JAKARTA – Wacana soal rencana China membantu Indonesia mengembangkan sawah padi di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) sedang menjadi perhatian publik. Kenapa pemerintah harus repot-repot menggandeng China untuk menanam padi?
Rencana ini diungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Ia menuturkan, China bersedia untuk mengembangkan pertanian di Kalteng dengan memberikan teknologi padi. Rencananya, proyek ini dimulai pada Oktober 2024 dengan lahan 1 juta hektare.
“Kita (Indonesia) minta mereka (China) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada. Mereka bersedia,” ujar Luhut dikutip dari Antara.
Ini merupakan salah satu kesepakatan dari pertemuan keempat High Level Dialogue and Coorperation Mechanism (HDCM) RI-RRT di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2024). Luhut menuturkan, proyek ini penting karena Indonesia tengah mengalami masalah padi yang cukup serius.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volum impor beras Indonesia pada Januari 20204 mencapai 443 ton dengan nilai 297,2 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp 4,8 triliun (kurs Rp 16.222). Angka ini naik sekitar 82 persen dibanding impor beras Januari 2023 (year-on-year/yoy) yang hanya 243,66 ribu ton. Selain itu, nilainya juga meningkat sekitar 135 persen (yoy).
Luhut menegaskan, realisasi investasi terkait agrikultur demi mewujudkan ketahanan pangan cukup mendesak untuk dilakukan. Harapannya, kolaborasi dengan China dalam bidang riset dan teknologi pertanian serta penguatan kualitas produk pertanian, utamanya padi, bisa menjadikan Indonesia lumbung pangan ke depannya.
Apa yang dikumandangkan Luhut ikhwal rencana berkolaborasi dengan China untuk mengembangkan pertanian di Kalteng memantik perhatian dari berbagai kalangan. Pakar pertanian menyebut rencana ini justru berpotensi gagal panen, sementara pemerhati lingkungan hidup mengkhawatirkan potensi kerusakan lahan.
Tidak Selalu Berhasil
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori bukannya tidak mendukung transfer teknologi dari China. Namun, ia menegaskan jika kerja sama Indonesia-China termasuk dalam hal menyuplai benih padi dari luar negeri justru berpotensi mengalami kegagalan.
Penggunaan benih padi dari luar negeri ke Indonesia tidak selalu menjadi solusi baik dan bisa langsung diaplikasikan. Banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum ini dilakukan, mulai dari adaptasi cuaca atau iklim, sifat tanah yang berbeda, serta hama penyakit.
Proses adaptasi ini, menurut Khudori tidak diketahui berapa lamanya. Selain itu, penanaman benih dari dari luar negeri juga belum tentu berhasil karena beberapa val, termasuk perbedaan cuaca antara Indonesia dan China.
“Jangan lupa, China itu negara dengan empat musim, sementara Indonesia negara dengan dua musim. Perbedaan ini bakal memengaruhi karakter budidaya, karakter tanah, perilaku iklim/cuaca juga berbeda,” ujar Khudori dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI.
“Ahli di China bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil. Hal ini mesti disadari para pengambil kebijakan,” imbuhnya.
Khudori mencontohkan kejadian pada 2007, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambangi China dan kepincut benih hibrida China. Negeri Tirai Bambu memang terkenal soal ini, karena di sana ada pengembangan dan penemu benih hibrida, Yuang Longping. Menurut mereka, produktivitas padi bisa mencapai 16 ton per hektare dengan menggunakan benih hibrida ini.
Tergiur dengan klaim tersebut, perusahaan Indonesia menjalin kerja sama dengan perusahaan China di bidang perbenihan. Namun menurut Khudori, belakangan diketahui ternyata benih padi hibrida yang diimpor dan dibagikan sebagai bagian dari bantuan benih kepada petani hasilnya tidak sesuai ekspektasi.
“Di beberapa tempat padi hibrida yang ditanam petani terserang penyakit. Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usahatani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya,” jelas Khudori.
Diversifikasi Pangan Terancam
Rencana Luhut mengembangkan sawah padi juga mendapat sorotan dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng Bayu Herinata. Menurut Bayu, rencana ini mengancam ekosistem gambut yang ada di Kalteng.
Buntutnya, jika ekosistem gambut rusak bisa menyebabkan efek domino karena dapat mengakibatkan kehilangan cadangan karbon, cadangan air sampai keanekaragaman hayati.
"Lahan yang disiapkan secara besar-besaran akan merusak ekosistem gambut selain itu padi sawah juga memerlukan sistem irigasi yang memerlukan lahan lebih luas," jelas Bayu.
Menurut Bayu, sejumlah wilayah di Kalteng pernah melakukan praktik sawah padi. Namun, praktik yang dijalankan seperti program food estate di Gunung Mas dan Pulang Pisau hasilnya tak maksimal.
BACA JUGA:
Selain berpotensi merusak lingkungan dan kurang menguntungkan, program sawah padi juga dikhawatirkan akan memengaruhi sosial dan budaya masyarakat lokal. Bayu menuturkan, masyarakat lokal di Kalteng menerapkan diversifikasi pangan, sehingga mereka mampu bertahan ketika menghadapi perubahan iklim dan cuaca esktrem karena tidak bergantung pada satu jenis pangan.
"Masyarakat lokal dari dulu terbukti mampu bertahan dengan sistem berladangnya, seharusnya cara itu tetap diapakai pemerintah," pungkasnya.