Bagikan:

BANDUNG - Aparat terlibat bentrok dengan warga di sekitar wilayah Tamansari, Bandung, Jawa Barat. Warga tak terima diusir demi pembangunan rumah deret di kawasan itu. Otoritas harus segera meredam potensi perluasan konflik di Bandung dan sekitar akibat tindak represif aparat. Pemerintah harus ingat, terakhir kali warga Bandung diusir, Kota Kembang berubah jadi lautan api.

Kamis, 21 Maret 1946, Inggris melayangkan ribuan kertas berisi ultimatum agar para pejuang Indonesia di Bandung segera pergi meninggalkan kota. Sebelum tanggal 24 Maret, pukul 24.00 WIB, mereka diminta mundur hingga 11 kilometer terhitung dari titik kilometer nol. Puluhan ribu pejuang Bandung geram. Mereka tak terima diusir dari tanah sendiri.

Demi mencegah situasi semakin panas, Residen Ardiwinangun yang merupakan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jawa Barat segera berangkat ke Jakarta untuk menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dalam perjalanan itu, Ardiwinangun didampingi oleh seorang pemuda bernama Mashudi. Keduanya meminta arahan pemerintah pusat, bagaimana merespons situasi di Bandung.

Sjahrir memberi saran agar para pejuang di Bandung tak terpancing emosi. Ia bahkan meminta para pejuang memenuhi ultimatum sekutu. Kisah ini dituturkan oleh Mohamad Rivai dalam otobiografi Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dikutip Historia.

“Tapi, kalau saudara-saudara tidak setuju, terserah apa yang mau saudara-saudara lakukan. Mau membumihanguskan Bandung, ya terserah. Bumihanguskan saja!” seru Sjahrir.

Pesan Sjahrir kemudian disampaikan Ardiwinangun dan Mashudi lewat telepon pada 22 Maret 1946. Pesan dari Jakarta itu disusul oleh telegram yang dikirim Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Jika pesan Sjahrir agak rancu, rekomendasi MBT justru amat tegas.

"Pertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah!" tertulis.

Sore hari, giliran Kolonel AH Nasution merapat menemui Sjahrir. Kepada Sang Komandan Divisi III Tentara Rakyat Indonesia (TRI) itu, Sjahrir menyampaikan pesan yang sama. Pemerintah pusat meminta Nasution manut pada ultimatum tentara sekutu.

“Itu diperintahkan Perdana Menteri Sjahrir setelah permintaannya agar ada perpanjangan waktu untuk pelaksanaan pemunduran itu ditolak Komandan Tertinggi Sekutu di Jakarta,” tulis Rivai.

Membakar Bandung

Di Bandung pada waktu yang sama, Komandan Divisi India ke-23 Jenderal Hawthorn menurunkan perintah maju pada pasukannya. Lewat radio pada tanggal 23 Maret 1946 sekitar pukul 16.00 WIB, Hawthorn menyerukan bahwa pasukannya akan bergerak membersihkan segala macam senjata di wilayah Bandung Selatan. 

“Kepada warga sipil, Hawthorn meminta untuk tenang dan meninggalkan rumah selama periode tersebut,” papar John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946.

Pesan Hawthorn jadi kentut, sebab sebagian besar rakyat di Bandung justru melakukan perlawanan. Namun, bukan bertahan dengan senjata. Mereka justru pergi meninggalkan Bandung menuju wilayah-wilayah di pinggiran. Rumah-rumah mereka tinggalkan dengan keadaan terbakar.'

“Bahkan sebelum ada perintah bumi hangus, sebagian dari mereka sudah membakar lebih dahulu rumah-rumahnya sebelum pergi mengungsi,” kata Asikin Rachman, seorang pejuang dari Lasykar Hizboellah dalam wawancaranya dengan Historia.

Nasution tiba di Bandung pada pagi hari 24 Maret 1946 dengan membawa perintah dari Jakarta. Berat bagi Nasution. Namun, perintah tetaplah perintah. Ia menginstruksikan kepada seluruh pasukan TRI untuk menuruti ultimatum sekutu sebagaimana saran pemerintah pusat.

