Bagikan:

JAKARTA – Kasus dugaan hilangnya uang nasabah BTN kembali menjadi perhatian publik. Minimnya literasi keuangan membuat masyarakat mudah tergiur dengan iming-iming bunga besar. Tapi, pihak bank juga tetap harus bertanggung jawab atas kasus ini.

Pada akhir April 2024 sejumlah nasabah BTN melakukan pembakaran ban di depan Gedung Bank BTN Harmoni, Jakarta. Massa juga sempat memboikot akses masuk Gedung BTN dengan kobaran api pada Selasa (30/4/2024) siang.

Demo itu dilakukan menuntut dana mereka yang hilang setelah ditipu oleh oknum eks pegawai BTN.

Direktur Operations and Customer Experience BTN Hakim Putratama (tengah) bersama Kuasa Hukum BTN Roni (pertama dari kanan) dan Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Pusat BTN, Jakarta, Rabu (8/5/2024). (Antara/Rizka Khaerunnisa)

Diketahui demonstran itu merupakan korban penipuan oleh eks pegawai BTN yaitu ASW dan SCP. Kedua oknum itu telah ditetapkan bersalah oleh Polda Metro Jaya sejak 6 Februari 2023 terkait tindak pidana penipuan dan penggelapan serta pemalsuan surat.

Kasus sejumlah nasabah yang mengklaim dananya hilang bermula ketika mereka menempatkan dana di BTN melalui eks-pegawai perseroan.

Dapat Merusak Reputasi Bank

Kuasa Hukum BTN, Roni, menjelaskan bahwa pembukaan rekening oleh eks-pegawai BTN tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Para nasabah bahkan dijanjikan produk deposito dengan bunga 10 persen per bulan.

Setelah membukakan rekening nasabah, eks-pegawai BTN tersebut tidak memberikan dokumen-dokumen resmi sebagaimana umumnya, seperti buku tabungan maupun kartu ATM, kepada nasabah sehingga diduga kuat seluruh data nasabah yang terkumpul dimanfaatkan oleh oknum tersebut termasuk mengirimkan dana nasabah ke rekening pribadi eks-pegawai.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN menegaskan bahwa bank tidak pernah menyediakan produk deposito dengan suku bunga 10 persen per bulan atau 120 persen per tahun.

"Harus saya garis bawahi bahwa tidak ada produk tabungan ataupun simpanan yang bunganya 10 persen per bulan. Itu hal pertama yang harus kita pahami sama-sama untuk dijadikan edukasi kepada masyarakat," kata Direktur Operations and Customer Experience BTN, Hakim Putratama di Kantor Pusat BTN Jakarta, dikutip dari Antara.

Berdasarkan informasi di halaman website BTN, suku bunga produk deposito BTN ritel rupiah yang ditawarkan kepada nasabah yaitu mulai dari 2,35 persen hingga 3,40 persen per tahun sesuai dengan strata saldo yang ditetapkan. Besaran suku bunga deposito tersebut efektif berlaku sejak 9 Juni 2023.

Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo buka suara terkait kasus penipuan yang dilakukan oleh oknum karyawan Bank BTN berinisial SCP dan ASW.

Menurut Arianto, sejauh ini langkah yang dilakukan oleh Bank BTN sudah tepat dengan menginvestigasi secara menyeluruh untuk mengetahui kronologi kejadian, modus operandi, dan pihak-pihak yang terlibat.

"Kemudian melakukan tindakan administratif kepada pelaku dan karena transaksi tidak melibatkan produk, prosedur, dan kebijakan bank maka BTN meminta korban untuk menindaklanjuti dengan proses hukum," ujarnya saat dihubungi VOI, Kamis 2 Mei.

Arianto menilai, kasus penipuan oleh staf bank dengan menjanjikan bunga tinggi merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan nasabah dan dapat merusak reputasi bank.

"Oleh karena itu, penting bagi manajemen Bank BTN untuk mengambil langkah-langkah tegas dan proaktif untuk menangani kasus tersebut, melindungi nasabah, dan mencegah terjadinya penipuan di masa depan," sambung Arianto.

Arianto menambahkan, hal yang penting untuk kemudian dilakukan adalah mencegah terjadinya penipuan di masa depan dengan melakukan beberapa langkah antara lain dengan memperkuat sistem kontrol internal bank.

Selain itu, Arianto juga menekankan pentingnya meningkatkan literasi keuangan nasabah agar hal serupa tidak terulang.

"Kemudian meningkatkan edukasi dan literasi keuangan kepada nasabah tentang modus-modus penipuan di perbankan dan terakhir bekerjasama dengan otoritas terkait untuk mencegah dan memberantas penipuan di sektor keuangan," kata dia lebih lanjut.

