Bagikan:

JAKARTA - Peristiwa penyerangan di Mabes Polri direspons warganet Twitter dengan olok-olok. Dalam waktu singkat, foto jenazah ZA, pelaku penyerangan bertebaran sebagai meme di linimasa. Hal ini seolah menunjukkan pesan teror yang disampaikan para pelaku terorisme gagal sampai. Masyarakat bereaksi tak terduga. Tak ada ketakutan bagi mereka.

Sebelumnya, pelaku yang diketahui perempuan berinisial ZA (25) menyelinap masuk ke Mabes Polri lewat pintu belakang. Pelaku diperkirakan datang sekitar pukul 16.30 WIB. 

Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo 31 April, setelah masuk ke Mabes Polri, ZA  berjalan mengarah ke bagian depan gerbang utama. Di sana ia pura-pura bertanya letak kantor pos. 

Barulah kemudian ia melakukan aksi penyerangan. Dia beberapa kali menembak petugas. "Penembakan sebanyak 6 kali, 2 kali kepada anggota yang di dalam pos, 2 kali yang ada di luar, dan menembak lagi kepada anggota yang di belakangnya," kata Listyo Sigit.

Pasca-kejadian itu, video rekaman aksi penyerangan ZA tersebar luas di media sosial. Anomali pun terjadi. Bukan rasa takut yang warganet rasakan. Kejadian ini malah dibuat bahan becandaan.

Salah satu akun yang membagikan meme teroris adalah pemilik akun @mazzini_gsp. Ia membagikan foto jenazah pelaku aksi penyerangan yang diberi tulisan: Dari teroris amatir ini kita belajar cewek juga bisa nembak duluan.

Selain itu ada juga orang yang membuat meme dari foto suasana pasca penyerangan Mabes dengan memberi nuansa permainan gim perang PUBG. Dan ada lagi yang memberi tulisan pada foto tersebut dengan "dari teroris amatir ini kita belajar jangan solo kalo push rank."

Saking banyak yang menjadikan foto pelaku penyerangan sebagai meme. Pemilik akun @meongggw, membuat meme yang berharap agar si pelaku kembali hidup. 

Dianggap hiburan

Pengamat teroris dari Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya menyebut aksi teror di Mabes Polri itu gagal. Bahkan ia tak aneh melihat aksi warganet yang malah mengolok-olok aksi teror kemarin. Sebab rasa takut terhadap teroris itu telah lama luntur.

"Iya (gagal) jadi masyarakat pun akhirnya enggak takut kan dengan adanya teroris. Takutnya sama corona," kata Harits kepada VOI

Harits mencontohkan ketika terjadi aksi tembak-menembak di Thamrin, Jakarta. "Orang-orang malah jadi penonton di kejadian itu."

"Disebut melahirkan teror, padahal tidak. Dari dulu udah begitu," ujar Harits. 

Contoh lainnya, kata Harits adalah ketika terjadi bom di Gereja Surabaya. Menurutnya pasca peristiwa itu masyarakat sekitar malah berbondong-bondong melihat tempat kejadian perkara. "Enggak ada yang ditakutin."

Menurut Harits, bisa dibilang saat ini terorisme bila ada di dunia entertain sudah seperti hiburan tersendiri bagi masyarakat. "Terorisme itu kalau di entertain jadi semacam hiburan tersendiri bagi masyarakat."

Oleh karena itu, kata Harits, saat ini pandangan masyarakat seperti terbelah dua. Ada yang percaya dan ada yang tidak. 

"Yang tidak mendiskreditkan peristiwa ini, menyebut ini aksi intelijen dan lain sebagainya. Yang percaya, semakin yakin bahwa negara ini sedang berada dalam ancaman," kata Harits. 

Mabes Polri dijaga ketat usai teror perempuan berinisial ZA (Rizky Adytia/VOI)

Tindakan kriminal

Kembali ke kasus penyerangan Mabes Polri, Harits menyebut apa yang dilakukan ZA sangat amatir. Bahkan ia lebih srek menyebut aksi ZA sebagai tindakan kriminal. Dia skeptis bila menyebut aksi ini sebagai terorisme. 

Sebagai contoh, ketika ZA masuk ke halaman, ia begitu terlihat linglung dan terlihat seperti tak paham medan. "Ini aksi yang tergolong nekat, amatiran, dan enggak jelas. Saya lebih suka menyebut ini tindakan kriminal saja."

Kata Harits, begitu banyak aksi teror yang terjadi. Namun bukan berarti tindakan tersebut otomatis termasuk ke dalam aksi terorisme. 

"Geng motor itu banyak yang melakukan aksi teror, preman itu menteror. Jadi perampok dareah lampung itu menteror. Tapi kan tidak bisa dikategorikan ke dalam kategori itu (terorisme)," jelasnya.

Menurut Harits kita sepertinya sudah terlalu berlebihan dalam menggunakan frasa terorisme. "Jadi saat ini bisa dibilang teroris itu diliat dari latar belakangnya. Kalau sudah dianggap terkait, semua aktivitasnya dianggap bahaya. Barangkali kencing di kantor polisi dianggap aksi teror."

Padahal, masih menurut Harits, parameter dalam menentukan tindak tanduk terorisme itu harus objektif. Hal itu harus merujuk pada Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. 

Haris bilang saat ini terjadi ambivalensi dalam menangani terorisme. Ada standar ganda dalam penerapan istilah tersebut. Padahal bila merujuk beleid itu, "terorisme itu harus ada berdasarkan ideologi, politik."

Meskipun saat ini sudah bertebaran surat wasiat yang ditinggalkan ZA untuk keluarganya, yang menyebut soal jihad. Namun hal itu menurut Harits perlu diuji forensik terlebih dahulu. 

"Tapi orangnya kan mati, semuanya enggak bisa dikonfirmasi. Apa benar itu surat jihad atau bukan juga enggak bisa langsung disebut begitu. Harus ada uji forensik," ujarnya. 

Skeptis

Untuk itu, Harits sebenarnya menyayangkan ketika pelaku yang terlihat begitu lemah itu dilumpuhkan sampai tewas. Padahal menurutnya, proses penegakan hukum itu harus bisa meminimalisir jatuhnya korban. Bukan apa-apa dengan menangkap pelaku hidup-hidup, semua spekulasi akan terjawab tuntas, dan siapa yang menjadi otak dari kejadian ini bisa lebih cepat diungkap. 

"Kalau dia idupkan bisa dibuka semua misterinya. Kalau mati semuanya jadi spekulasi, ini siapa, asalnya dari mana. Ini tafsiran yang perlu pembuktian," kata Harits. 

Sebab, menurut Harits banyak kemungkinan yang bisa terjadi sebelum aksi teror dilakukan. "Bisa aja orang dalam kondisi labil melakukan hal tak wajar, atau lagi marah, kemudian dipengaruhi seseorang untuk melakukan hal seperti itu. Ini kan aneh dateng masuk, apa yang dicari ia enggak tau tempat enggak tau target." 

Adanya hal yang dianggap janggal itulah yang membuat banyak masyarakat, menurut Harits, banyak yang tak percaya terhadap aksi terorisme. Selain itu, aksi terorisme yang seperti berpola ini juga menambah skeptis banyak orang terhadap kasus semacam ini. 

"Selalu akan muncul tahunan, atau muncul ketika ada isu besar. Masalahnya susah untuk ditolak persepsi seperti itu, karena kejadiannya terus berulang. Polanya sama. Jadi enggak bisa disalahkan juga," pungkasnya. 

*Baca Informasi lain soal BOM BUNUH DIRI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya