JAKARTA - Aroma busuk menyeruak dunia pendidikan. Tentang puluhan siswa kelas VII Seminari Bunda Segala Bangsa di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijejali feses atau tahi oleh senior mereka di sekolah. Kejadian itu seharusnya disembunyikan. Namun, namanya "tahi", bagaimana pun ditutupi, busuknya akan tetap menyebar.
Penyiksaan itu terjadi Rabu, 19 Februari, ketika siswa kelas VII berkumpul untuk menyantap makan siang. Setelahnya, mereka kembali ke asrama untuk beristirahat. Sebuah kejadian aneh terjadi di sana. Dua senior yang juga pendamping --sebut saja Budi dan Arif-- dari kelas XII menemukan sebuah kantong berisi tahi di dalam satu lemari kosong.
Budi dan Arif lantas menanyakan darimana tahi berasal. Namun, tak ada satu pun yang mengetahui. Amarah Budi dan Arif meninggi. Penyiksaan dimulai. Dengan sendok, Budi dan Arif menjejali kotoran ke mulut dan lidah 77 --dari total 89-- siswa kelas VII. Usai melancarkan aksi kurang ajarnya, Budi dan Arif mengancam para juniornya untuk tutup mulut. Kelakuan busuk mereka harus ditutupi.
Namun, siapa yang tahan dengan bayang-bayang tahi di mulut mereka. Seorang siswa kelas VII kemudian menceritakan peristiwa yang ia alami kepada orang tua. Cerita itu direspons dengan laporan yang dilempar kedua orang tua ke grup WhatsApp berisi humas sekolah. Kabar itu menyebar ke orang tua lain yang kemudian memperkarakan kejadian itu ke polisi.
Pidana
Kabid Humas Polda NTT Kombes Johannes Bangun mengatakan, perkara ini kini dalam langkah awal penindakan. Menurutnya, penyidik sudah menggali keterangan dari beberapa pihak terkait kejadian tersebut.
"Polres telah melakukan langkah penyelidikan awal dengan melakukan interogasi terhadap dua yang diduga pelaku dan tiga korban beserta dua orang guru sekolah tersebut," kata Johannes.
Pemeriksaan dilakukan untuk membuktikan adanya pelanggaran pidana. Jika terbukti, maka Budi dan Arif harus bersiap mempertanggungjawabkan aksi kurang ajarnya secara hukum. Sejauh ini, polisi mengaitkan aksi Budi dan Arif dengan perkara tentang perbuatan tidak menyenangkan.
"Bisa dijerat dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, yaitu Pasal 335 KUHP," singkat Johannes.
Diketahui, perkara yang melibatkan superioritas para senior terhadap junior di lingkungan pendidikan bukan hal baru. Beberapa kasus lain terjadi di seluruh Indonesia, dari waktu ke waktu. Ada yang salah dengan budaya senioritas berlebih macam yang dilakukan Budi dan Arif.
Senioritas
Sosiolog, Bayu A. Yulianto mengatakan, aksi senioritas merupakan pelampiasan para pelaku yang sebetulnya tak bisa menyalurkan tekanan atau beban dalam pikirannya. Pun dalam perkara yang melibatkan Budi dan Arif.
Bayu melihat ada kemungkinan besar Budi dan Arif menerima tekanan yang lebih besar di sekolah. Hal itu yang konon berdampak pada meningkatnya level stres mereka.
Dalam perspektif ini, para pelaku perundungan juga bisa disebut korban. Mereka merupakan bagian yang tertindas atau tertekan oleh lingkungan. Karena itu, mereka mencari pelampiasan untuk menyalurkan keresahan mereka.
"Jadi, pelaku sendiri bisa juga dilihat sebagai korban dari struktur lain yang juga menekan dan menindas dirinya. Sehingga, ia merasa berada pada situasi kecemasan yang harus dicarikan pelampiasannya. Pelampiasannya dia salurkan pada pihak-pihak di sekitarnya yang posisinya lebih lemah," kata Bayu.
Untuk itu, dikatakan, peran sekolah sangat dibutuhkan untuk memotong atau menuntaskan persoalan perundungan. Setidaknya, ada enam langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya perkara serupa.
Pertama, pihak sekolah harus membangun inklusivitas bagi mereka-mereka yang tergolong rentan menerima tindak perundungan. Kemudian, sekolah harus memiliki data dan informasi tentang mereka yang tergolong rentan.
Ketiga, guru atau tenaga pengajar harus diberikan pelatihan untuk mengenali kelompok-kelompok yang rentan di sekolah. Selanjutnya, sekolah harus membuat semacam mekanisme formal untuk mencegah praktik bullying terjadi.
Kelima, harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap faktor keluarga juga menjadi penting. Terakhir, yakni, pemerintah dalam hal ini harus mendorong agar kebijakan sekolah yang inklusif itu betul-betul diimplementasikan dengan konsisten di setiap sekolah.
"Beberapa poin itu menjadi penting untuk menjadi langkah pencegahan, karena memang tindakan seperti bulliying sudah sering terjadi di lingkungan pendidikan," ungkap Bayu.