Bagikan:

JAKARTA – Hamas melancarkan sebuah serangan tak terduga ke Israel pada 7 Oktober 2023. Sebuah serangan yang menurut kelompok militan Palestina itu sebagai respons atas kekejaman Israel terhadap negara mereka dalam beberapa tahun ke belakang.

Dilansir Al Jazeera, Hamas mengaku telah meluncurkan 5.000 roket dalam serangan awal mereka yang menghantan sejumlah kota besar di Israel, sementara kubu Israel mengklaim hanya separuh roket yang ditembakkan.

“Kami mengumumkan dimulainya Operasi Badai Al-Aqsa dan kami mengumumkan bahwa serangan pertama, yang menargetkan posisi musuh, bandara, dan benteng militer, melebihi 5.000 rudal dan peluru,” kata Kepala Brigade Qassam, sayap militer Al-Aqsa Hamas, Mohammed Deif.

Warga Palestina di tempat penampungan sementara di kota Rafah, Jalur Gaza selatan, Jumat (8/12/2023). (Antara/Xinhua/Rizek Abdeljawad/aa)

Serangan tersebut dilancarkan saat warga Israel sedang merayakan festival Sukkot yang berlangsung selama tujuh hari.

Keesokan harinya, Israel melaporkan 700 orang meninggal dunia akibat serangan Hamas. Kementerian Kesehatan Israel memperbarui jumlah warga Israel yang terluka dalam kekerasan yang berlangsung, dan menuturkan 2.382 warganya dirawat ke rumah sakit.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza mengatakan setidaknya 423 orang meninggal dunia, termasuk 78 anak-anak, dan lebih dari 2.300 orang terluka.

Palestina-Israel Tak Pernah Harmonis

Serangan tiba-tiba Hamas pada Sabtu pagi disebut sebagai serangan paling mematikan di Israel dalam beberapa dekade terakhir. Serangan Hamas saat itu terjadi 50 tahun dan satu hari setelah pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan selama hari raya Yahudi, Yom Kippur, dalam upaya merebut kembali wilayah yang diambil Israel pada 1967.

Sejak serangan 7 Oktober tersebut, militer Israel bertubi-tubi melancarkan balasan ke Jalur Gaza. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan pihaknya tidak akan menghentikan serangan sampai pasukan Hamas lenyap seluruhnya.

Sebenarnya, apa yang terjadi di Palestina saat ini juga terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Palestina dan Israel adalah satu tanah dengan dua nama. Hubungan harmonis memang tidak pernah dimiliki Palestina dan Israel, sejak keduanya mengklaim satu wilayah yang sama.

Sengketa Palestina-Israel bisa dikatakan dilatarbelakangi Deklarasi Balfour, sebuah pernyataan terbuka yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris pada 1917 saat Perang Dunia Pertama.

Petugas bersiap melakukan pemakaman massal jenazah warga Palestina yang tewas usai dikembalikan oleh Israel di Rafah, Palestina, Selasa (26/12/2023). (Antara/Reuters/Shadi Tabatibi/wpa)

Balfour sendiri diambil dari nama Menteri Luar Inggris (1916-1919), Lord Arthur Balfour, yang menulis surat terbuka tersebut kepada Lord Rothschild, yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi Inggris.

Isi Deklarasi Balfour, yang hanya berisi tiga paragraph dengan 76 kata, adalah bentuk dukungan Kerajaan Inggris Raya kepada ideologi Zionisme untuk mendirikan tanah air nasional bagi orang Yahudi di Palestina.

Deklarasi Balfour dibuat karena Inggris mengharapkan dukungan politik dan finansial dari komunitas Yahudi untuk melawan Blok Sentral pada Perang Dunia Pertama.

Singkatnya, Deklarasi Balfour inilah yang melegitimasi migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke tanah Palestina. Deklarasi ini pula yang memuluskan jalan Zionis mencaplok wilayah Palestina menjadi Tanah Israel bagi orang Yahudi.

Ancaman Bencana Kelaparan

Sejak serangan perdana Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu, berarti konflik Hamas-Israel sekarang ini sudah terjadi selama hampir tiga bulan.

Korban terus berjatuhan, kerusakan terjadi di hampir semua wilayah Gaza dan Tepi Barat. Rumah penduduk, fasilitas pendidikan, tempat ibadah, dan bangunan lainnya rata dengan tanah.

Menurut sejumlah sumber hingga 28 Oktober 2023 pagi waktu setempat, sebanyak 21.110 warga Palestina, termasuk 8.200 anak dan 6.200 wanita, kehilangan nyawa akibat serangan pasukan militer Israel. Sementara lebih dari 55.243 terluka, termasuk 8.663 anak dan 6.327 wanita.

Israel terus melancarkan serangan di Jalur Gaza, dengan operasi darat yang makin intensif. Bahkan rumah sakit tidak luput dari serangan. Dari 35 rumah sakit yang ada, hanya tinggal sembilan yang masih berfungsi menampung pasien dan para pengungsi.

Di antara rumah sakit yang hancur akibat serangan Israel adalah Rumah Sakit Indonesia, yang dibangun dari sumbangan warga Indonesia pada 2011 lalu.

Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Palestina. (Antara/HO-MER-C/pri)

Tentara Israel menyerang RS Indonesia karena dituding menjadi tempat persembunyian pasukan Hamas. Tapi klaim tersebut dibantah keras oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Kini, setelah hampir tiga bulan konflik Palestina-Israel, bencana kelaparan dan wabah penyakit membayangi para pengunsi Palestina. Badan PBB untuk urusan pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa bantuan yang masuk ke Jalur Gaza tidak mencukupi sehingga menyebabkan 40 persen penduduknya berisiko kelaparan di tengah pembatasan akses masuk bantuan oleh Israel.

UNRWA juga terus menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di tengah serangan udara intens Israel di Gaza selama lebih dari 83 hari.

“Setiap hari adalah perjuangan untuk hidup, mencari makanan serta air,” kata Direktur urusan UNRWA di Gaza Thomas White di media sosial X.

“Kenyataannya, kita membutuhkan lebih banyak bantuan. Satu-satunya harapan yang tersisa yakni gencatan senjata kemanusiaan,” katanya.

Seruan gencatan senjata kemanusiaan juga diungkap Direktur Operasi di Kementerian Kesehatan dan Koordinator Rumah Sakit Lapangan di Gaza, dr. Hani Hamada. Kepada Al Jazeera Hani bicara tentang runtuhnya sistem kesehatan di Jalur Gaza.

"Situasinya sangat berbahaya dan memerlukan intervensi cepat dan mendesak, dan kami mengimbau semua lembaga internasional serta negara-negara Arab dan asing untuk menyelamatkan penduduk Jalur Gaza dari serangan sengit Israel ini,” tegas Hani.