Fatwa Salat di Masjid: Kita yang Tanggung, MUI yang Jawab
Ilustrasi foto salat berjemaah (Yudhistira Mahabharata/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Seorang warga melaporkan kegiatan salat tarawih di sebuah masjid di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Laporan itu memicu kemarahan sekelompok massa. Kericuhan ini jadi sinyal bahaya kebingungan yang melanda masyarakat. Tak perlu terjadi sejatinya jika masyarakat mau memahami bahwa fatwa yang diutarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) seharusnya tak mungkin dibuat sembarang. Ada tanggung jawab besar yang dibawa MUI dalam setiap fatwanya. Tanggung jawab kepada agama dan negara.

Sebelum peristiwa di Pulo Gadung, tepatnya 16 Maret, MUI telah menetapkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020. Fatwa yang diteken Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF itu berisi sejumlah pedoman peribadahan masyarakat Muslim di Indonesia selama pandemi COVID-19. Pedoman tentang pelaksanaan salat tarawih ada di dalam fatwa itu.

MUI tidak memperkenankan salat tarawih di masjid. Dalam ketentuan hukumnya, MUI menyebut haram bagi seseorang yang terpapar virus corona untuk melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti berjemaah salat lima waktu, salat tarawih, hingga salat Ied di masjid atau tempat ibadah umum lain.

Sementara, bagi orang yang sehat dan tak diketahui status medisnya wajib memperhatikan sejumlah hal dalam kegiatan peribadahannya. Zonasi potensi penularan, misalnya. Muslim yang sehat diperbolehkan meninggalkan salat Jumat di masjid dan menggantinya dengan salat zuhur di kediaman pribadi. Ketentuan itu berlaku untuk ibadah berjamaah lain, seperti salat lima waktu, tarawih, dan salat ied.

Catatan penting dalam fatwa, imbauan tersebut tak berlaku di wilayah-wilayah yang tergolong aman. Sebaliknya, imbauan itu berlaku sebagai larangan di tempat-tempat yang tergolong sebagai wilayah penularan tak terkendali. Dengan kata lain, fatwa MUI sangat terkait dengan ketetapan-ketetapan yang ditentukan otoritas kesehatan.

Kedudukan fatwa MUI

Dalam pengertian sederhana, fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat yang ditetapkan MUI menyangkut masalah kehidupan umat Islam. Jika dilihat dari segi hierarki aturan perundang-undangan, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka kedudukan fatwa MUI tidak berkekuatan hukum mengikat.

Meski begitu, peran MUI tak bisa begitu saja dikesampingkan. Dikutip dari Hukumonline, dasar hukum kedudukan MUI sebagai mitra pemerintah disebut dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia.

Dalam Perpres itu, MUI disebutkan sebagai wadah musyawarah para ulama, pemimpin, dan cendekiawan Muslim. Mereka wajib mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami serta meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional.

Ilustrasi foto salat berjemaah di masjid (Rumman Amin/Unsplash)

Sementara, menurut situs resmi lembaga, MUI memiliki sejumlah tugas penting bagi kemaslahatan umat, yakni:

a. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;

b. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

c. Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

d. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Penetapan fatwa

Dalam hakikatnya, MUI berdiri sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Selain itu, MUI juga memiliki peran sebagai pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan umat (riwayat wa khadim al ummah), sebagai gerakan Islah wa al tajdid, serta penegak amar ma'ruf dan nahi munkar.

Sebagai pengambil keputusan dalam fatwa, MUI memiliki sejumlah prinsip dan langkah pokok yang wajib dijalani sebelum menetapkan fatwa. Seluruhnya tercantum dalam Peraturan Organisasi MUI tentang Pedoman Penetapan Fatwa MUI.

Secara garis besar, ada delapan langkah. Kami akan menguraikannya secara umum. Yang jelas, langkah pertama, MUI wajib melakukan kajian komprehensif demi memperoleh deskripsi utuh tentang sebuah permasalahan. Tahap pertama ini disebut tashawwur al-masalah.

Rapat persamaan persepsi fatwa COVID-19 MUI (mui.or.id)

Selain melakukan kajian, MUI juga wajib merumuskan masalah, termasuk mengukur dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan. Selain itu, rumusan masalah juga menyangkut titik kritis dari berbagai aspek hukum (syariah) yang berhubungan dengan masalah yang disoroti.

