JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akhirnya buka suara terkait dengan koreksi IMF (International Monetary Fund) atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 dari sebelumnya 4,9 persen menjadi 4,3 persen.
“Buat kami semua prediksi sekarang ini bersifat subjective to uncertainty. Jadi asumsinya macam-macam, seperti vaksinasi, terjadi gelombang ketiga penyebaran pandemi, dan lain-lain,” ujarnya dalam acara Sarasehan Akselerasi Pemulihan Ekonomi Nasional di Bali yang disiarkan secara virtual, Jumat, 9 April.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, hal terbaik yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan segala sumber daya, termasuk menciptakan kebijakan yang tepat sasaran.
“Namun dari sisi kebijakan yang bisa kami bentuk, adalah terus melakukan penyesuaian anggaran. Oleh karena itu pada 2021 pemerintah melakukan upaya penyesuaian,” tuturnya.
Langkah tersebut diklaim Sri Mulyani cukup berhasil. Hal tersebut bisa dilihat dari laju kontraksi pertumbuhan yang tidak terlalu dalam dibandingkan dengan beberapa negara lain.
"Kita sudah cukup berhasil menahan kontraksi tidak terlalu dalam. Jika negara-negara lain bisa sampai minus 8-9 persen, kita hanya minus 2 persen,” imbuhnya.
Kemudian, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menjelaskan bahwa dari sisi anggaran Indonesia memiliki volatilitas yang lebih terjaga.
“Defisit fiskal kita relatif lebih kecil, yaitu 6 persen. Bandingkan dengan negara-negara lain yang bisa mencapai dua digit, seperti Amerika Serikat yang mencapai 15 persen,” sebut dia.
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan pemerintah tetap melihat proses vaksinasi adalah game-changer utama. Untuk itu, dirinya berharap program tersebut bisa terus dijalankan sehingga meningkatkan kepercayaan sektor ekonomi guna mengakselerasi pemulihan secara lebih cepat.
“Sampai hari ini sudah 12 juta lebih orang yang menerima vaksin COVID-19, dan ini penting untuk mendongkrak confidence dalam perekonomian,” katanya.
Untuk diketahui, lembaga keuangan internasional IMF beberapa waktu lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 menjadi 4,3 persen dari sebelumnya 4,9 persen.
Asumsi itu didasarkan pada dua hal. Pertama adalah perkiraan ekspansi fiskal yang lebih moderat sembari terus meningkatkan belanja sosial dan belanja modal secara jangka menengah.
Kedua, terkait dengan sisi moneter dengan acuan utama inflasi yang masih dalam tren melandai hingga penutupan kuartal I 2021.
Sejatinya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga melakukan langkah yang sama dengan merevisi pertumbuhan menjadi 4,5 persen-5,5 persen dari sebelumnya 4,5 persen-5,3 persen.
Sementara otoritas moneter Bank Indonesia (BI) memangkas dari 4,8 persen hingga 5,8 persen menjadi menjadi 4,3 persen hingga 5,3.
Program vaksinasi
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai perkembangan jumlah vaksinasi, yang kini mencapai 9 juta untuk dosis pertama dan 4 juta untuk dosis kedua merupakan sinyal yang baik bagi pemulihan ekonomi.
“Namun jumlah ini masih jauh dari threshold herd immunity, dengan syarat 181 juta orang atau 360 juta vaksinasi (dua dosis),” ungkap laporan LPEM UI yang dikutip Selasa, 6 April.
Lembaga think tank itu melihat upaya mempercepat vaksinasi untuk mencapai kondisi herd immunity menjadi kunci penting untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi.
Inflasi landai
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi inflasi 0,08 persen secara bulanan atau month-to-month (m-o-m) pada Maret 2021. Bukuan tersebut lebih rendah dari Februari 2021 yang sebesar 0,10 persen dan Januari 2021 dengan 0,26 persen.
Landainya angka inflasi yang menjadi salah satu indikator geliat ekonomi, juga diamini oleh Bank Indonesia. Otoritas moneter menyebut perkembangan ini dipengaruhi oleh perlambatan inflasi kelompok inti dan kelompok administered prices, di tengah kenaikan inflasi kelompok volatile food.
“Secara tahunan, inflasi Maret 2021 tercatat 1,37 persen (y-o-y), atau turun dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 1,38 persen (y-o-y),” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono.
Ekspansi kredit tertahan
Tanda-tanda pemulihan yang cenderung belum menunjukan hasil signifikan berimbas pada permintaan kredit perbankan yang masih tertekan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan fungsi intermediasi perbankan pada Januari 2021 terkontraksi minus 1,92 persen secara tahunan dengan realisasi menjadi Rp5.391,7 triliun
Tekanan lebih dalam terjadi pada periode Februari 2021 dengan catatan minus 2,15 persen y-0-y dan realisasi penyaluran kredit menjadi Rp 5.419,1 triliun.
“Kredit masih berada dalam zona kontraksi,” ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang disiarkan secara virtual dari Bali, Jumat, 9 April.
Meski demikian, dirinya yakin permintaan kredit akan terus membaik seiring dengan perbaikan sejumlah indikator. Salah satunya datang dari sektor pariwisata yang menunjukan tanda pemulihan dalam kondisi normal baru.
“Terutama untuk perhotelan, café, dan restoran silahkan untuk berkomunikasi dengan bank agar menyiapkan utilitasnya,” tegas Wimboh.
*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Andry Winanto.