) yang kemudian diikuti oleh kenaikan suku bunga bank sentral, The Federal Reserve (The Fed). Kebijakan ini ditempuh AS dengan asumsi pemulihan ekonomi dalam negeri yang baik serta ditopang oleh terkendalinya kasus COVID-19 serta level vaksinasi yang tinggi.

Sementara Indonesia dan emerging countries lainnya berharap The Fed menunda kenaikan suku bunga acuan guna memastikan investasi portofolio asing tetap terjaga sembari terus melakukan upaya pemulihan ekonomi secara komprehensif.