Bagikan:

JAKARTA – Gaya politik rangkulan versi Prabowo Subianto disebut memiliki sejumlah dampak negatif. Rencana Prabowo merangkul banyak partai di luar partai pendukungnya dalam pemilu akan memicu bagi-bagi kekuasaan yang semakin besar.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar tampak semringah saat menyambut kehadiran presiden terpilih Prabowo ke markasnya pada Rabu (24/4/2024). Raut wajah pria yang akrab disapa Cak Imin berbeda jauh dibandingkan beberapa bulan lalu, ketika ia kerap menyindir Menteri Pertahanan tersebut.

Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) juga sama. Bahkan Surya Paloh dan Prabowo terhitung sudah tiga kali bertemu sejak pemungutan suara Pemilihan Presiden 2024 berakhir. Terakhir kali mereka berjumpa di rumah Prabowo di Jalan Kertanegara Nomor 4, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Kabarnya, keduanya membicarakan rencana Nasdem bergabung ke koalisi Prabowo.

“Beroposisi bisa setiap saat, tapi bekerja membantu pemerintahan itu dibutuhkan juga suatu semangat, suatu spirit, dan keikhlasan hati yang mengedepankan objektivitas yang tetap menjaga nalar dan daya kritik,” kata Paloh kepada awak media.

Prabowo Subianto mengunggah momen pertemuannya dengan Ketua Uum NasDem Surya Paloh di kediamannya di Kertanegara, Kamis 25 April malam. (X/@Prabowo)

Pertemuan Cak Imin dan Surya Paloh setelah pilpres dimenangkan Prabowo-Gibran menjadi topik pembicaraan di mana-mana, meski sepertinya hampir seluruh rakyat tidak kaget melihat pemandangan ini di dunia politik.

Prabowo dan Surya Paloh serta Cak Imin berada di jalan yang berbeda saat Pilpres 2024. Pria kelahiran 17 Oktober 1951 merupakan capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang didukung sembilan partai politik, yaitu Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, PBB, PSI, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima.

Sementara Surya dan Nasdem mengusung paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, bersama PKB dan PKS yang berada di Koalisi Perubahan.

Namun setelah rangkaian drama pemilu, termasuk gugatan dari kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ketua umum ketiga partai tersebut justru berulang kali mengadakan pertemuan, di antaranya membahas rencana koalisi di pemerintahan Prabowo mendatang.

Pemerintahan Tidak Efektif

Founder dan CEO Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan oversize coalition atau koalisi yang gemuk berpotensi menghasilkan pemerintah yang ugal-ugalan dan serampangan, seperti yang terjadi selama 10 tahun ke belakang, sehingga sulit mewujudkan check and balance yang diharapkan

“Dengan koalisi yang gemuk, banyak kebijakan yang dibuat serampangan karena tidak ada opisisi yang kuat. Kemarin memang ada opisisi, tapi istilahnya tidak punya hak veto, sehingga tidak punya keputusan untuk menekan pemerintah. Oposisi semacam ini tidak maksimal,” kata Pangi saat berbincang dengan VOI.

“Harapannya tidak semua partai yang berseberangan bergabung ke pemerintah, tidak semua diakomodir. Karena ini semua demi demokrasi,” imbuhnya.

Di antara empat partai yang coba dirangkul Prabowo, yaitu NasDem, PKB, PKS dan PDIP, Pangi meramalkan hanya partai terakhir yang masih memiliki kans besar tetap bertahan di luar pemerintahan alias menjadi oposisi.

Meski peluang merapat ke Prabowo sama sekali tidak tertutup karena hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dan presiden terpilih tidak ada masalah, namun Pangi menegaskan koalisi lebih dari sekadar hubungan pribadi.

“Koalisi kan bukan keputusan pribadi, melainkan keputusan ideologis, keputusan suara rakyat, keputusan menjaga demokrasi. Ini lebih dari sekadar senang dan tidak senang atau suka dan tidak suka,” tutur Pangi.

Capres terpilih Prabowo Subianto mengunjungi Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin di Kantor DPP PKB, Jakarta, Rabu 24 April. (VOI/Nailin In Saroh)

Sementara itu, analis politik Karyono Wibowo menilai semakin banyaknya jajaran koalisi di tim Prabowo-Gibran diibaratkan seperti pisau bermata dua.

Di satu sisi, Karyono menilai koalisi gemuk bisa memberikan dampak positif yaitu menciptakan stabilitas pemerintahan. Politik rangkulan ala Prabowo terhadap lawan dalam pilpres dilakukan untuk mengatasi problematika presidensialisme di tengah sistem multipartai. Sebab, menurut Karyono, problematika sistem presidensial biasa terjadi ketika dikombinasikan dengan sistem multipartai.

“Persoalan kerap muncul ketika terjadi fragmentasi dan polarisasi yang tinggi sehingga berdampak pada sikap politik di parlemen yang dapat mengganggu relasi lembaga eksekutif dengan legislatif,” kata Karyono, mengutip Kompas.

Namun di sisi lain, koalisi yang dibentuk dari hasil kompromi bisa berdampak pada tidak efektif dan efisiennya pemerintahan. Itulah sebabnya, Karyono berpendapat partai oposisi masih diperlukan untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

“Koalisi gemuk tak jarang menyebabkan pemerintahan tidak efektif dan tidak efisien. Apalagi, jika prinsip dasar pembentukan kabinet pemerintahan sekadar dimaknai bagi-bagi kekuasaan, maka orientasi pembangunan nasional bisa bergeser menjadi sekadar pemenuhan kepentingan kelompok,” tegas Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute ini,  

“Agar ada check and balance yang diharapkan meminimalisasi terjadinya penyimpangan kekuasaan (abuse of power),” dia mengimbuhkan.

Tak Punya DNA Opisisi

Pertemuan Cak Imin dengan presiden terpilih Prabowo Subianto sehingga memunculkan spekulasi koalisi gemuk sebenarnya bukan sesuatu yang aneh menurut Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro. Menurut Bawono pertemuan tersebut merupakan cerminan sikap PKB menerima hasil Pilpres 2024. Selain itu, ia juga melihat PKB mencari peluang koalisi di pemerintahan baru.

"Pertemuan ketua umum PKB Cak Imin dan Prabowo Subianto bisa dilihat sebagai bentuk cerminan sikap politik PKB sebagai salah satu partai politik pendukung pasangan calon 01 telah sepenuh hati menerima hasil dari pemilihan presiden 2024 dan mencari peluang berkoalisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendatang ketimbang mengambil peran sebagai oposisi selama lima tahun mendatang," kata Bawono kepada wartawan.

Selain itu, ia juga menilai PKB tidak memiliki DNA sebagai partai oposisi selama berkiprah di panggung politik nasional. Sehingga tidak menutup kemungkinan parpol lain yang sebelumnya mendukung Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud mengikuti langkah PKB.

"Apalagi selama berkiprah di panggung politik nasional PKB tidak memiliki DNA sebagai partai oposisi. Langkah politik PKB tersebut bukan tidak mungkin nanti juga akan diikuti partai-partai politik lain pengusung pasangan calon 01 dan 03 seperti Partai NasDem dan PPP," katanya.