JAKARTA – Krisis iklim disebut-sebut sebagai salah satu penyebab melejitnya harga beras belakangan ini. Apa benar demikian?
Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita sudah memberikan peringatan soal El Nino yang akan berlangsung lama sejak pertengahan tahun lalu. Ketika itu, pemerintah sudah mewanti-wanti soal ancaman gagal panen yang membuat produksi beras merosot.
“Pemerintah daerah perlu melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman,” kata Dwikorita, dikutip dari laman resmi BMKG, pada Juli 2023.
Dan benar saja, panen padi mengalami kemunduran dari seharusnya, sementara permintaan terhadap beras tetap sama, bahkan cenderung meningkat. Akibatnya harga beras tidak cuma mahal, tapi juga langka di mana-mana. Pemerintah bahkan harus mengimpor 2,5 juta ton untuk mengisi stok cadangan beras yang berkurang akibat efek El Nino.
Yang menjadi pertanyaannya, apakah krisis iklim menjadi satu-satunya penyebab harga beras di Indonesia terus melejit?
Mengabaikan Keragaman Pangan
Ahmad Arif, co-founder Project Multatuli sekaligus penulis buku “Masyarakat Adat dan Ketahanan Pangan” tidak menampik bahwa El Nino yang sudah berlangsung sejak Maret tahun lalu berimplikasi terhadap penurunan produksi pangan. Ini lantaran curah hujan di Indonesia yang berkurang akibat El Nino.
Tapi di sisi lain, menurut Arif krisis iklim bukan penyebab tunggal mahalnya harga beras. Ia menyebut kenaikan dan kelangkaan beras sekarang ini adalah soal tata kelola yang keliru.
“Apa yang terjadi saat ini lebih pada persoalan tata kelola, tidak bertanggung jawab jika hanya menyalahkan cuaca,” tutur Arif dalam IG Live bertajuk Beras Mahal, Benar Salah Iklim? yang diselenggarakan pada Rabu (6/2/2024) malam.
Bicara soal iklim, kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa diperbaiki, meski risikonya terhadap kehidupan manusia dan makhluk bumi lainnya bisa diminimalisir. Kenyataannya, krisis iklim dari tahun ke tahun makin memburuk.
Ini menjadi masalah bagi Indonesia yang menggantungkan ketahanan pangan hanya pada beras. Ketika tren iklim memburuk, maka implikasi terhadap sektor pangan sangat besar karena padi merupakanan tanaman yang sangat rentan terhadap perubahan pola hujan.
Hal inilah yang menurut Arif seharusnya dipikirkan sejak lama. Tidak memaksa masyarakat untuk bergantung pada komoditas yang homogen, yaitu beras, seharusnya bisa menjadi salah satu solusi supaya kita tidak bergantung pada nasi.
“Dalam menghadap perubahan iklim, kita harus mencari kira-kira tanaman apa yang paling adaptif terhadap perubahan iklim,” tutur Arif.
“Pangan seperti apa yang yang memiliki daya tahan yang baik? Indonesia sebenarnya memiliki itu, memiliki kekayaan sumber pangan,” imbuh pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis ini.
Padahal, menurut Arif masyarakat adat tradisional memiliki kemampuan untuk membudidayakan tanaman lain selain padi. Salah satunya adalah umbi-umbian, sagu yang hampir tidak terpengaruh dengan iklim.
“Umbi, sagu, pohon sukun, merupakan sumber karbohidrat yang kita abaikan. Karena kita hanya melihat beras dan terigu sebagai sumben pangan. Kita terlalu banyak mengabaikan keragaman pangan di sekitar, yang tiap tempat bisa jadi berbeda-beda,” jelas Arif lagi.
Obsesi Terhadap Beras
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sudah mendarah daging sejak dulu. Hal ini, salah satunya karena kebijakan pemerintah yang terobsesi terhadap beras, atau nasi, sejak zaman dulu.
Mengutip tulisan Disuapi dari Bayi Sampai Mati, Dominasi dan Obsesi pada Nasi di Project Multatuli, dominasi beras terjadi sejak Indonesia belum merdeka, utamanya di Pulai Jawa. Kebijakan ‘memuja’ beras ini mulai dilanggengkan sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Soekarno menyetujui ide Menteri Persediaan Makanan Rakyat, Kasimo, pada 1948 soal program swasembada pangan. Inti dari program ini adalah intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian. Intensifikasi yakni dengan memperbanyak bibit unggul, dan ekstensifikasi dengan membuka lahan di Sumatra.
Soekarno sebenarnya mulai menyadari bahwa beras tidak bisa menjadi solusi tunggal urusan pangan. Hal ini diungkap Ahmad Arif dalam buku Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan. Ia pun mengumandangkan supaya jagung menjadi subtitusi padi dan mengubah menu makanan.
Sayangnya ketika Soekarno lengser, obsesi terhadap beras berlanjut di Pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto yang menggalakkan swasembada beras secara masif. Ketergantungan terhadap beras mewabah di masyarakat. Bahkan ketika Orde Baru tumbang, tidak membawa perubahan pada pola konsumsi beras.
BACA JUGA:
Di era Presiden BJ Habibie, pesawat buatan dalam negeri pernah ditukar dengan beras Thailand. Pun di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang melakukan impor beras untuk menjawab kekurangan stok bahan pangan. Obsesi terhadap beras terus berlanjut di era Presiden Joko Widodo, dengan food estate yang gagal total.
“Sekarang bagaimana pemerintah membuat kebijakan pangan yang lebih beragam. Program cetak sawah hanya bikin kita lebih menjauh kepada harapan membuat pangan lebih beragam,” ucap Mawa Kresna, redaktur Project Multatuli.