Bagikan:

JAKARTA - Bukit Algoritma namanya. Lewat proyek itu Indonesia bakal punya Silicon Valley. Sebuah semangat yang bagus dari pemerintah, yang sayangnya barangkali lebih baik dilupakan. Bukan untuk dilupakan selamanya. Tapi banyak hal yang perlu dibenahi terlebih dulu. Banyak alasan untuk mengatakan itu. Lagipula, bukankah Silicon Valley telah ditinggalkan?

Rabu pekan lalu, 7 April, PT Amarta Karya (Persero) bersama Kiniku Bintang Raya KSO dan PT Bintang Raya Lokalestari mendandatangani kontrak penggarapan proyek Bukit Algoritma. Bukit Algoritma nanti akan jadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berbasis pengembangan teknologi dan industri 4.0.

Lewat proyek itu Indonesia akan membangun kawasan macam Silicon Valley di Sukabumi, Jawa Barat. Secara spesifik, proyek itu akan berdiri di lahan seluas 888 hektare yang mencakup kawasan Cikidang dan Cibadak.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyoroti rencana ini. Ia mengingatkan jangan sampai uang sebesar Rp18 triliun hanya jadi proyek gimik semata. Bukan tanpa alasan. Emil --sapaan akrabnya-- mengatakan ada tiga pendukung utama yang mendorong perkembangan Silicon Valley.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Sumber: Commons Wikimedia)

Pertama, Silicon Valley dikelilingi banyak universitas yang manusianya dijadikan sumber daya utama kawasan. Kedua, industri pendukung yang menopang inovasi. Terakhir, sinergitas industri finansial.

Bukan tak mendukung. Hanya saja di mata Emil, "kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya gimmick branding saja ... Niatnya saya respons. Saya dukung. Tapi hati-hati kepada semua orang yang dikit-dikit bilang mau bikin Silicon Valley," Emil, dikutip Antara.

Direktur Utama Amarta Karya Nikolas Agung bicara soal anggaran itu. Ia menjelaskan, di tahap awal pembangunan, tiga tahun ke depan, nilai total proyek Bukit Algoritma diestimasi menghabiskan 1 miliar euro atau Rp18 triliun.

Dana itu di antaranya digunakan untuk peningkatan kualitas ekonomi 4.0. Selain itu, uang Rp18 triliun itu bakal dimanfaatkan untuk meningkatkan pendidikan dan mendirikan pusat riset yang ditujukan menampung ide terbaik anak bangsa. Tak ketinggalan, dana itu juga untuk menopang peningkatan sektor pariwisata di kawasan.

Dikutip Tempo, Senin, 12 April, Nikolas menyampaikan mimpi besar agar Bukit Algoritma jadi "salah satu alat dukung penuh pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional."

Yang dilupakan pemerintah

Baiklah, kita catat penjelasan Direktur Utama Amarta Karya Nikolas Agung di atas. Anggaplah masalah pusat pendidikan dan riset termonitor. Namun banyak masalah lain. Pertama, tentu saja yang paling mendasar bahwa lokasi atau tempat fisik tak lagi relevan dalam pengembangan industri digital.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menyebut yang dibutuhkan industri digital saat ini adalah ekosistem, terutama di sektor ekonomi. Bukan tempat fisik. Apa ekosistem yang dimaksud Bhima?

Pertama, pembiayaan. Bhima mengatakan bank-bank BUMN harus mampu mendukung pembiayaan dengan bunga yang relatif murah. "KUR juga disasar ke startup. Porsinya lebih besar," kata Bhima, dihubungi VOI, Senin, 12 April.

Selain itu, sebagai KEK, Bukit Algoritma harus menjamin berbagai macam keuntungan bagi pihak-pihak yang merintis bisnis digital di dalam kawasan. Insetifnya harus besar-besaran. "Siapapun perusahaan, misalnya startup ataupun inovator yang ada di tempat itu, berarti dia harus mendapatkan banyak sekali keuntungan dibandingkan di luar area."

