Kita Tak Benci Pesepeda tapi Benci Gerombolan di Jalanan, atau Bisa Jadi Kita Memang Benci Pesepeda tapi Kenapa?
Pengendara berplat AA berhadapan dengan peleton sepeda roadbike (Twitter/@samartemaram)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah foto viral menampilkan pengendara sepeda motor berplat AA mengacungkan jari tengahnya kepada peleton sepeda roadbike. Warganet terpecah dalam berbagai opini. Bisa jadi yang kita benci bukan pesepeda, tapi kendaraan yang bergerombol di jalan, apapun itu. Atau, ya memang kita benci pesepeda. Tapi apa alasan kebencian kita?

Mari pelan-pelan kita dalami fenomena ini. Santai saja. Tapi sebelumnya kita rasanya perlu berterima kasih kepada siapapun orang yang menangkap momen itu lewat kameranya. Pertama, foto itu luar biasa keren. Jika momentum adalah kunci, foto itu mungkin emasnya.

Kedua, foto viral ini mendorong kita ke diskusi sengit yang barangkali mulanya malu-malu kita lempar sebagai perdebatan. Jadi, foto itu diunggah oleh sejumlah akun di media sosial Twitter. Salah satu pengunggahnya adalah @samartemaram.

"Berani-beraninya sama pejuang anti polyusi Ibu Kota," tulis dia dalam unggahan foto itu.

Analisis ruang komentar

Keresahan warganet dari dua kubu --pro-budaya sepeda dan kontra-pesepeda-- tumpah di kolom komentar. Kami himpun beberapa sebagai gambaran benturan dari fenomena ini dan mendiskusikannya dengan sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Tantan Hermansah dan Poetoet Soedarjanto, Ketua Bike2Work Indonesia.

Akun @nksthi menulis pesan menyindir: Pengendara plat AA ini termasuk kategori yang beringas di jalan. Liar dan biyayakan. Biasanya malah bikin emosi pengendara lain di deketnya. Tapi kalo sampe mereka yang emosi gara-gara kelakuan pengguna jalan lain, berarti jalanan sedang tidak baik-baik saja.

"Itu jalannya lebar padahal. Bisalah bikin barisan rapih di sebelah kiri. Bisa beli sepeda & perlengkapannya yang mahal, masa iya enggak bisa rapi. Jual sepedanya, belajar gerak jalan aja di Koramil," tulis akun @lukito_jho.

Komentar itu dibalas oleh akun @Caturrio. Ia menulis, " Udah pernah merhatiin jalan sisi kiri belum? Udah merhatiin banyak pasir kerikil dll? Udah pernah nyoba belum kayak gini? Kalo udah berarti tahu dong bedanya? Yang pake motor aja males di kiri karena banyak pasirnya bikin licin."

Komentar berantai dengan timpalan dari akun @nesgotik yang mengatakan, "Kalo di kiri semua enggak bisa saling ngobrol gitu, mas. Biar kelihatan kayak orkay tanpa beban."

Setidaknya ada tiga narasi besar yang paling banyak diperdebatkan. Pertama persoalan indisipliner para pengguna sepeda di sana. Satu alasan yang memicu amarah banyak warganet dalam diskusi ini.

Beberapa warganet berkomentar soal pesepeda roadbike, pesepeda olahraga yang memiliki kebiasaan berbeda dengan jenis pesepeda lain. "Ini sih anak-anak RB yang Senin-Jumat naik mobil, Sabtu-Minggu baru naik sepeda rame-rame peletonan," tulis @kunoki.

Narasi ketiga adalah arogansi pesepeda. Hal-hal itu di mata warganet muncul karena para pesepeda --khususnya dalam foto viral-- adalah kaum berpunya. Narasi menarik lain soal arogansi ini muncul dalam salah satu komentar yang ditimpali begitu banyak komentar lain.

Akun @iwan_paul menulis: Apa-apa kalau sudah bergerombol/konvoi dalam jumlah besar memang suka jadi enggak asyik. Enggak sepeda. Enggak motor. Enggak mobil. Berasa jalan punya moyangnya.

Gerombolan jalanan

Sepeda commuter (Yudhistira Mahabharata/VOI)

Perspektif akun @iwan_paul diamini banyak warganet. Opininya diganjar 283 Retweets, 9 Quote Tweets, dan 1.215 Likes. Kami mendalaminya lewat kacamata sosiologis. Tantan mengatakan fenomena itu dapat dijelaskan lewat Teori Solidaritas, tentang kenapa arogansi seseorang meningkat ketika mereka sedang di dalam kawanan.

Teori Solidaritas menjelaskan munculnya ekspresi sosial pada seseorang yang merasa terikat karena adanya beberapa kesamaan. Misalnya, sama-sama pesepeda, sama-sama pengguna KRL, dan sebagainya.

"Awalnya bisa jadi bersifat ringan sehingga ikatannya biasa saja. Namun seiring intensitas dan interaksi maka ikatan solidaritas makin kuat," kata Tantan kepada VOI, Jumat, 28 Mei.

