JAKARTA - Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia Pratama Pershada mengatakan pemerintah bersama parlemen perlu mempercepat pengesahan regulasi khusus yang dapat dijadikan payung hukum perlindungan konsumen terkait aktivitas digital dan perlindungan data.
Menurut dia, hal tersebut sangat dibutuhkan di tengah perkembangan teknologi informasi yang masif dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih, sudah banyak catatan pelanggaran siber yang merugikan masyarakat.
“Kenapa sering terjadi kelemahan, sering terjadi kebocoran data? Karena memang di Indonesia belum ada aturan yang bisa memaksa seluruh penyelenggara sistem elektronik untuk mengamankan sistem yang mereka miliki,” ujarnya dalam diskusi virtual bertema Indonesia Darurat Kejahatan Siber pada Selasa, 9 November.
Pratama menambahkan, hal ini diperparah dengan tidak adanya ganjaran yang sebanding yang bisa dikenakan kepada oknum pelanggar keamanan digital.
“Tidak ada sanksi yang tegas ketika terjadi kebocoran data atau terjadi penyerangan terhadap sebuah sistem,” tuturnya.
Untuk itu Pratama menilai pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) bisa menjadi solusi komprehensif guna menghadirkan sebuah ekosistem keamanan data yang baik.
“Dengan adanya UU PDP ini harusnya nanti bisa memaksa semua penyelenggara sistem elektronik untuk mengamankan datanya, karena kalau tidak siap-siap ada hukuman pidana dan juga perdata yang akan menanti,” tegasnya.
Disebutkan oleh Pratama jika salah satu sanksi yang bisa diterapkan adalah denda dengan jumlah yang cukup besar sehingga menimbulkan efek jera kepada oknum pelaku kejahatan digital agar tidak terulang di masa mendatang.
“Negara bisa berikan denda hingga Rp100 miliar apabila terbukti ada kejahatan atau kelalaian yang menyebabkan bocornya data masyarakat. Sampai saat ini kan tidak, paling hanya peringatan atau maksimal teguran tertulis,” ucap dia.
BACA JUGA:
Salah satu yang pakar TI ini soroti adalah masalah kebocoran data yang terjadi di sebuah perusahaan penyelenggara perdagangan online Tanah Air.
“Contohnya Tokopedia itu jelas-jelas mengalami kebocoran 91 juta data konsumennya, tapi sampai sekarang mereka tidak dihukum, kenapa? Karena mereka menempatkan diri sebagai korban. Ini seharusnya tidak terjadi lagi. Kalau ada UU PDP pengelola tersebut bisa kena pasal,” katanya.
Dia pun lantas membandingkan perangkat hukum di beberapa negara yang sudah terlebih dahulu memiliki peraturan setingkat undang-undang untuk melindungi data konsumen.
“Di Hongkong ada hukuman penjara maksimal dua tahun dengan denda 1.000 dolar per hari. Lalu, di Singapura hukuman penjara tiga tahun dan denda sampai 790.000 dolar. Kemudian di Korea Selatan ada hukuman penjara dan denda hingga 92.000 dolar,” tutup Pratama.