Para pejuang menolak. Letnan Kolonel Omon Abdurrachman yang merupakan Komandan Resimen Kedelapan TRI menyampaikan suara para pejuang. Namun, yang ia dapat justru kemarahan Nasution. 

“Kamu masuk TRI adalah untuk mematuhi seluruh permintaan atasan! Sebagai Komandan Divisi III, saya memerintahkan kepada kamu: tidak boleh turut dalam gerakan pembakaran dan perusakan-perusakan Kota Bandung!” bentak Nasoetion.

Omon Abdurrachman tak goyah. Ia tetap pada keputusannya membumihanguskan seisi Bandung. Omon Abdurrachman memilih mundur dari jabatannya dan menetap pada perjuangan bersama kaum ekstremis di Bandung. Tanda pangkatnya pun ia copot dan diletakkan di hadapan Nasution.

Konon, Omon Abdurrachman terlibat langsung dalam operasi pembumihangusan bersama ribuan rakyat Bandung. Pembakaran dimulai tepat pada pukul 12 malam. Pembakaran yang menyebar ke seluruh penjuru Bandung dan mengubah Kota Kembang menjadi 'lautan api'.

Perluasan konflik Tamansari

Situasi panas di Tamansari masih berlangsung. Gerakan solidaritas pun terus menguat di media sosial. Masyarakat geram melihat polisi melakukan tindakan represif kepada warga di Tamansari. Menanggapi situasi tersebut, pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukmito mendesak polisi segera menindak anggota yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil.

Langkah itu penting untuk menumbuhkan kembali rasa percaya masyarakat luas kepada kepolisian. Tujuannya, tentu saja untuk meredam potensi perluasan konflik. Menurut Rukmito, perluasan konflik amat mungkin terjadi, khususnya di wilayah Bandung dan sekitarnya.

"Iya, akan meluas. (Tapi) Saya kira terlalu jauh jika diartikan akan sampai dalam isu nasional. Karena sifatnya sangat lokal sekali," katanya saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 13 Desember.

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Trunoyodo Wisnu Andiko menyadari potensi ini. Ia mengaku telah mempersiapkan langkah-langkah pencegahan. Salah satunya adalah membuka jalur komunikasi dengan berbagai pihak yang terlibat dalam masalah penggusuran. Selain itu, pihaknya juga akan mengedepankan cara-cara dialogis kepada masyarakat.

"Kapolrestabes Bandung telah mendorong komunikasi antara dua pihak, baik masyarakat dan pemerintah kota bandung ... Tentunya kita laksanakan dan utamakan pencegahan konflik dengan cara komunikatif," kata Trunoyudo kepada VOI, Jumat, 13 Desember.

Rumah deret

Permasalahan di Tamansari kemarin, Kamis 12 Desember berakar dari rencana pembangunan rumah deret oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Proyek yang direncanakan sejak 2017 itu konon adalah langkah Pemkot Bandung untuk menangani kawasan kumuh di wilayah Tamansari.

Menurut Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung Dadang Darmawan, penggusuran yang mereka lakukan sah. Pemkot Bandung ia sebut telah memenangi gugatan yang dilayangkan warga ke Mahkamah Agung (MA).

Putusan tersebut inkrah dengan SK Kepala DPKP3 Nomor 538.2/1325A/DPKP3/2017 tentang Penetapan Kompensasi Bangunan, Mekanisme Relokasi dan Pelaksanaan Pembangunan Rumah Deret Tamansari yang jadi dasar hukum penggusuran.

Lagipula, menurutnya, penolakan yang terjadi kemarin hanya dilakukan oleh segelintir warga. Ia mengaku pembangunan rumah deret didukung oleh 176 warga yang konon telah menunggu pembangunan rumah deret tersebut.

"Setelah penertiban ini, kita lakukan pemagaran di batas-batas yang menjadi milik Pemkot Bandung. Kemudian sebelum dilakukan pembangunan harus ada pematangan lahan dulu. Setelah itu baru siap dilakukan pembangunan rumah deret," kata Dadang, ditulis CNN Indonesia, Kamis, 12 Desember.