Bagikan:

JAKARTA - Untuk kesekian kalinya nelayan Tanah Air melaporkan temuan drone bawah air atau glider. Temuan ini diduga berkaitan dengan glider milik China yang sebelumnya ditemukan oleh nelayan di sekitar perairan Pulau Selayar. Media asing telah menyorti temuan ini. Rata-rata dari mereka menyebut peristiwa ini sebagai misi rahasia China di perairan Indonesia.

The Guardian, dalam rubrik Espionage merinci, sebelumnya glider buatan China juga ditemukan nelayan di Tanjung Pinang pada Maret 2019. Selanjutnya, temuan terjadi di Masalembo pada Januari 2020.

Lokasi penemuan ini terjadi di empat dari sembilan jalur pelayaran penting dunia yang melewati Indonesia. Titik dan jalur itu dikenal dengan Choke Point, yang meliputi Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar.

Tentang glider

Glider tak sama dengan drone yang kita kenal selama ini. Sekilas, glider berbentuk seperti roket, dilengkapi sirip di kanan kirinya. Pada bagian ujungnya, glider memiliki sensor perekam data elektronik. Sementara bagian ekornya terdapat antena yang berfungsi untuk melakukan transmisi data ke satelit yang bekerja saat muncul ke permukaan.

Glider bergerak dengan arah vertikal, menggunakan sistem hidrolik, umumnya pompa minyak yang dapat mengatur ruang udara sehingga mampu mengapung dan tenggelam. Baterai yang ada digunakan sebagai sumber energi saat glider mengirim data ke satelit.

Ilustrasi foto glider (Kondrad Wojchiecowski/Unsplash)

Ini berbeda dengan drone yang pergerakannya ditunjang baterai. Saat posisi mengapung, glider memancarkan data berupa posisi, parameter institu --seperti arah dan kecepatan arus, temperatur, kadar garam, tekanan, kandungan oksigen, hingga visibilitas dalam level kedalaman tertentu.

Data itu dikirim ke satelit penerima. Dengan gaya gravitasinya, glider tenggelam perlahan merekam profil data hingga kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya glider bergerak ke atas hingga timbul ke permukaan. Sekali lagi glider memancarkan data yang sudah direkam dan begitu seterusnya.

Dengan power baterai kering, glider dapat bertahan hingga dua tahun. Dari aspek teknologi, glider bukan termasuk teknologi sulit. Sayang sekali di Indonesia tidak banyak insinyur yang tertarik mengembangkan teknologi ini.

Pentingnya data

Perkembangan teknologi satelit mata-mata telah mencapai resolusi sangat tinggi. Hampir seluruh obyek di permukaan bumi dapat dilihat dengan gambar sangat jelas dalam hitungan sentimeter dan pergerakannya pun dalam detik.

Namun hal ini tidak berlaku pada objek bawah laut yang dibatasi oleh kemampuan penetrasi cahaya matahari terhadap kedalaman. Inilah alasan mengapa deteksi objek bawah laut masih bertahan menggunakan komunikasi akustik tak terkecuali sistem navigasi kapal selam.

Sistem komunikasi di mana gelombang elektromagnetik tidak dapat bekerja karena faktor absorbsi kuat molekul air pada lapisan pertamanya. Hewan laut, seperti paus dan lumba-lumba adalah satwa yang paling sukses menggunakan sistem komunikasi ini.

Gelombang dalam

Perairan Selayar dan Masalembo, tempat di mana glider ditemukan secara geografis sangat dekat dengan Selat Makassar. Selat ini merupakan salah satu air laut kepulauan Indonesia yang banyak dilewati kapal-kapal berbagai negara.

Dalam kajian oseanografi, selat ini juga jadi lintasan utama transpor massa air Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia. Ini dapat dibayangkan sebagai sebuah sungai besar yang mengalirkan massa air antar-samudera.

Kira-kira di barat laut Makassar, terdapat punggung laut yang dikenal dengan nama Dewakang. Keberadaan punggung laut berkedalaman 600-700 m ini jadi penghalang pergerakan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik menuju Laut Flores.

Ilustrasi foto (Pascal Muller/Unsplash)

Gelombang pasang surut memengaruhi tingkat intensivitas proses percampuran massa air di wilayah perairan ini. Tempat ini juga merupakan titik pertemuan massa air Samudera Pasifik --yang berkarakter lebih asin-- dengan massa air Laut Jawa yang lebih tawar.

Proses percampuran ini begitu dinamis dan menimbulkan pola percampuran yang kompleks. Bahkan sejumlah peristiwa kecelakaan kapal yang pernah terjadi di Kawasan Segitiga Masalembu sering dikaitkan dengan teori ini.

Apa yang terjadi di ujung selatan Selat Makassar ini menjadi hal yang menantang bagi sistem navigasi kapal selam. Hampir semua sistem komunikasi bawah permukaan menggunakan gelombang akustik, termasuk kapal selam.

Sayang sekali, sistem komunikasi ini sangat sensitif dengan perubahan densitas air laut. Dalam fisika, densitas air laut tergantung oleh tekanan, temperatur dan kadar garam.

Gelombang akustik yang menjadi andalan sistem deteksi dan navigasi kala selam ini di air laut bisa saja dibelokkan dalam jarak beberapa meter saja ketika densitas air laut berubah dengan cepat. Beberapa area bahkan tidak mampu dideteksi sonar yang dikenal dengan shadow zone.

Zona ini bahkan dapat berpindah-pindah lokasi, tergantung dari kondisi atmosfir di atasnya. Informasi inilah yang paling dicari glider ini, tempat di mana kapal selam dapat berlindung dari sonar lawan atau daerah persiapan dalam mengadakan serangan.

Kedalaman shadow zone yang berubah-ubah tentu jadi informasi untuk menentukan strategi manuvra tempur kapal selam. Glider yang ditemukan di Perairan Selayar dan Masalembo jadi petunjuk awal bahwa ada aktivitas pengumpulan informasi yang dilakukan di lautan Indonesia.

Kapal selam banyak dikenal karena keunggulannya melancarkan serangan mendadak. Belum ada alutsista lain yang menggantikan peran ini. Seorang ahli strategi perang pun menempatkan kapal selam dalam urutan bobot tertinggi dalam menghitung kekuatan pertahanan suatu negara.

Bila hal ini terus terjadi, bisa jadi selat-selat penting lain yang menjadi lintasan ALKI dan juga Arus Lintas Indonesia seperti Selat Lombok dan Selat Ombai juga menjadi spot spot tujuan glider illegal ini. Alasan yang masuk akal mengingat selat penting ini juga sering dilewati armada kapal perang rivalnya.