Bank Harus Ikut Tanggung Jawab

Kasus hilangnya uang nasabah di sebuah bank bukan hanya kali ini terjadi. Mirip dengan yang terjadi di BTN, pada Januari lalu seorang oknum karyawan salah satu Bank BUMN dengan inisial SDS (39) diduga telah menggelapkan uang nasabahnya berhasil diringkus Jajaran Ditreskrimsus Polda Sumbar.

Tersangka yang menjabat sebagai analis di bank tersebut beraksi dengan modus pemalsuan Surat Utang Negara (SUN) kepada enam nasabahnya. Mereka ini dibujuk tersangka untuk berinvestasi dengan bunga tinggi pada SUN. Padahal SUN tidak pernah diterbitkan negara.

Modus kejahatan lainnya berupa pemalsuan dokumen yang berujung pada pembobolan dana nasabah terjadi di Bank Syariah Mandiri (BSM) periode 2014-2015 yang melibatkan dua orang karyawan dengan nilai kerugian mencapai Rp50 miliar. Dua karyawan adalah Manager Marketing BSM Cabang Gatot Subroto dan Trade Specialist Officer BSM.

Tak ketinggalan, kasus fenomenal pembobolan rekening nasabah yang kemudian berkembang sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Inong Malinda atau Melinda Dee, mantan Relationship Manager Citibank di kantor cabang Citibank Landmark, Jakarta Selatan menjadi biang kerok dari kasus ini.

Kejahatan perbankan yang terjadi di Indonesia acap kali melibatkan orang dalam di kalangan itu sendiri. Modusnya beragam, mulai dari memasukkan data atau identitas tanpa izin hingga iming-iming bunga besar yang mengakibatkan hilangnya dana simpanan nasabah.

Nasabah bank BTN cabang Harmoni, Jakarta membakar ban sebagai anda protes atas kehilangan uang mereka di bank tersebut. (Dok. BTN)

Mengutip sejumlah sumber, kejahatan seperti ini disebut seagai kejahatan ‘kerah putih’. Istilah kejahatan ‘kerah putih’ pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog asal Amerika Serikat, Edwin H. Sutherland pada 1939.

Sutherland mendefinisikan White Collar Crime sebagai “a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of their occupation.

Ia berpendapat kejahatan ‘kerah putih’ merupakan kejahatan yang dilakukan seseorang yang sangat terhormat dan berstatus sosial tinggi di dalam pekerjaannya. Tindakan kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan profesional, perdagangan, maupun kehidupan politik.

Perlu adanya peningkatan tingkat profesionalitas pelaku industri perbankan dalam melakukan kewajiban dan tugasnya dengan penuh tanggung jawab serta meningkatkan rasa kepercayaan diri bagi masyarakat luas.

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno mengatakan, kejahatan perbankan terjadi disebabkan faktor eksternal dan internal yang berperan penting di dalamnya.

“Faktor internal kejahatan perbankan memang berasal dari manusia itu sendiri,” kata Sarwoto pada 8 Juni 2023.

Tersangka utama kasus pembobolan Citibank, MD alias Malinda Dee, keluar tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), Mabes Polri, Jakarta, Senin (4/4). (Antara/Kholis)

Keterlibatan orang dalam perbankan adalah bagian dari risiko yang harus diatasi. Risiko tersebut menurut Sarwoto bisa dikurangi bila dilakukan mitigasi dari masing-masing bank itu sendiri.

“Tentu harus ada langkah mitigasi baik untuk pelaku dan sistem perbankan. Jadi, perlu dilakukan audit sistem berulang,” tegasnya.

Selama ini, kata dia, sudah banyak peraturan yang memproteksi dan mencegah terjadinya kejahatan perbankan. Bahkan ada suatu respons yang harus dilakukan jika terjadi alarm kejahatan perbankan.

“Jadi kembali lagi, aturan sudah ada dari BI dan OJK dan tinggal bagaimana mengatasi permasalahan orang dan sistem teknologi dalam mengatasi kejahatan perbankan,” Sarwoto menjelaskan.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menambahkan, kejahatan kerah putih di perbankan selama ini tanggung jawabnya hanya dibebankan kepada pelaku semata.

“Padahal pihak bank seharusnya ikut bertanggung jawab, setidaknya secara perdata terkait dengan kerugian korban,” tegasnya.

Jika bank itu bertanggung jawab, kata Agustinus akan memaksa pihak bank melakukan rekrutmen dan pembinaan pegawai lebih baik.

“Tahun 2026 ketika KUHP nasional berlaku, maka tanggungjawab pidana bisa juga dibebankan kepada bank sebagai korporasi,” pungkasnya.