JAKARTA - Pada Senin, 25 Januari di Istana Merdeka, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) sekaligus Brand Ekonomi Syariah. Langkah tersebut diklaim sebagai terobosan untuk mengurangi ketimpangan sosial serta upaya strategis dalam pemerataan pembangunan di seluruh pelosok Indonesia.
“Salah satu langkah terobosan yang perlu kita pikirkan adalah pengembangan lembaga keuangan syariah yang dikelola berdasarkan sistem wakaf,” ujarnya seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet (Setkab).
Kepala Negara juga menegaskan, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sudah saatnya Indonesia memberikan contoh praktik pengelolaan wakaf yang transparan, profesional, kredibel, tepercaya, dan memiliki dampak yang produktif bagi kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
“Peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang hari ini menjadi bagian penting bukan hanya meningkatkan awareness/kepedulian, literasi, dan edukasi masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah tetapi sebagai upaya memperkuat rasa kepedulian dan solidaritas sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial di negara kita,” demikian dikatakan Kepala Negara.
Presiden Jokowi menyatakan pula bahwa potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp2.000 triliun per tahun dengan potensi wakaf uang sebesar Rp188 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan hingga 20 Desember 2020, total wakaf uang telah terkumpul sejumlah Rp328 miliar. Sedangkan project based wakaf mencapai Rp597 miliar.
Selain itu, tahun lalu Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan para nazhir (pengelola) memobilisasi wakaf uang dan menginvestasikannya pada Cash Wakaf Linked Sukuk (CWLS). Untuk diketahui, CWLS merupakan instrumen baru yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dimana imbal hasil dari instrumen investasi ini digunakan untuk membiayai berbagai program sosial.
"Saat ini sudah terkumpul lebih dari Rp54 miliar dalam bentuk CWLS,” tambahnya.
Terobosan yang dilakukan pemerintah ini, mendapat sentilan dari para pesohor di Tanah Air. Seperti ekonom senior Rizal Ramli yang menganggap pemerintah memanfaatkan dana umat untuk kepentingan membangun infrastruktur.
Sementara wakil ketua MPR, Hidayat Nur Wahid beranggapan bahwa apa yang dilakukan pemerintah soal wakaf ini bersifat kontradiktif. Menurutnya, di satu sisi pemerintah ingin menggalang dana dari umat namun korupsi di pemerintahan masih terus terjadi.
Amanah paling utama
Pengamat Pasar Modal sekaligus Anggota Komite Investasi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Siswa Rizali mengatakan sebaiknya pemberian dan pemanfaatan wakaf harus sesuatu yang bisa bertahan atau berwujud, seperti tanah.
“Makanya kalau dana wakaf untuk pembangunan harus jelas bangun apa. Mungkin kalau infrastruktur, meski untuk orang banyak yang mendengar tidak nyaman,” ujarnya kepada VOI, Kamis malam, 28 Januari.
Rizal menambahkan, lembaga penerima wakaf harus memastikan bahwa aset ataupun dana yang diwakafkan ini sesuai dengan peruntukan pihak yang memberikan. Sebab, pemberi wakaf menjadi sisi yang menentukan manfaat dari aset maupun dana yang dikeluarkannya itu.
“Yang paling utama adalah bagaimana prinsip syariahnya dan lembaga penerima wakaf ini harus benar-benar amanah dalam menjalankan tugasnya. Kalau sudah memenuhi unsur syariah, baru pemanfaatannya bisa dijalankan,” tegasnya.
Rizal juga tidak menampik kemungkinan jika aset wakaf bisa sejalan dengan skema komersil yang berpotensi mendatangkan manfaat ekonomi.
“Contoh lain wakaf tanah yang kemudian di bangun mesjid. Beberapa waktu kemudian tanah itu jadi masuk pusat kota, seperti wakaf Aceh di Mekkah. Melalui pemanfaatan teknologi, bisa dibangun gedung 20 lantai. Dari bangunan ini mungkin 2-3 tingkat untuk mesjid dan kegiatan Islam, sisanya untuk keperluan lain yang halal dan sifatnya komersial,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia membandingkan skema wakaf ini dengan sistem endowment fund yang hampir serupa. Dalam praktiknya, endowment fund melakuan penghimpunan dana lalu memiliki kencenderungan untuk menginvestasikan dana yang diterima agar nilainya bertahan dan berkembang.
“Kalau dalam wakaf ini balik lagi, si pemberi wakaf amanahnya bagaimana saat mengalihdayakan aset tersebut, ini yang harus dijalankan. Jangan karena meniru apa yang baik dalam sistem modern lalu melanggar mandat dan syariah,” katanya.
BACA JUGA:
Kepastian syariah
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin menggarisbawahi mekanisme pengumpulan dan pengelolaan wakaf uang diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam pengelolaan wakaf tersebut dia memastikan hanya diinvestasikan untuk produk keuangan syariah.
"Secara garis besar, pengelolaan wakaf uang hanya bisa dilakukan melalui investasi produk keuangan syariah," katanya melalui keterangan tertulis, dikutip VOI, Kamis, 28 Januari.
Dia menambahkan, uang wakaf yang terkumpul selanjutnya dikelola dalam berbagai produk keuangan syariah resmi seperti deposito mudharabah, musyarakah, bahkan sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
“Terserah mau diinvestasikan ke instrumen yang mana, sepanjang sesuai dengan ketentuan UU dan aturan Syariah serta dengan tetap memperhatikan kehendak pemberi wakaf,” ucapnya.
Kamaruddin mengingatkan, 90 persen hasil investasi syariah tersebut harus difungsikan dalam program pemberdayaan umat. Sementara 10 persen lainnya dapat digunakan oleh pihak pengelola aset wakaf.
"Kami di kementerian dalam menjalankan pengawasan, pengumpulan dan pengelolaan wakaf uang selalu berpegang pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 2009 sebagai landasan hukum," tutupnya.