Bagikan:

JAKARTA – Kasus pilot pesawat Batik Air yang tertidur saat mengudara menjadi perhatian banyak orang. Namun, sanksi kepada pilot dan kopilot yang menerbangkan pesawat dinilai bukan sebuah solusi. Para pengamat justru mendesak supaya waktu istirahat awak pesawat lebih diperhatikan.

Akhir-akhir ini masyarakat kasus pilot dan kopilot maskai Batik Air yang tertidur bersamaan selama 28 menit saat pesawat terbang dari Kendari ke Jakarta menjadi perhatian. Hal ini diketahui publik setelah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melakukan investigasi mendalam soal kasus ini.

Insiden ini terjadi pada 25 Januari 2024, tepatnya di pesawat Batik Air jenis Airbus A320 dengan kode registrasi PK-LUV, dengan rute penerbangan Jakarta-Kendari PP. Dalam laporannya, KNKT menuliskan, pesawat tersebut dioperasikan oleh dua pilot dan empat pramugari.

Dua pilot yang bertugas memiliki jabatan sebagai pilot utama atau pilot in command (PIC) dan second in command (SIC) atau yang lebih dikenal dengan sebutan kopilot. Keduanya berperan sebagai pilot penerbang utama atau pilot flying (PF) dan pilot pendamping atau pilot monitoring (PM).

Profil jejak penerbangan Batik Air dari Kendari ke Jakarta. (KNKT)

Dalam perjalanan dari Jakarta ke Kendari, di mana pesawat lepas landas pukul 3.14 WIB, SIC beristirahat di kokpit selama 30 menit. Pesawat mendarat di Kendari dengan selamat pukul 07.11 WITA.

Sekitar pukul 08.05 WITA pesawat kembali terbang dari Kendari ke Jakarta. Dalam perjalanan ini, pilot utama yang belum tidur sejak dini hari meminta izin waktu istirahat yang diiyakan kopilot.

Pilot terbangun dan menawarkan kopilot untuk bergantian istirahat, namun ditolak dan ia mengatakan untuk melanjutkan tugasnya. Saat itu, kopilot bertugas sebagai pilot flying dan pilot monitoring sekaligus.

Kopilot meminta Area Control Center (ACC) Makassar terbang menuju 250 derajat untuk menghindari cuaca buruk. ACC Masakassar menginstruksikan pesawat untuk menghubungi ATC Jakarta tapi ia tidak sengaja tertidur, menurut laporan KNKT. Tertidurnya pilot dan kopilot secara bersamaan diketahui setelah pesan petugas ACC di Jakarta tidak mendapat jawaban.

Kualitas Istirahat Perlu Diperhatikan

Laporan KNKT menyebutkan kopilot kurang tidur karena baru pindah rumah dan terkadang sulit tidur nyenyak karena harus membantu istri menjaga anak mereka.

“SIC (kopilot) merasa kualitas tidurnya menurun akibat beberapa kali terbangun (di tengah tidur),” demikian tulis KNKT.

Seusai membaca Laporan Pendahuluan Pengelidikan KNKT, pengamat penerbangan Alvin Lie berpendapat insiden tersebut dipicu oleh fatigue mental atau kelelahan secara mental. Ia menilai, alokasi waktu istirahat pilot sudah memadai dan memenuhi standar regulasi, tapi menurut Alvin kualitas istirahatnya tidak baik sehingga tidak menghasilkan kebugaran fisik maupun mental sebagaimana mestinya.

“Shift kerja tengah malam atau dini hari berdampak pada terganggunya metabolism tubuh pilot. Semoga insiden ini bukan hanya pucuk gunung es,” kata Alvin, dikutip dari akun X-nya @alvinlie21.

“Untuk mencegah terulangnya insiden ini, perlu kajian lebih lanjut tentang pola shift dan pemantauan kualitas istirahat awak pesawat (pilot dan awak kabin),” lanjutnya.

Insiden pilot dan atau kopilot tertidur di pesawat saat penerbangan tidak hanya kali ini terjadi.

Investigasi Penyebabnya

Setelah KNKT melakukan penyelidikan, Direktur Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjatuhkan sanksi grounded atau dilarang meberbangkan pesawat kepada pilot dan kopilot maskapai Batik Air. Selain itu, DJPU Kemenhub juga memberikan teguran keras kepada Batik Air.

Namun, Alvin Lie mengaku kurang setuju dengan pemberian sanksi kepada pilot dan kopilot. Menurutnya, ada hal yang lebih penting ketimbang hanya sekadar memberikan sanksi, yaitu melakukan investigasi agar diketahui secara jelas apa penyebabnya.

Alvin Lie justru khawatir, jika hanya menjatuhkan sanksi insiden serupa akan terulang dengan orang yang berbeda.

“Saya kurang setuju dengan pemberian sanksi. Bagi saya yang lebih penting adalah investigasinya, apa penyebabnya. Kalau kita serta merta menjatuhkan sanksi padahal belum tuntas penyelidikannya,” tutur Alvin.

“Kalau inti permasalahannya tidak diatasi, menjatuhkan sanksi hanya menyingkirkan masalah, namun masalah yang sama bisa terulang dengan pelaku orang lain,” kata Alvin menambahkan.

Ilustrasi pesawat Batik Air hendak lepas landas atau take off. (Antara/HO-BKIP Kemenhub/am)

Hal yang sama juga diutarakan pengamat penerbangan lainnya, Gerry Soejatman, yang menilai kasus pilot serta kopilot tertidur dalam penerbangan adalah hal yang kompleks. Menurutnya, ini berkaitan dengan pola kerja, pola istirahat, serta kebijakan maskapai. Menurut Gerry menjatuhkan sanksi kepada pilot dan kopilot bukan satu-satunya jalan keluar yang absolut.

"Dalam hal ini, saya sangat tidak setuju jika jalan keluarnya 'hanya segampang' memberikan sanksi kepada pilot dan manajemen maskapai. Ini ada resiko sistemik yang harus diselesaikan," ujar Gerry melalui cuitannya di platform X.

Gerry memandang, menganggap sanksi sebagai sebuah solusi justru bisa menghambat perbaikan. Lain halnya jika kasus tertidur dalam penerbangan dilakukan secara sengaja, yang menurut Gerry memang perlu diberikan sanksi.

"Karena membutuhkan awareness dan kesadaran dimana butuh pilot yang fatigue diberi pengakuan dan perlindungan dari sanksi guna bisa memberikan keteragan sepenuh-penuhnya agar bisa dicarikan solusi yang sistemis," papar Gerry.

"Namun, jika memang masalah fatigue ini diakibatkan oleh kesengajaan atau keteledoran berdasarkan perilaku yang tidak bertanggung jawab oleh pilotnya, maka wajar bila diberikan sanksi disipliner," ujar Gerry menguraikan.