BUMN juga wajib tersinergi dalam komitmen, bahwa segala hasil inovasi para inventor atau inovator di kawasan akan diserap oleh BUMN. Bahkan, Bukit Algoritma harus mampu memberi jaminan investor.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira (Instagram/@bhimayudhistira)

"Jangan kemudian sama saja disuruh cari pendanaan venture capital sendiri. Nah kalau ada guarantee atau jaminan pemanfaatan output inovasi, pasti akan menarik. Itu mungkin di situ game changer-nya akan di situ."

Selain itu, instrumen lain yang dibutuhkan adalah penyederhanaan birokrasi, terutama soal paten. Inovasi dan penemuan dalam industri digital membutuhkan kecepatan. Bukit Algoritma harus menyediakan layanan terpadu terkait pendaftaran paten.

"Masalah yang dihadapi sekarang itu sederhana. Setiap hari itu ada inovasi baru. Sementara untuk memeroleh paten, itu butuh waktu yang relatif lama, bisa bertahun-tahun."

"Di wilayah yang disebut Bukit Algoritma itu, di situ kalau ada inovasi, didaftarkan, di situ ada pendaftaran terpadu satu pintu untuk paten, bisa selesai dalam hitungan hari atau maksimum minggu, maka itu mungkin akan jadi pembeda dengan sarana yang sudah ada tapi belum ada backup penuh dari pemerintah."

Tepatkah merujuk Silicon Valley?

Kawasan Silicon Valley (Sumber: Commons Wikimedia)

Apa yang dipaparkan ekonom INDEF, Bhima Yudhistira jadi masuk akal jika melihat yang terjadi di Silicon Valley hari ini. Silicon Valley kini sudah ditinggalkan.

Sejak 2020, perusahaan-perusahaan teknologi besar telah minggat dari kawasan yang terletak di San Fransisco, California itu. Salah satu perusahaan yang paling terkait dengan sejarah Silicon Valley, Hewlett Packard Enterprise (HPE) telah merelokasi kantor pusat mereka ke Texas.

Padahal perusahaan komputer raksasa itu jadi tonggak penting berdirinya Silicon Valley pada 1938. Langkah HPE diikuti perusahaan komputer lain, Oracle yang pindah kantor ke Austin pada akhir 2020. Berlanjut, Elon Musk juga membawa jajaran eksekutif Tesla ke Texas.

Ada beberapa hal yang konon melandasi itu, mulai dari manajemen yang berantakan hingga harga properti dan pajak penghasilan individu yang tinggi di Silicon Valley. Dan pandemi COVID-19 melatih fleksibilitas mereka.

Pandemi telah mengubah pola kerja manusia. Perusahaan-perusahaan teknologi besar itu sadar manusia telah beradaptasi. Industri teknologi tak lagi bergantung pada lokasi fisik. Karenanya, magnet Silicon Valley tak lagi kuat.

"Nah, kejadiannya memang tidak bisa disamakan dengan Silicon Valley karena di Silicon Valley itu ekosistem pada saat itu membutuhkan semacam support tertentu dari pemerintah AS," tutur Bhima.

Kawasan Silicon Valley (Sumber: Commons Wikimedia)

Survei yang dilakukan situs lamaran kerja, HackerRank menguatkan perspektif betapa ketinggalan jika kita melihat Silicon Valley sebagai rujukan pembangunan industri digital hari ini. Survei yang melibatkan 12 ribu perempuan yang bekerja sebagai developer di seratus negara itu memaparkan Silicon Valley bukan lagi penentu arah teknologi di masa depan.

Responden, terutama Gen Z justru memandang pusat finansial di Shanghai, China sebagai pusat tata surya pengembangan teknologi ke depan. Di Asia Pasifik, dengan lebih kurang 14 persen responden menyebut Bangalore, India sebagai rujukan masa depan.

Berbagai hal tak kondusif di Silicon Valley, sebagaimana dijelaskan di atas juga mendorong munculnya hub teknologi baru di Amerika Serikat (AS). Kota-kota seperti Austin, Boston, dan Seattle mengembangkan pusat-pusat pengembangan teknologi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.

"Ini mengarah pada kebangkitan industri teknologi di kota-kota seperti Shanghai dan Bangalore, yang perusahaan rintisannya memiliki dampak tidak hanya di kancah teknologi lokal, tetapi juga di pasar AS," kata Vice President of People HackerRank Maria Chung, dikutip CNBC.

*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya