JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan mengalokasikan dana wakaf senilai Rp597 miliar untuk pembangunan infrastuktur. Namun, ada pihak yang menyebut kebijakan ini kontradiktif. Sebab, selama ini pemerintah dianggap represif terhadap kalangan Islam. Jokowi dianggap mengambil sisi manfaat dari umat yang disisihkannya. Bagaimana faktanya?
Seperti dijelaskan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam laman resminya, wakaf berasal dari bahasa Arab "waqafa" yang berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat. Dalam konteks harta, wakaf artinya menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Secara umum hukum wakaf diatur dalam Surat Ali Imran ayat 92 yang artinya "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja harta yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Berdasar ayat tersebut umat Islam berkeyakinan, mereka yang berwakaf dengan sebagian harta yang dicintainya akan mencapai derajat kebaikan yang sempurna. Namun para ahli fiqih Islam memunyai pandangan berbeda-beda terkait wakaf.
Seperti dilansir dari Iwakaf, hukum penggunaan uang wakaf dibagi berdasarkan tiga pendapat ulama. Pertama, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang memperbolehkan penggunaan uang wakaf.
Pendapat yang diyakini sebagian ulama mazhab Syafi’i tersebut menjelaskan wakaf bisa dijadikan modal usaha yang keuntungannya dapat disalurkan pada mauquf alayh (atau sesuai tujuan wakafnya). Selain itu, pendapat tersebut meyakini uang wakaf dapat diperbolehkan sebagai pinjaman.
Pendapat kedua, seperti yang banyak diyakini pengikut mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, mazhab Syafi'i, dan mazhab Hambali yang percaya penggunaan uang wakaf tidak diperbolehkan.
Pendapat ketiga menyatakan uang wakaf dapat digunakan, namun makruh hukumnya. Pendapat tersebut, sebagaimana diyakini sebagian ulama mazhab Maliki.
Di Indonesia, hukum wakaf dijelaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa kebolehan wakaf uang. Fatwa tersebut mempertimbangkan fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan.
Terkait dengan pemanfaatan uang wakaf oleh negara, Jokowi bertujuan untuk mencari jalan dan terobosan mengurangi ketimpangan sosial untuk pemerataan pembangunan di seluruh pelosok Indonesia. “Salah satu langkah terobosan yang perlu kita pikirkan adalah pengembangan lembaga keuangan syariah yang dikelola berdasarkan sistem wakaf,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Penindasan sistematis
Keputusan pemerintah memberdayakan dana umat Islam ini bukan tanpa kritik. Mantan Menteri Keuangan RI era Presiden Abdurahman Wahid, Rizal Ramli, misalnya. Ia menyebut kebijakan tersebut kontradiktif. Sebab menurutnya kebijakan ini bergulir di tengah Islamofobia yang perkembangannya tak lepas dari 'andil' pemerintahan Jokowi.
"Islam-Phobia digencarkan, tapi ketika kesulitan keuangan, merayu dan memanfaatkan dana ummat, wakaf dan dana haji. Kontradiktif amat sih," tulis Rizal lewat akun Twitternya.
Argumen soal Islamofobia di Indonesia memang sayup-sayup terdengar. Tak kentara tapi nyata terjadi. Salah satunya diungkap pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, KH. Imam Jazuli.
Lewat tulisannya yang dimuat Tribunnews pada 3 Desember 2019, Imam menyoroti ketidakjelasan definisi dari kebijakan pemberantasan radikalisme yang merugikan pihak-pihak tertentu, "sehingga menjurus pada praktik Islamofobia."
Padahal, kata dia radikalisme ada di setiap agama dan dilakukan oleh oknum yang merusak citra positif agama. "Pemerintah bisa terjerumus pada Islamofobia, yaitu mendefinisikan radikalisme dengan contoh kasus umat Muslim saja. Belakangan ini, pemerintah terkesan menyemai bibit-bibit Islamophobia," kata Imam.
Beberapa kebijakan yang Imam soroti adalah terkait dibentuknya Polisi Masjid, sertifikasi ulama, termasuk khatib Shalat Jumat. "Ibadah wajib shalat Jumat dan masjid-masjid itu, di mata pemerintah, dicurigai menjadi ajang pembibitan radikalisme."
Padahal kata imam, tanpa kebijakan-kebijakan yang aneh-aneh itu, semua orang sudah menolak radikalisme. Mereka menolak tindakan-tindakan seperti merusak atau membunuh seperti bom di masjid, gereja, wihara, ruang-ruang publik, atau kasus bom bunuh diri.
"Itu sudah kesepakatan teoritis semua pakar. Penanda utama radikalisme yang berbahaya adalah watak destruktif; merusak, menghancurkan, dan membunuh," tulis Imam.
Senada, Asisten Profesor dari Australian National University (ANU) Greg Fealy dalam tulisannya di East Asia Forum 27 September 2020, menuding pemerintah Jokowi melakukan kampanye penindasan sistematis terhadap kaum Islamis dalam empat tahun terakhir.
Tudingan tersebut setlah Fealy melihat penerbitan berbagai aturan diskriminatif di lembaga milik negara. "Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pegawai negeri, akademisi dan guru yang dianggap oleh badan keamanan negara aktif dalam kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai kelompok Islam dapat dimasukkan dalam 'daftar pantauan'."
Misalnya saja Kementerian Agama (Kemenag) yang Fealy anggap telah membuat kebijakan yang dianggap kontroversial. Salah satunya larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) memakai cadar dan celana cingkrang.
Menurut Fealy tujuan negara menekan kebijakan-kebijakan itu tak hanya untuk kepentingan negara, melainkan demi menekan kaum Islamis dalam mengekspresikan diri. "Tujuannya tampaknya untuk menekan kaum Islamis agar melepaskan keyakinan mereka atau berhenti mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka dan mengatur di tempat kerja," tulisnya.
Bantahan
Tudingan Fealy disangkal Kantor Staf Presiden (KSP). Mengutip Suara, Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian menegaskan tak ada kebijakan Presiden Jokowi yang bertindak represif terhadap umat Islam.
Donny bilang, Jokowi begitu menghormati, menghargai dan mengapresiasi kelompok Islam. Namun menurutnya hal itu tetap ada batasannya.
"Tidak satupun kebijakan Pak Jokowi yang represif terhadap umat Islam," ujar Donny. Namun Donny menegaskan, bila ada kelompok yang ingin mengganti dasar negara atau bentuk negara, pemerintah tak pangku tangan.
Sekali lagi Donny menegaskan sejak Jokowi menjabat pada 2014, tidak ada satu kebijakan pun yang merepresi umat Islam. "Semuanya diberi tempat dihargai diberi ruang dalam batas batas konstitusional."
BACA JUGA:
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menjelaskan kita memang tak bisa memukul rata. Sebab menurutnya golongan Islam di Indonesia itu beragam.
"Golongan Islam itu banyak di Indonesia. Tentu ada yang dirangkul. Dan ada juga yang dipukul," kata Ujang kepada VOI.
Terlepas dari sikap pemerintah yang dianggap memukul atau merangkul golongan Islam, satu kemungkinan yang jelas adalah saat ini pemerintah tengah kelimpungan mencari pendapatan negara.
"Mungkin pemerintah sudah punyeng cari uang. Jadi menggalang potensi wakaf bagi ummat," kata Ujang.