Pajak Gratis saat Beli Mobil Mulai 1 Maret, Airlangga: Konsumsi Masyarakat Menengah ke Atas Bakal Meningkat
Ilustrasi deretan mobil. (Foto: Dok. Kementerian PUPR)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah akan membebaskan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil selama tiga bulan, yakni pada Maret hingga Mei 2021. Kebijakan ini menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sektor otomotif yang lesu selama pandemi COVID-19.

Airlangga memperkirakan, insentif pajak tersebut mampu meningkatkan produksi mobil sekitar 81.752 unit. Dengan begitu, kata dia, akan ada pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun lewat insentif tersebut.

"Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun," kata Airlangga dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa 16 Februari.

Airlangga masih berharap kebijakan relaksasi PPnBM ini didukung dengan revisi kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar uang muka (down payment/DP) kredit kendaraan bermotor bisa nol persen dari bank maupun perusahaan pembiayaan (leasing).

Sejalan dengan itu, ia berharap produsen dan dealer penjual menyambut positif insentif tersebut dengan memberikan skema penjualan yang menarik sehingga dampaknya semakin optimal. Dengan demikian, penjualan mobil yang mulai bangkit sejak bulan Juli 2020, bisa terus mengalami peningkatan ke depannya.

"Harapannya dengan insentif yang diberikan bagi kendaraan bermotor ini, konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah atas akan meningkat, meningkatkan utilisasi industri otomotif dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini," ungkap Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

Genjot produksi

Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meyakini gratis pajak mobil tersebut bisa mengembalikan produksi mobil dalam negeri ke level 1 juta unit. Itu bisa terlaksana sebelum pandemi COVID-19.

"Tahun lalu produksi mobil di Indonesia rontok sekitar 46 persen menjadi 690.150 unit akibat pandemi," kata Agus dikutip dari Antara.

Ia mengatakan sektor otomotif penting bagi perekonomian, lantaran melibatkan banyak sektor pendukung. Selain itu, sektor otomotif memiliki nilai tambah rata-rata Rp700 triliun, serta 91,6 persen pasar otomotif dipasok industri lokal dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 60 persen-70 persen.

Untuk diketahui, besaran potongan pajak mobil itu merosot menjadi 50 persen dari tarif normal pada tiga bulan berikutnya. Lalu, menjadi 25 persen dari tarif normal selama empat bulan berikutnya.

Diskon pajak itu diberikan untuk kendaraan bermotor segmen kurang atau sama dengan 1.500 cc kategori sedan dan 4x2. Segmen tersebut dipilih karena merupakan segmen yang diminati kelompok masyarakat kelas menengah dan memiliki pembelian dalam negeri (local purchase) di atas 70 persen.

YLKI nilai ini kebijakan instan

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritisi rencana pemberlakuan insentif penjualan barang mewah ditangung pemerintah (PPnBM-DTP) untuk kendaraan roda empat mulai 1 Maret mendatang.

Pasalnya, kebijakan tersebut cenderung memberikan dampak negatif berupa penambahan kemacetan sebagai akibat dari kemudahan mendapatkan kendaraan pribadi.

"Saya pikir ini merupakan kebijakan instan dan pemerintah tidak memikirkan dampak jangka panjangnya seperti apa," ujarnya kepada VOI, Selasa, 16 Februari.

Menurut Tulus, aturan ini jelas memberikan karpet merah pada pelaku usaha otomotif dan juga calon konsumen yang akan membeli kendaraan baru. Bahkan, tidak menutup kemungkinan masyarakat yang sudah memiliki kendaraan roda empat bisa menambah koleksi mobilnya menjadi lebih dari satu unit.

"Jika alasannya untuk memacu ekonomi dari industri otomotif yang sedang lesu, kenapa insentif ini tidak menyasar ke sektor yang lebih banyak menyerap tenaga kerja seperti UMKM? Kami melihat ada kecenderungan tebang pilih dalam penetapan aturan ini," tuturnya.

Angkutan umum dikhawatirkan sepi peminat

Selain kemacetan, dia juga menyoroti soal potensi penggunaan angkutan umum massal yang bisa sepi peminat.

"Bagaimanapun kendaraan pribadi pasti lebih nyaman dari angkutan umum. Kalau bisa mengendarai kendaraan pribadi kenapa harus naik angkutan umum? Ini kan yang tidak sesuai dengan program yang didorong pemerintah sendiri untuk menggunakan angkutan umum agar mengurangi kemacetan," jelasnya.

"Saya khawatir angkutan umum massal seperti Transjakarta, KRL Jabodetabek, dan MRT bisa sepi penumpang. Contoh sederhananya saja bisa dilihat dari angkutan umum biasa yang sudah seperti disuntik mati, sepi penumpang," sambung dia.

Jika memang pemerintah ingin mendorong penjualan mobil, kata Tulus, harus dibarengi dengan regulasi khusus yang bisa menjaga penggunaan kendaraan agar tidak menumpuk pada satu waktu yang bersamaan. Seperti misalnya, perluasan kebijakan ganjil-genap, aturan penggunaan bahan bakar, hingga pembatasan umur kendaraan.

"Jika perlu kita mencontoh Singapura yang menetapkan aturan setiap orang hanya boleh memiliki satu STNK (surat tanda nomor kendaraan)," tegasnya.