Meski begitu Tantan menggarisbawahi, persoalan semacam ini biasanya cuma soal perspektif. Dalam sudut pandang komunitas pesepeda yang telah terpaut sebagaimana dijelaskan Teori Solidaritas, hal yang orang-orang lihat sebagai arogansi bisa jadi cuma respons dari sebuah tindakan yang dilakukan objek di luar komunitasnya.

"Padahal coba dilihat secara lebih objektif, bisa jadi arogansi komunitas itu hadir karena ada pemicu, atau sebagai respon atas sebuah tindakan lain dari luar komunitasnya," kata Tantan.

Kenapa kita benci pesepeda?

Pengendara berplat AA berhadapan dengan peleton sepeda roadbike (Twitter/@samartemaram)

Dalam konteks lain, tak dapat dipungkiri bahwa sentimen publik terhadap meningkat dalam beberapa waktu belakangan. Banyak pesepeda menduga momentumnya ada pada masa awal pandemi ketika budaya bersepeda tumbuh subur.

Reza Muhamad, seorang pesepeda commuter menceritakan pengalaman yang menunjukkan perubahan sikap publik terhadap para pesepeda. Reza telah menjadikan sepeda sebagai alat transportasinya sejak 2011. Jalanan berubah, katanya. 

"Baru kemarin pas WFH gowes lagi, gue ngalamin ban gue ditendang di lampu merah sama bapak-bapak naik motor, enggak tahu kenapa. Gue sempat nyelip ke sebelah dia memang. Tapi pas ditendang itu padahal sama-sama lagi diam," tutur Reza kepada VOI.

Ari Siagian, pesepeda commuter lain juga menceritakan pengalamannya. "Gue sekarang jadi ngehindarin loh jalan pagi bareng orang-orang banyak ngantor. Bukan macetnya. Tapi jadi berantem terus sama orang di jalan," kata Ari.

"Sadar enggak sih jalan kita sering sengaja ditutup sekarang sama orang (kendaraan lain)? Padalah yang celah-celah kecil gitu, ya, yang muatnya cuma sepeda. Bukan gimana-gimana, tapi makin sulit aja jadi enggak sih sepedaan?"

Peningkatan sentimen itu tak dapat dipungkiri. Tapi tak perlu dikhawatirkan. Tantan melihat fenomena ini sebagai gejala sosial dinamis. Hal semacam ini pasti terjadi pada masa transisi sosial.

Tapi kenapa kita benci pesepeda? Alasannya adalah kemapanan budaya yang sudah sejak lama kita hidupi. Tapi, santai saja. Benturan-benturan ini akan membuat kita terbiasa dan saling menerima pada akhirnya, begitu kira-kira kata Tantan.

"Tapi yang namanya kebajikan (budaya bersepeda) itu bersifat kekal dan abadi. Jadi biasa saja sih peristiwa ini. Semacam siklus berulang. Hanya ganti media saja ... Kemapanan budaya lama dan ketidakmauan menerima budaya baru."

Bagaimana menyikapinya?

Poetoet Soedarjanto, Ketua Bike2Work Indonesia menjelaskan sejumlah perspektif menarik soal ini. Pertama, mengenai foto viral, sikap Poetoet satu saja: Kalau rute yang dilintasi sudah ada jalur sepeda, luruskan kalau saya keliru, maka rombongan sepeda tersebut sudah salah. Salah ya salah saja, enggak usah ada pembenaran ini itu. Mohon lihat lagi Pasal 122 UULAJ 22/2009. Pemotor bagaimana? Jelas dia tidak punya adab.

Poetoet juga memberi pandangan soal keresahan-keresahan di ruang komentar kicauan viral @samartemaram. Tentang sebutan "pejuang polusi," misalnya. Sebutan itu, kata Poetoet jelas merujuk pada orang-orang yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Apapun sepedanya.

Jadi persoalannya bukan apakah itu roadbike atau gravelbike, sepeda lipat ataupun sepeda touring. Perbedaan pejuang polusi atau tidak dilihat dari tujuan dan bagaimana ia menggunakan sepeda.

Ilustrasi foto pesepeda (Irfan Meidianto/VOI)

"Melihat tampilannya mereka ini sedang olahraga dengan speedanya. Bagaimana waktu lain? Belum tentu juga bertransportasi dengan sepeda," kata Poetoet.

Poetoet juga menjelaskan etika dasar bersepeda. Pertama, beri tanda saat akan belok. Kedua, menggunakan kata-kata yang sopan dan tetap pada jalur kiri. Etika keempat, berkelompoklah dalam jumlah kecil. Kelima, berhenti di lampu merah. Dan yang terakhir, jangan menggunakan earphone.

Jadi bagaimana menyikapinya? Terserah. Yang penting kita sudah berdiskusi sepanjang malam dan hari ini. Dan lewat artikel ini kita dalami masalah-masalah yang bergulir di ruang diskusi kita, termasuk bahwa kebencian-kebencian ini nyata dan untuk dinikmati sebagai proses dari perkembangan budaya bersepeda itu sendiri.

*Baca Informasi lain soal JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya