Bagikan:

JAKARTA - Ketika wabah COVID-19 di Brasil meroket hingga satu juta kasus, para petugas medis harus siaga dalam segala kondisi. COVID-19 tak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan berbagai sudut negeri. Bahkan, COVID-19 mewabah di daerah terpencil di muara Sungai Amazon.

Kota Belem dan Macapa yang berada di muara Sungai Amazon, menjadi hotspot utama COVID-19 pada April dan Mei. Virus ini lalu menyebar jauh hingga area pedesaan di sekitarnya.

Melansir Reuters, Jumat, 26 Juni, terdapat permukiman yang terapung di sepanjang sungai. Sebagian besar keluarga bertahan hidup dengan memancing dan memanen buah-buahan lokal.

Mereka menghasilkan uang tidak banyak dalam sehari. Pemberlakuan physical distancing hampir mustahil dilakukan di gubuk kayu yang dibangun berdempetan. Banyak warga yang tidak memiliki ponsel dan perlu waktu sehari atau lebih untuk mencapai pusat kesehatan terdekat.

Akses medis

Keadaan tersebut diperparah dengan menyebarnya COVID-19 di area ini. Catatan kesehatan otoritas setempat melaporkan bahwa ratusan lebih orang telah positif COVID-19. Tingkat keparahan COVID-19 di wilayah itu dikarenakan diagnosis dan pengobatan medis yang terlambat.

Namun, para petugas kesehatan masyarakat memiliki tekad lebih tinggi guna menekan angka penularan tersebut. Mereka memutuskan mendatangi rumah warga dan mengantar pasien ke pusat kesehatan dengan kapal, meskipun harus memakan waktu selama berjam-jam.

"Ini cukup rumit karena akses yang sulit," kata Alex Glaison, seorang tenaga medis, setelah merawat seorang pasien di rumah tepi sungai.

Beberapa penduduk tinggal 36 jam dari pusat kota. Hal tersebut membuat perawatan kesehatan menjadi mimpi buruk. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Nizomar Junior, otoritas kesehatan kota di Portel, sebuah kota kecil di seberang sungai dari Pulau Marajo. Dia memimpin tim medis yang tersebar luas untuk melakukan perjalanan berjam-jam, sering kali berjuang melawan arus Sungai Amazon yang tidak terduga.

Maria Luiza Costa, seorang petani, adalah salah satu dari penduduk yang terisolasi itu. Dia dan ibunya menderita sakit kepala dan gejala seperti flu. Namun mereka tidak dapat memastikan sendiri karena harus menunggu petugas kesehatan yang butuh waktu berjam-jam mendatangi mereka.

Costa masih beruntung karena sempat mendapatkan perawatan medis. Beda lagi kisah dari seorang warga bernama Andrelina Bizerra da Silva. Ia sebelumnya mengalami sesak napas yang tak tertahankan. Keluarganya lalu berusaha membawanya ke pusat kesehatan terdekat dengan menaruhnya di perahu kecil dan menyusuri sungai yang berliku ke klinik kesehatan terdekat di Kota Portel.

Namun, karena pusat kesehatan tersebut tidak memiliki fasilitas yang cukup untuk merawat Silva, para petugas mengarahkan mereka ke rumah sakit terbesar di dekatnya, di kota Breves, yang mana lebih jauh. Enam jam telah berlalu saat mereka tiba di Breves. Silva sudah meninggal dunia. 

"Sejujurnya, ada banyak pikiran negatif di antara kita," kata keponakannya, Felipe Costa Silva, setelah melakukan perjalanan pulang dengan peti mati di kapal yang sama. 

"Berapa lama ini akan berlangsung? Berapa banyak orang yang akan mati?" tambahnya.

Bagi banyak penduduk, pandemi COVID-19 memiliki sedikit sisi positif. Hal tersebut dikarenakan untuk pertama kalinya tim medis mendatangi mereka langsung. Hal tersebut melegakan bagi sebagian orang, tetapi bisa menimbulkan kegelisahan.

Sebab, jika ada kerabat yang harus mendapatkan perawatan, berarti mereka harus merelakan kerabatnya itu pergi jauh ke tempat perawatan. Mereka tidak memiliki alat komunikasi, yang membuat mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kerabatnya. Bisa sembuh, bisa juga tak akan kembali.

Salah seorang warga bernama Andreza Lima de Cruz, menyaksikan para dokter di ambulans apung membawa ayahnya ke rumah sakit di Portel setelah dinyatakan positif virus corona. "Kami tahu bahwa tiba di sana, tidak ada kepastian bahwa ia akan kembali," kata Lima. “Aku benar-benar ingin ayah tetap di sini. Tapi kita juga harus memikirkan kesehatannya,” tukasnya.