Dalam hal ini, MUI juga wajib menelusuri kembali pandangan para ahli fikih mujtahid, pendapat serta mazhab-mazhab imam dan ulama, hingga menelaah fatwa-fatwa lain yang terkait. Jika hukum dan dalil-dalil sudah jelas, Komisi Fatwa MUI selanjutnya akan menetapkan fatwa dengan mengurai dasar hukum sebagaimana adanya. Hal ini penting sebagai pertanggungjawaban MUI, baik kepada negara ataupun kepada agama.

Persoalan Pulo Gadung

Kalimat terakhir patut dicatat. Bahwa MUI memegang tanggung jawab besar terhadap setiap fatwa yang mereka tetapkan. Pemahaman ini penting untuk dipegang oleh umat Muslim Indonesia dalam situasi pandemi COVID-19.

Meski begitu, di tengah kondisi seperti ini, fatwa tak sepenuhnya cukup menutup lubang kebingungan masyarakat. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Tantan Hermansyah mengatakan, koordinasi antarlembaga amat penting.

Untuk mengawal fatwa MUI, misalnya. Dalam kondisi ini, keterlibatan polisi sangat dibutuhkan untuk membimbing masyarakat mematuhi fatwa MUI. Kata membimbing jadi penting karena pengendalian dengan represifitas adalah persoalan besar lain yang wajib dihindari.

Bukan perkara mudah, memang. Mengingat kedudukan fatwa yang tak mengikat secara hukum. Namun, secara sosiologis, masyarakat membutuhkan ketegasan itu. "Libatkan keamanan. Kalau tidak, ya akan melempem saja fatwa itu di hadapan masyarakat," kata Tantan, dihubungi VOI, Senin, 27 April.

Terkait fatwa, Tantan melihat tiga faktor yang memengaruhi pandangan masyarakat. Pertama, afiliasi organisasi keagamaan. Kedua, ilmu pengetahuan yang menjadi latar belakang dari umat Islam, serta konteks di mana masyarakat Islam itu berada.

"Ketiga aspek itu saling memberikan pengaruh, terutama dalam merespons fatwa dari organisasi seperti MUI. Ingat, MUI itu juga organisasi yang tidak semua orang selalu harus setuju dengan fatwa-fatwanya. Keragaman relasi itulah yang kemudian mewarnai sangat kental pada fatwa MUI," kata Tantan.

Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas pun mengungkap permasalahan ini. Dikutip pemberitaan Kompas.com, Senin, 27 April, Anwar mengakui lubang besar dari permasalahan ini ada pada peran pemerintah. Bagaimanapun, menurutnya, MUI telah menjalankan kewenangannya dengan menerbitkan fatwa. Kejadian di Pulo Gadung, di mata dia murni pelanggaran hukum yang harus ditangani negara.

"Pemerintah sebagai pihak yang secara konstitusional bertugas melindungi rakyat maka dia bisa membuat peraturan yang melarang orang untuk berkumpul-kumpul dan atau melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang termasuk melakukan kegiatan shalat berjemaah di masjid dan mushala," kata Anwar.

"Dan kalau peraturan itu sudah dibuat dan diberlakukan maka para penegak hukum harus menegakkan aturan tersebut dengan menindak orang yang melanggarnya," tambahnya.

Namun, Anwar menegaskan, dalam kondisi seperti ini, kejernihan berpikir sangat penting. Artinya, segala bentuk penegakan hukum tak boleh dilihat sebagai perlawanan terhadap ajaran agama selama penegakan hukum itu dilandasi semangat melindungi rakyat.

"Mereka masih bisa melakukan ibadah yang hendak mereka laksanakan itu di rumah baik secara sendiri-sendiri atau dengan berjemaah bersama anggota keluarga," kata Anwar.

Maka, dengan beragam persoalan, negara perlu mengambil peran nyata. Masyarakat pun memiliki peran tak kalah penting. Barangkali, tak ada salahnya mengikuti anjuran MUI sebagai otoritas yang menaungi kehidupan beragama Islam di Indonesia. Kita tanggung fatwa dengan patuh, biar MUI yang jawab pertanyaan-pertanyaan tentang dasar hukum pengambilan fatwa tersebut. Kepada negara, agama, dan diri mereka sendiri.