JAKARTA – Di tengah semangat Indonesia dalam modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, muncul dilema berkaitan dengan pemilihan rentang pakai atau usia persenjataan yang diingini. Ingin beli alutsista baru atau bekas?
Seperti yang saat ini sedang menjadi topik hangat pembahasan di berbagai platform media, yaitu soal pembelian pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas milik Angkatan Udara Qatar senilai Rp12 triliun lewat agen pembelian senjata asal Republik Cezchia, Excalibur International.
Alasan pembelian alutsista tersebut sudah diberikan oleh Pemerintah Indonesia lewat Menhan Prabowo Subianto, yaitu kebutuhan mendesak karena pewasat tempur Indonesia sudah tua. Selain untuk mempersiapkan kedatangan pesawat tempur baru dari Prancis, Rafale. Namun kritik bahkan sindiran nyinyir pun tak kalah gencar.
Sebenarnya pembelian alutsista bekas adalah hal jamak bagi Indonesia. Bahkan sejak era kekuasaan Presiden Soekarno, pembelian alutsista bekas sudah dilakukan. Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), pada 1960 hingga 1964, Indonesia pernah membeli 12 kapal perang bekas berbagai jenis dari Uni Soviet. Proyek yang dinamai Project 613 itu berupa pengadaan beberapa jenis kapal perang mulai kapal selam, fregat, penjelajah, penyapu ranjau, hingga kapal patroli.
Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, pembelian alutsista bekas juga terjadi. Jika pada era Orde Lama pembelian persenjataan mengacu ke blok Timur, maka di masa Orde Baru orientasi beralih ke blok Barat.
Seperti yang dilakukan pada 1973-1974, Indonesia membeli dua kapal perang bekas dari Australia, dengan kode penamaan Attack 3. Tentu saja peristiwa yang paling menghebohkan dalam hal alutsista bekas di era Orde Baru adalah pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur pada 1994.
Sorotan utama bukan pada kondisi kapal perang bekas Jerman Timur tersebut, namun dalam hal korupsi yang menyertainya. Menristek kala itu, B.J Habibie ditunjuk sebagai negosiator. Habibie berhasil mencapai kesepakatan dengan nilai pembelian 12,5 juta dolar AS.
Namun pada saat pembayaran nilai pembelian alutsista bekas Jerman Timur tersebut membengkak 62 kali lipat, menjadi 1,1 miliar dolar AS. Kabar tersebut menjadi berita besar dan membuat Presiden Soeharto murka. Akibatnya tiga media massa: Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Editor diberedel.
Tak hanya dari Jerman Timur, Indonesia bahkan pernah mendapat hibah alutsista dari negara-negara Asia Tenggara seperti Brunei Darussalam dan Singapura.
Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pembelian alutsista bekas juga masih berlanjut. Pada masa pemerintahan kedua SBY, 2009-2014, Indonesia pernah menganggarkan pembelian 6 pesawat tempur F-16 baru dari Amerika Serikat. Namun dalam praktiknya, rencana tersebut berubah.
BACA JUGA:
Pembelian enam pesawat tempur baru diubah menjadi pembelian plus rekondisi 24 pesawat F-16 bekas dari AS pada 2012. Menteri Pertahanan saat itu, Purnomo Yusgiantoro mengatakan bahwa pesawat bekas AS memang sudah sesuai dengan kebutuhan Indonesia, bahkan tanpa perlu direkondisi.
“Anggaran yang tadinya kita pakai untuk membeli enam pesawat F16, sekarang kita pakai meng-upgrade yang 24, ini belum tapi sekarang kita di-offer 10 lagi. Kalau pesawat itu dia tidak brand new pun kalau dia sudah di-upgrade engine-nya ya bagus, avionic dan airframe bagus, itu sudah cukup,” kata Purnomo seperti dikutip BBC Indonesia pada 14 Juni 2013.
Kritik Soal Pembelian Alutsista Bekas
Tak urung pembelian F-16 bekas AS tersebut menuai kritik, seperti yang juga terjadi saat ini dengan pembelian Mirage 2000-5 bekas AU Qatar.
