JAKARTA – Kecelakaan beruntun di Tol Cipularang merupakan akumulasi karut marut penyelenggaraan atau tata kelola angkutan logistik di Indonesia. Pengamat transportasi juga mengingatkan pentingnya sekolah pengemudi bagi para calon sopir bus atau truk untuk menambah pengetahuan keselamatan dalam berkendara.
Kecelakan di ruas Tol Cipularang KM 92 arah Jakarta yang terjadi pada Senin (11/11/2024) sore menyita perhatian khalayak. Bagaimana tidak, kecelakaan ini melibatkan belasan kendaraan yang memakan satu korban jiwa dan sembilan luka-luka.
Tiga hari pasca-kejadian, polisi telah menetapkan sopir truk trailer berinisial R sebagai tersangka dalam kecelakaan tersebut. Hal ini diungkap Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Jules Abraham dalam konferensi pers, Kamis (14/11).
Penetapan tersangka terhadap sopir truk dilakukan setelah pihak kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dengan metode Traffic Accident Analysis (TAA) serta ram check terhadap kendaraan. Polisi menyebut penyebab kecelakaan beruntun di Tol Cipularang akibat kegagalan fungsi rem pada truk trailer.
“Rem blong karena bermuatan cukup banyak, cukup berat sehingga menabrak kendaraan di depannya,” kata Jules dikutip dari Antara.
Namun penetapan R sebagai tersangka disorot banyak pihak. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak hanya menyalahkan sopir. Menurutnya, perilaku para sopir merupakan dampak dari aturan pemerintah yang tidak jelas.
Akibat Liberalisasi Angkutan Barang
Terlepas dari kondisi jalan Tol Cipularang yang disebut berisiko, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) justru menyoroti insiden kecelakaan yang melibatkan truk terus berulang. Menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat Djoko Setijowarno, kecelakaan yang melibatkan angkutan berat seperti, seperti truk, kerap terjadi.
Apalagi truk-truk tersebut juga tidak jarang melebihi kapasitas atau over dimension overloading (ODOL). Kecelakaan ini, termasuk yang terjadi di Tol Cipularang KM 91, merupakan dampak dari pengaruh liberalisasi angkutan barang yang semua diserahkan ke maknisme pasar. Untuk itu, Djoko melihat perlu adanya peninjauan ulang dari mekanisme ini.
“Kebijakan keselamatan lalu lintas sering kali berhadapan dengan prioritas lain, seperti menekan harga murah (toleransi pada truk berdimensi dan muatan lebih) untuk menjaga inflasi tetap rendah,” kata Djoko dalam keterangan yang diterima VOI.
”Di negara maju mekanisme pasar memang berjalan, tetapi masih ada norma-norma batasan, seperti aturan teknis keselamatan kendaraan dan regulasi pengemudi yang dijalankan secara ketat. Liberalisasi hanya pada pengenaan tarif dengan tetap memenuhi standar,” imbuhnya.
Di Indonesia, kata Djoko, memberlakukan liberalisasi di sisi tarif, sementara standar keselamatan dan norma-norma lain diabaikan demi efisiensi pergerakan biaya. Akibatnya, hampir setiap hari terjadi kecelakaan truk di Indonesia.
Dalam keterangannya, ia juga menyebut kecelakaan truk menempati peringkat kedua setelah sepeda motor, meski jumlah truk lebih sedikit dibandingkan mobil. Ini menandakan tata kelola angkutan logistik masih buruk.
Hal senada juga diungkap pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) R. Sony Sulaksono Wibowo. Ia menuturkan kecelakaan yang terjadi di Tol Cipularang salah satunya akibat permasalahan angkutan barang. Banyak truk di dalam tol yang melebihi kapasitas tapi tak terawasi.
"Satu sisi menganggap ODOL adalah bagian dari logistik, satu lagi melihat ODOL adalah pelanggaran. Argumen pembatasan ODOL akan mempengaruhi logistik nasional pun belum terbukti," kata Sony.
Sony menyebutkan tanggung jawab kecelakaan tidak hanya terletak pada sopir truk, tetapi juga pada perusahaan angkutan dan pemilik barang.
Butuh Sekolah Sopir
Sudah menjadi rahasia umum di negara ini, bahwa untuk menjadi sopir truk, maupun bus, hanya perlu ‘naik kelas’ dari tugas sebagai kernet, sehingga kemungkinan mereka tidak memiliki ilmu dan pengetahuan yang cukup untuk berkendara dengan aman. Sederhananya, mereka ini hanya sekadar bisa menyetir truk untuk kemudian dijadikan sebagai profesi.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pemerintah wajib menyelenggarakan sekolah mengemudi untuk semua jenis kendaraan. Selama ini, hanya pilot, nakhoda, dan masinis yang diwajibkan sekolah khusus sebelum mengendarai pesawat, kapal laut, dan kereta api. Sedangkan sopir angkutan darat tidak ada sekolah khusus.
“Untuk dapat mengendarai bus dan truk cukup melalui pemagangan menjadi kernet, dimulai dari markir kendaraan dan cuci kendaraan. Setelah bisa markir kendaraan, kemudian mencoba menjalankan truk atau bus dalam jarak terbatas, dan seterusnya,” ucap Djoko.
“Cara ini harus segera diakhiri. Kementerian Perhubungan bersama Polri saling berkoordinasi dapat memulai membuat sekolah mengemudi untuk calon pengemudi angkutan umum,” lanjutnya.
Dijelaskan Djoko, ini sesuai amanah Pasal 77 (ayat 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan untuk mendapatkan surat izin mengemudi kendaraan bermotor umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
Setelah ada sekolah mengemudi untuk calon pengemudi truk dan bus, maka semua calon pengemudi wajib mengikuti sekolah mengemudi dulu sebelum memperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi).
SIM hanya dapat diberikan kepada mereka yang sudah lulus mengikuti sekolah mengemudi. Sedangkan bagi mereka yang sudah punya SIM dan selama ini sudah menjalankan truk, wajib mengikuti Diklat minimal satu minggu untuk memahami aspek keselamatan dan perilaku berlalu lintas yang beradab.
BACA JUGA:
Senada, founder Jakarta Defensive Driving Consulting atau JDDC Jusri Pulubuhu juga mengatakan banyak sopir truk dan bus tidak punya pengetahuan cukup mengenai teknik berkendara aman.
"Jika rekrutmennya salah, akan melahirkan driver yang tidak berkualitas. Rekrutmen tanpa disertai pelatihan dan pengembangan akan berdampak pada kualitas pengemudi," pungkasnya.