JAKARTA – Insiden pembubaran ibadah sejumlah mahasiswa Universitas Pamulang, Tangerang Selatan menjadi buah bibir. Toleransi antar umat beragama di Indonesia pun kembali dipertanyakan.
Sejak kemarin video warga membubarkan kegiatan ibadah yang digelar mahasiswa di Tangerang Selatan viral di media sosial. Dari unggahan video tersebut menampilkan sekelompok mahasiswa diduga dikeroyok dan dianiaya saat beribadah. Sebelum dibubarkan warga, mahasiswa yang berada di dalam satu rumah disebut sedang melakukan doa Rosario.
"Tadi malam mahasiswa Katolik Universitas Pamulang berkumpul di Sebuah rumah di Victor Serpong dan berdoa Rosario, tapi mereka digeruduk pak RT dan warga yg membawa sajam untuk membubarkan dan memukuli para mahasiswa yang sedang berdoa. Beruntung tidak ada korban jiwa," demikian keterangan dalam video itu.
Sampe kapan kalian bersikap primitif kaya begini yaa, la wong kegiatan Doa Maria itu baik, bukan sebuah kejahatan tapi kalian datangi pake golok.
Itu Ketua RT Diding mukanya yg kaya gimana sih ?? Mau liat gw modelan tampangnya 😤
Ini katanya di wilayah Setu, Tangsel yaa? pic.twitter.com/x3yWQhYHcE
— Bobby Risakotta 🔥 (@bobby_risakotta) May 6, 2024
Kapolsek Cisauk AKP Dhady Arsya menuturkan alasan warga membubarkan kegiatan ibadah yang digelar mahasiswa di Tangsel. Ia menjelaskan, tindakan itu dilakukan karena warga tidak kunjung menuntaskan proses ibadah meski sudah diingatkan. Peristiwa ini terjadi pada Minggu (5/5/2024), sekitar pukul 21.00 WIB.
“Sudah diingatkan sama tokoh sekitar, sama RT, untuk bubar ternyata belum bubar juga,” ujar dia kepada wartawan, Senin (6/5/2024).
Intimidasi Mayoritas terhadap Minoritas
Insiden pembubaran kegiatan ibadah tidak hanya sekali dua kali terjadi. Di Indonesia, meski terkenal sebagai sebutan bangsa yang toleran, tapi fakta di lapangan terkadang menjelaskan sebaliknya. Pembubaran kegiatan ibadah yang dilakukan warga setempat di Tangsel hanya secuil dari kisah-kisah intoleran lainnya di negeri ini.
Dua orang pria, salah satunya bernama Imam Mulyana, mendatangi rumah seorang warga Kampung Rawa Sentul RT 01/RW 04 Desa Jayamukti, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, bernama Jamin Sihombing yang beragama Kristen. Kejadian itu terjadi pada April 2020, saat virus COVID-19 sedang ganas-ganasnya menyerang Indonesia bahkan seluruh dunia.
Saat itu pemilik rumah sedang menggelar ibadah. Imam masuk dan marah-marah dengan nada lantang. Jamin Sihombing menjelaskan, kegiatan ibadah dilakukan di rumah karena ada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah.
Organisasi keagamaan yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah (PAS) menggelar unjuk rasa menolak digelarnya kegiatan kebaktian di Gedung Sabuga, Bandung, pada November 2016. Dikutip Antara, kelompok PAS menuntut penyelenggara memindahkan kegiatan keagamaan ke rumah ibadah, bukan di fasilitas umum.
Halili, Direktur Riset SETARA Institute, LSM yang banyak meneliti dan mengadvokasi isu demokrasi, kebebasan politik, dan HAM, menilai banyaknya kasus intoleransi di Indonesia terjadi karena watak mayoritas yang suka mengintimidasi minoritas.
"Virus intoleransi dan diskriminasi tak kalah bahayanya dari corona. Karena tak saja membahayakan human security minoritas, tapi juga dapat merusak tatanan tertib sosial dan kedamaian kita," kata dia, setelah kejadian di Bekasi dua tahun lalu.
Menurut Halili, keberagaman dan persatuan merupakan dasar negara yang wajib diterjemahkan oleh seluruh pejabat pemerintah, tak terkecuali mereka yang berada di tingkat desa atau rukun tetangga. Ia menilai selama ini pemerintah gagal memastikan pejabatnya menjalankan asas kebhinekaan.
"Pemerintah harus memastikan, pejabat dari struktur paling atas sampai bawah, memiliki perspektif kebhinekaan yang kokoh," ujar Halili.
Halili melanjutkan, pendekatan meritokrasi dapat menjadi solusi abainya pejabat pemerintah terhadap isu intoleransi.
"Perlu sanksi struktural bagi pejabat yang melakukan praktik intoleransi. Bisa mutasi atau hukuman lainnya. Jangan-jangan pejabat pemerintah tidak pernah saling berkoordinasi tentang kerukunan warga," katanya.
Dianggap Melecehkan Konstitusi
Tindakan kekerasan yang dilatarbelakangi intoleransi juga pernah terjadi di Papua saat Lebaran 2015. Kala itu terjadi kericuhan saat umat Muslim menggelar sholat Idulfitri di Karubaga, Tolikara. Sekelompok orang dari Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membubarkan secara paksa jamaah Shalat Id yang sedang memulai ibadah.
Kericuhan tak terkendali meski sempat dibubarkan aparat keamanan, sehingga mengakibatkan sejumlah kios dan tempat ibadah hangus terbakar. Akibat peristiwa ini pula, satu orang meninggal dan 11 lainnya terluka.
Belum lagi masalah adanya kesepakatan antarwarga di Dusun Karet, Pleret, Bandung, Yogyakarta, menolak penduduk non-Muslim tinggal di desa mereka. Kabarnya, keberadaan aturan itu telah berlaku sejak 2015.
Namun kesepakatan itu dibatalkan setelah seorang warga bernama Slamet Jurniarto yang beragama Katolik mempersoalkannya. Slamet tak diizinkan warga Karet menetap di dusun itu karena tak memeluk Islam.
Menjunjung tinggi dan menjalankan konstitusi adalah kewajiban sebagai warga negara. Karena itulah, semua rakyat Indonesia harus menjalankan kewajiban tersebut serta menaati peraturan perundangan yang berlaku, termasuk menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya.
BACA JUGA:
Mengutip laman Kementerian Agama, institusi agama yang melarang terlebih melakukan kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat dianggap melecehkan konstitusi. Sebab, larangan beribadah apalagi yang berujung kekerasan jelas melanggar konstitusi. Pihak-pihak yang terbukti melakukannya harus bertanggung jawab secara hukum.
“Pihak-pihak, baik perorangan maupun institusi, yang terbukti melakukan hal seperti itu tak hanya melanggar hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945, tetapi juga telah meruntuhkan sendi-sendi bangunan kerukunan hidup umat beragama,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 2015.