Bagikan:

JAKARTA – Politik uang dalam setiap penyelenggaraan Pemilu merupakan praktik yang merusak demokrasi dan kerap dianggap sebagai penyebab perilaku korupsi. Sayangnya, meski kerap menjadi perbincangan publik, praktik-praktik ini justru semakin merajalela. Bahkan, masyarakat dan sejumlah politisi sudah menganggapnya sebagai hal lumrah.

Masyarakat, kata Asep Nurjaman, sudah memperlakukan Pemilu sebagaimana laiknya pasar. Mereka hanya ingin memilih partai politik yang menguntungkan. Partai apapun yang masuk akan diterima asalkan bisa memberi kontribusi.

Dari hasil observasi Asep yang dituliskan dalam bukunya ‘Partai dan Pemilu: Perilaku Politik di Aras Lokal Pasca Orde Baru’, masyarakat menganggap siapapun yang dipilih, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan mereka.

“Ada Pemilu ataupun tidak ada Pemilu, nasib saya tetap tidak berubah. Kalau gitu, ya mendingan apa yang bisa didapatkan sekarang, kedepan kan kita tidak tahu, paling mereka yang kita dukung lupa,” tulis Asep merujuk hasil observasinya.

Bentuk suap dukungan tersebut bermacam-macam, bisa melalui pembangunan fasilitas publik atau uang cash. Bahkan, kata Ketua Majelis Pertimbangan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy ada yang sampai Rp1 juta per orang seperti yang terjadi di Kabupaten Tanah Tidung, Kalimantan Utara.

Money politic-nya satu amplop 1 juta. Saya tanya sama pejabat bupati di sana ketika itu. Karena penduduknya hanya 22 ribu, pemilihnya hanya 16 ribu. Berarti bisa 16 miliar. Semua lembaga survey tahu itu,” kata Gus Romi sapaan akrab Romahurmuziy di akun YouTube Total Politik pada 2 Mei 2023.

Sama halnya dengan para politisi atau orang yang ingin menjadi kontestan Pemilu. Tetap ada mahar yang harus dikeluarkan untuk mendapat dukungan dari partai politik. Bentuknya pun bermacam-macam, termasuk uang.

Ilustrasi - Biaya politik untuk menjadi kontestan Pemilu di Indonesia sangat tinggi bahkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. (Twitter)

Semisal di DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2016 sempat mengungkapkan ongkos politik untuk maju sebagai Gubernur DKI Jakarta bisa mencapai Rp100-200 miliar per partai.

Mahar itu kemudian digunakan oleh partai untuk menggerakkan ranting-rantingnya. Misalnya, untuk satu kelurahan, kira-kira perlu suntikan dana sekira Rp10 juta per bulan. Jika ada 267 kelurahan dan dihitung dalam 10 bulan, maka dana yang dibutuhkan sudah miliaran. Belum lagi jika partai tersebut berkoalisi.

Bukti lain tampak pula dari pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Erwin Aksa pada Februari lalu mengenai utang-piutang Anies Baswedan kepada Sandiaga Uno sebesar Rp50 miliar untuk dana kampanye pada Pilgub DKI 2017.

Bahkan menurut Romi, jumlah sebenarnya lebih besar.

Artinya, biaya politik untuk menjadi kontestan Pemilu di Indonesia sangat tinggi dan tidak sepadan dengan penghasilan normatif mereka. Tak heran kalau praktik korupsi di Indonesia semakin masif karena sistemnya melulu mengandalkan politik uang.

Romi meyakini 99 persen pejabat terpilih melakukan korupsi, “Soal tertangkap itu soal nasib saja karena semua melakukan.”

Meskipun mahar tersebut dibiayai oleh investor, dalam pelaksanaannya tetap tak ada yang gratis. Praktik politik uang akan merusak independensi dan integritas pejabat. Adanya sokongan modal, membuat, pejabat terpilih nantinya tunduk dengan kepentingan investor.

Sudah Ada Aturan

Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan berbagai peraturan mencegah terjadinya politik uang. Antara lain, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2017,

Pasal 515 menyebut, “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

Lalu pada UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota. Pasal 47 berbunyi, “Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota.

Serta UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya di Pasal 228. "Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden."

Di pasal yang sama juga disebutkan larangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalon presiden dan wakilnya. Aturan mengenai mahar politik tersebut memuat sanksi yang tegas, yaitu larangan bagi parpol untuk mengajukan calon pada periode berikutnya.

Kendati demikian menurut Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, pembuktiannya sulit karena dilakukan dengan terbatas dan rahasia. Selain itu, untuk membuktikan mahar politik mesti ada pengakuan dari pemberi.

Ilustrasi - Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan 14 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara. (KPU)

“Adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan ini sulit terealisasi,” katanya seperti dilansir dari laman Pusat Edukasi Antikorupsi.

Masyarakat pun umumnya lebih memilih diam saat mengetahui praktik politik uang. Terlihat dari hasil survei yang dilakukan Kompas terhadap 506 responden dari 34 provinsi pada 18-20 Januari lalu.

Sebagian besar responden mengaku pernah memiliki pengalaman langsung atau mengetahui praktik politik uang, tetapi mayoritas memilih diam dan tak melaporkan kepada pihak berwenang.

Hanya 12 persen responden yang menyatakan kesediaan untuk melaporkannya. Dalam laporannya, Litbang Kompas menuliskan kondisi demikian merefleksikan betapa praktik politik uang masih akan menjadi persoalan mengkhawatirkan bagi penyelenggaraan Pemilu dan kualitas demokrasi di negeri ini.

Tanpa adanya publik yang tergerak untuk bisa peduli melawan segala bentuk politik uang, sangat tidak mungkin tindak kecurangan yang mencederai kemurnian suara masyarakat dapat teratasi.