Pemerintah Pilih Berikan Pajak Gratis untuk Sektor Otomotif Dibanding Properti, Mana yang Punya Nilai Tambah Lebih Tinggi?
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif bagi sektor otomotif berupa penurunan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atau pajak 0 persen yang berlaku pada Maret 2021. Tujuan pajak gratis tersebut adalah untuk memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi COVID-19.

Meski demikian, kebijakan ini menimbulkan kecemburuan bagi industri lain, salah satunya dari sektor properti. CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda angkat bicara mengenai keputusan pemerintah yang lebih memilih untuk memberikan insentif bagi sektor otomotif dibanding sektor properti. Kata dia, pemerintah harusnya tidak lupa bahwa sektor yang terdampak pandemi bukan hanya otomotif.

Menurut Ali, ada sektor lain yang juga berpotensi sebagai lokomotif ekonomi nasional, namun saat ini tertekan pandemi yaitu sektor properti. Di mana sektor ini merupakan sektor yang mampu memengaruhi 174 industri terkait untuk tumbuh bersama. Bahkan akan lebih jauh mengungkit perekonomian nasional.

"Sah-sah saja pemerintah merelaksasi sektor otomotif, tapi pemerintah jangan lupa bahwa sektor properti akan sangat berpotensi untuk mendongkrak ekonomi nasional sebagai lokomotif ekonomi," katanya, di Jakarta, Selasa, 16 Februari.

Sektor properti memiliki nilai tambah ekonomi lebih tinggi

Dibandingkan sektor otomotif, sektor properti relatif mempunyai nilai tambah yang lebih baik bagi masyarakat. Relaksasi yang dilakukan di sektor otomotif mungkin baik untuk 'menyelamatkan' industri terkait, namun jangka panjang akan menimbulkan kemacetan dan penurunan nilai aset.

Bahkan, Ali menilai membeli kendaraan dengan kondisi saat ini bukan menjadi keputusan bijak. Masyarakat, tuturnya, perlu juga diedukasi, apalagi generasi muda, mengenai pentingnya mempunyai aset properti untuk tabungan masa depan jangka panjang.

"Saat ini pasar properti bukan kehilangan daya beli, karena data-data menunjukkan bahwa daya beli masih ada khususnya golongan menengah sampai atas, yang mau tidak mau bisa menjadi ‘penyelamat’ pasar properti saat ini. Mereka hanya menunda," tuturnya.

Senada, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI Andin Hadiyanto mengatakan sektor properti memang memberikan kontribusi besar pada perekonomian.

"Karena sektor properti sangat strategis, melekat di berbagai dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi, tapi juga dimensi sosial, keuangan dan juga fiskal," katanya.

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Sebagai contoh, di ibu kota, misalnya, menurut data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, industri konstruksi dan real estate memberi sumbangan 17,61 persen kepada ekonomi Jakarta pada 2019.

Sumbangan juga diberikan dalam bentuk investasi dalam negeri mencapai Rp14,8 triliun atau 23,9 persen dari total investasi yang ada di DKI Jakarta. Sektor ini juga turut memberikan sumbangan investasi asing senilai Rp17,5 triliun atau 28,3 persen dari total investasi. Industri ini juga menyerap 425 ribu tenaga kerja pada 2018.

Sektor properti juga butuh dukungan pemerintah

Ali Tranghanda mengatakan sama seperti sektor otomotif, properti juga membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk bertahan di masa pandemi COVID-19 ini. Menurut Ali, dengan adanya insentif dari pemerintah, kelompok menengah atas tersebut akan masuk ke sektor properti dengan momentum pasar yang dirasa pas saat ini untuk investasi.

Saat ini banyak juga daerah yang menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan membuat nilai transaksi menjadi tinggi terkait pajak. Alih-alih mendapatkan pendapatan daerah yang lebih tinggi, pasar properti malah turun drastis.

"Seharusnya diberikan pengurangan NJOP yang mendorong lebih banyak transaksi properti," katanya.

Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Property Watch, minat masyarakat untuk membeli properti saat ini masih tinggi sebesar 68,09 persen. Beberapa faktor ini menjadi faktor penundaan pembelian properti antara lain besarnya uang muka, tingginya suku bunga, besarnya pajak, dan besarnya biaya transaksi.

Seperti diketahui untuk uang muka saat ini sudah dimungkinkan 0 persen meskipun tidak semua bank memberlakukan hal tersebut sesuai dengan manajemen risiko masing-masing. Namun, suku bunga perbankan saat ini relatif masih tinggi meskipun sudah mulai menurun.

"Kebijakan insentif bunga yang saat ini sudah diberlakukan pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), ada baiknya juga diperluas sampai masyarakat menengah agar akses membeli properti semakin luas," ujarnya.

Di sisi lain, kata Ali, biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibebankan pembeli sebesar 5 persen, saat ini masih dirasa tinggi. Ditambah biaya-biaya notaris dan lainnya yang bisa mencapai 11 persen  hingga 12 persen. Belum lagi pengenaan PPN 10 persen, sehingga konsumen yang membeli properti dari pengembang terbebani pajak dan biaya-biaya sebesar 21 persen hingga 22 persen.

Menurut Ali, dalam kondisi saat ini perlu adanya strategi relaksasi yang signifikan dari pemerintah agar dapat menggerakkan pasar properti secara nyata. "Itu pun jika pemerintah masih percaya bahwa sektor properti adalah lokomotif ekonomi nasional," jelasnya.

Penjualan properti di kuartal IV 2020 anjlok 20,59 persen

Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan properti pada kuartal IV tahun 2020 masih anjlok. Tercatat, pada periode itu kontraksi penjualan properti residensial sebesar 20,59 persen persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal IV 2020.

Gedung Bank Indonesia. (Angga Nugraha/VOI)

Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menjelaskan kontraksi yang dialami sektor properti pada kuartal IV/2020, jauh lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 30,93 persen.

"Penurunan penjualan properti residensial terjadi pada seluruh tipe rumah," katanya, dalam keterangan tertulis, Selasa, 16 Februari.

Namun, kata Erwin, dari sisi Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia mengindikasikan harga properti residensial naik pada kuartal IV 2020. Hal ini tercermin dari kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) kuartal IV 2020 sebesar 1,4 persen (yoy), sedikit lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 1,51 persen (yoy).

"IHPR diperkirakan masih tumbuh terbatas pada triwulan I 2021 sebesar 1,17 persen (yoy)," jelasnya.