Ide Menjadikan KUA Tempat Menikah Semua Agama: Out of the Box, tapi Nggak Penting
Calon pengantin Wanita Bersiap melakukan akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/2/2024). (Antara/Sulthony Hasanuddin/Spt)

Bagikan:

JAKARTA – Rencana Kementerian Agama (Kemenag) mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pernikahan semua pemeluk agama menuai respons beragam. Gagasan ini awalnya disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menginginkan KUA menjadi pusat layanan keagaman, termasuk di dalamnya tempat pencatatan nikah dari semua agama.

“Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” jelas Yaqut Cholil dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam pada Jumat, 23 Februari lalu.

Seorang penghulu membimbing prosesi akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Jumat (1/2/2024). Kementerian Agama merancang transformasi KUA menjadi pusat layanan keagaman bagi semua agama dengan menyiapkan 40 jenis layanan guna mengimplementasikan toleransi di Indonesia. (Antara/Sulthony Hasanuddin/Spt)

Tujuan munculnya gagasan KUA menerima pernikahan semua agama adalah supaya pencatatan data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik, baik agama Islam maupun non-Islam.

Selama ini, untuk pencatatan pernikahan dan perceraian masyarakat beragama Islam dilakukan di KUA, sementara bagi mereka di luar agama Islam mencatatkan pernikahannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Gagasan Out of the Box

Tapi gagasan yang diutarakan Yaqut Cholil ini tentu menuai reaksi beragam. Dari yang setuju menerima sampai yang menolak, memiliki alasan masing-masing.

Rencana Kemenag menempatkan KUA untuk pernikahan semua agama di satu sisi dianggap sebagai sebuah terobosan, setelah selama ini pencatatan pernikahan agama Islam dan non-Islam terpisah. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menilai rencana Kemenag sebagai sebuah terobosan.

"Ini gagasan out of the box namun sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung oleh pelbagai pihak," ujar Tholabi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (4/3).

Namun, ia juga menekankan soal adanya perubahan regulasi yang sangat mungkin membutuhkan energi yang tidak ringan. Ada beberapa regulasi berkenaan dengan pernikahan, seperti UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan sambutan saat membuka Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik tingkat Nasional III di Kawasan Ancol, Jakarta, pada Sabtu malam, 28 Oktober 2023. (Tempo/Istimewa)

Kemudian UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Selain itu ada pula Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA.

Di bagian ini, Tholabi mengingatkan akan berdampak pada persinggungan dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi, baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antarinstansi.

"Jadi tidak sekadar urusan regulasi, tapi harus melakukan penyamaan persepsi antar kementerian dan pelaksana teknis di lapangan," kata Tholabi.

KUA Banyak Pekerjaan Rumah

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menganggap wacana Menag Yaqut menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan dan pencatatan pernikahan semua agama tidak ada urgensinya. Karena selama ini, ditegaskan Trubus tidak ada masalah berarti dengan pemisahan pencatatan pernikahan yaitu di KUA untuk agama Islam dan Dukcapil untuk non-Islam.

“Pertama, wacana ini tidak ada urgensinya, selama ini kan sudah berjalan dengan baik, KUA untuk umat Islam dan non Islam di Dukcapil. Kenapa harus diganggu lagi?” ucap Trubus kepada VOI.

“Untuk yang agama Kristen, dalam pernikahan ada dua hal yaitu ritual dan administrasi. Ritualnya di gereja dan administrasinya di Dukcapil, selama ini tidak ada masalah,” imbuhnya.

Upacara pernikahan umat Kristen yang digelar di gereja, sementara pencatatan pernikahannya dilakukan di Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil. (Pixabay)

Trubus justru meminta KUA tidak lagi menambah beban dengan gagasan menjadi tempat pernikahan dan pencatatan pernikahan bagi semua agama. Menurut Trubus, KUA sendiri memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan.

“Menurut saya masalah KUA sendiri sudah banyak, salah satunya soal kekurangan penghulu, infrastuktur yang kurang, juga SDM yang kurang memadai,” tegas Trubus.

“Selain itu juga mengenai pernikahan dini, yang ujung-ujungnya berakibat pada stunting. Ini karena minimnya kolaborasi KUA dengan instansi lain. KUA sendiri masalahnya banyak, kenapa harus ditambah masalah lagi?” cetusnya.

Trubus khawatir, jika gagasan Kemenag dipaksakan, akan tercipta tumpang tindih kebijakan karena ini akan berbenturan antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Sementara itu, Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah ikut mengomentari gagasan tersebut. Ia meminta supaya gagasan Kemenag agak dikaji lebih lanjut, karena dalam pernikahan bukan hanya soal administrasi atau pencatatan pernikahan.

“Menikah bukan hanya tentang administrasi atau pencatatan. Pernikahan adalah hal yang sakral, yang privat. Selama inikan sudah nyaman dan tentram. Jangan sampai ada persoalan baru,” katanya.