“Pemeliharaan dan rekondisinya kan besar juga biayanya. Bukan canggih dipakai, nanti malah membebani. Anggarannya untuk 6 pesawat kan 600 juta dolar AS, sekarang rekondisi untuk 24 pesawat malah jadi 700 juta dollar AS,” kata politikus PDI Perjuangan, TB Hasanuddin menanggapi pembelian F-16 bekas dari AS.
TB Hasanuddin pula yang melontarkan kritik terhadap pembelian Mirage 2000 saat ini.
"Perintah Pak Jokowi sudah jelas agar penguatan pertahanan menggunakan alutsista modern dan sebisa mungkin mengandalkan kemampuan industri alat pertahanan di dalam negeri," ujar Hasanuddin, purnawirawan TNI AD berpangkat Mayjen yang juga anggota Komisi I DPR RI.
Hasanuddin menambahkan bahwa pembelian alutsista, apalagi jika bekas, pada masa sekarang bukanlah kebutuhan mendesak.
"Kondisi apa yang mendesak sampai kita harus beli pesawat tua. Kalau toh terburu waktu dengan alasan butuh pesawat pengganti dalam waktu dekat , kenapa misalnya tidak ambil pesawat Mirage 2000-9 milik Uni Emirat Arab yang juga mau dijual, ini lebih muda dari Mirage 2000-5 milik Qatar," kata Hasanuddin lagi.
Dalam rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju tentang kebijakan pembelian alutsista di Istana Presiden, Jakarta pada 22 November 2019, Presiden Jokowi pernah menginstruksikan agak Indonesia tak lagi membeli alutsista bekas.
"Ini akan mempengaruhi corak peperangan di masa yang akan datang. Jangan sampai pengadaan alutsista dengan teknologi yang sudah usang, sudah ketinggalan dan tidak sesuai dengan corak peperangan di masa yang akan datang," kata Jokowi.
Presiden Jokowi juga menegaskan agar orientasi pengadaan alutsista bukan pada penyerapan anggaran. Anggaran yang ada dibelanjakan sebanyak-banyaknya, dengan orientasi proyek. Jokowi menghendaki tindakan semacam itu dihentikan, dan diganti dengan visi strategi kerja sama untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa Indonesia.
Risiko Pengoperasian Alutsista Bekas
Tenaga Ahli DPR yang juga alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan, Fahmi Alfansi P Pane dalam tulisan di Kompas mengulas risiko-risiko yang harus ditanggung negara operator alutsista bekas.
“Masalah lain adalah seiring berjalannya waktu biaya pemeliharaan, perbaikan, dan operasi alutsista akan meningkat. Riset Davies et al tahun 2012 berjudul ”Intergenerational Equipment Cost Escalation” menunjukkan biaya tahunan pesawat tempur tumbuh 5,8 persen. Adapun biaya tahunan fregat tumbuh 4,3 persen, sedangkan biaya tank tempur utama tumbuh 5,9 persen,” Fahmi menuliskan dalam ulasannya.
Problem yang bakal dihadapi Mirage 2000 bahkan berpotensi lebih besar, sebab sepanjang sejarah Indonesia belum pernah mengoperasikan pesawat tempur buatan Prancis. Indonesia baru akan mengoperasikan pesawat tempur Prancis pada 2026, yaitu saat kedatangan jet Rafale baru yang dipesan sebanyak 42 buah pada tahun lalu.
Pengadaan Mirage 2000-5 dari Qatar yang bukan negara produsen pesawat tersebut juga mengandung risiko Indonesia tidak akan mampu memenuhi kewajiban, seperti yang sudah diatur dalam UU nomer 16/2012 pasal 43 ayat 5.
Undang-undang soal Industri Pertahanan tersebut mengatur bahwa pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri harus memenuhi syarat antara lain: ada partisipasi industri pertahanan dalam negeri, kewajiban alih teknologi, ketiadaan potensi embargo, ada imbal dagang, serta kandungan lokal dan ofset (kompensasi).
Situasi yang dihadapi dalam pembelian Mirage 2000 bekas dan Rafale baru jelas sangat berbeda. Dalam pembelian Mirage, industri pertahanan nasional seperti PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia tidak akan mungkin dilibatkan. Berbeda dengan pembelian Rafale yang pasti melibatkan kedua BUMN dalam bidang industri pertahanan tersebut dalam bidang alih teknologi, pemeliharaan, produksi amunisi maupun komponen, riset, dan banyak lagi.