JAKARTA - Isu perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah berembus sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menjalani jabatan sebagai presiden periode kedua pada 2019.
Namun, ketika itu, Jokowi langsung menolak. Bahkan, dia menilai orang-orang yang mengembuskan wacana itu hanya ingin mencari perhatian atau berniat buruk kepadanya.
Wacana amandemen UUD 1945 bisa saja dilakukan asal dengan materi terbatas, yakni menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, bila melebar kemana-mana mending tidak perlu ada amandemen.
“Saya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pascareformasi. Posisi saya jelas: tak setuju dengan usul masa jabatan Presiden tiga periode. Usulan itu menjerumuskan saya.”
“Saat ini lebih baik kita konsentrasi melewati tekanan eksternal yang tidak mudah diselesaikan,” kata Jokowi dalam akun resmi @jokowi pada 2019.
Ketika memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada 5 April 2022, Jokowi juga kembali menegaskan agar tidak ada lagi yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu.
Jangan menimbulkan polemik di masyarakat, fokus lah bekerja dalam menangani kesulitan-kesulitan yang dihadapi bangsa saat ini.
Rupanya, titah presiden hanya dianggap sebagai angin lalu. Isu penundaan Pemilu kembali berhembus. Memang bukan lagi oleh para menteri, seperti yang dilakukan Luhut Binsar Pandjaitan dan Bahlil Lahadalia sebelumnya.
Kali ini, dihembuskan oleh para pejabat tinggi negara. Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam sambutannya di Munas HIPMI XVII pada 21 November lalu menganggap Pemilu sudah dikuasai satu kelompok dan sudah melenceng dari asas bebas, rahasia, jujur, dan adil.
“Hasilnya sudah ditentukan di atas. Daripada buang-buang duit untuk pemilu, lebih baik ditunda aja saya bilang gitu,” kata LaNyalla dalam sambutannya di Munas XVII HIPMI pada 21 November lalu.
Apalagi, bila melihat energi Presiden Jokowi habis mengatasi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia selama 2 tahun.
"Pak Jokowi udah dua tahun karena situasi COVID-19 beliau belum menampakkan hasilnya, yang sekarang aja dua tahun dilewati, ya kenapa nggak ditambah aja dua tahun lagi untuk nebus yang COVID-19 kemarin," ucap LaNyalla seraya tersenyum.
Padahal, dalam jejak digital pemberitaan media, LaNyalla lah yang sebelumnya meminta Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyetop penundaan Pemilu 2024 dan wacana presiden tiga periode.
"Demi kebaikan bangsa dan negara, saya ingatkan agar Menko Luhut tidak meneruskan polemik ini. Selain melanggar aturan bernegara, polemik ini membahayakan bangsa Indonesia. Indikasi kemarahan publik mulai terlihat jika ini diteruskan," ujar La Nyalla dalam keterangannya pada 4 April 2022.
Selain Ketua DPD, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga mengembuskan kembali wacana penundaan Pemilu. Momen pesta Demokrasi 2024, menurut Bamsoet, kurang tepat karena pemerintah tengah melakukan pemulihan kembali pascapandemi COVID-19.
“Ini jelas harus dihitung betul apakah momentumnya tepat dalam era kita tengah berupaya recovery bersama terhadap situasi ini dan antisipasi, adaptasi dan ancaman global seperti ekonomi, bencana alam dan sebagainya,” kata Bamsoet dalam acara rilis hasil survei Poltracking, Kamis, 8 Desember seperti yang sudah diberitakan VOI.
Lagipula, tambah Bamsoet, kinerja Jokowi juga diakui sukses menghadapi COVID-19. "G20 terlaksana dengan baik berbagai kebijakan ekonomi dan kebijakan lain juga baik, sehingga kita masih mampu bertahan dipertumbuhan ekonomi 5 persen."
Pengkhianatan Konstitusi
Namun, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, DPR, pemerintah, dan KPU sudah menyepakati proses dan tahapan Pemilu Serentak 2024. Dia memastikan proses ini akan terus berjalan hingga waktu pemilihan tiba.
"Apa yang disampaikan Pak Bamsoet tentunya tidak serta merta mengubah atau otomatis tahapan yang sudah ada," kata Dasco.
Anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman menganggap pernyataan Ketua MPR RI sangat berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat. Pelaksanaan Pemilu 2024 sudah ditetapkan dan harus dihormati.
Jika Pemilu ditunda, DPR, DPD, dan Presiden/Wapres tidak punya legitimasi lagi. TNI/POLRI jangan mau diperalat untuk mengamankan presiden yg tidak punya legitimasi rakyat. Tidak ada dasar dan alasan menunda Pemilu selain untuk tetap berkuasa. Kudeta konstitusi sangat danger,” cuit Benny di akun twitternya pada 9 Desember 2022.
Benny pun mengaku bangga dengan tingkat kepuasan kinerja Jokowi-Maruf. Namun, ini bukan alasan memperpanjang masa jabatan dan memobilisasi dukungan rakyat 3 periode dengan menabrak konstitusi.
“…Jangan pernah ajari rakyat melanggar konstitusi. Konstitusi adalah jalan kebenaran dan kedamaian,” lanjutnya.
Ekonom senior Rizal Ramli pun menganggap perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda Pemilu 2024 merupakan kudeta konstitusi.
“Skenario rencana kudeta konstitusi pernah dipasarkan 6-9 bulan yang lalu, gagal dihantam kawan-kawan pro demokrasi. Sekarang diputar ulang kembali oleh Ketua DPD dan Ketua MPR. Bagus supaya jelas garis demarkasinya, siapa-siapa saja yang mengkhianati konstitusi,” cuitnya pada 9 Desember 2022.
“Tolong TNI dan BIN monitor taipan-taipan yang sudah dan akan menyumbang upaya Kudeta Konstitusi. Mereka terlibat dalam pembiayaan tindak pidana,” tambahnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan berpendapat sama, “Pemilu wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Upaya menunda pemilu untuk alasan apapun melanggar konstitusi, masuk kategori kudeta konstitusi, termasuk kejahatan konstitusi yang dapat ditangkap dan dihukum, seperti yang baru saja menimpa presiden Peru.”
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menganggap tidak sepantasnya Ketua DPD dan Ketua MPR melontarkan wacana tersebut. Mereka harusnya memihak rakyat dengan menjaga amanah konstitusi bukan memihak kekuasaan.
Bila alasannya anggaran yang ada terbatas karena untuk menanggulangi COVID, tinggal tunda saja proyek-proyek yang menggunakan anggaran APBN.
“Sebelumnya kereta cepat juga awalnya tidak mengambil dari APBN, justru tetap mengambil APBN dan membengkak. Begitupun IKN, Konstitusi sudah jelas, tak ada alasan menunda Pemilu 2024,” kata Ujang kepada VOI pada 9 Desember 2022.
Apapun alasannya, perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda Pemilu 2024 adalah bentuk pengkhianatan konstitusi. Nantinya, justru akan berakibat fatal.
“Jangan coba-coba membentuk opini, mencari pembenaran, lalu seolah-olah bahwa jokowi 3 periode atau memperpanjang jabatan jokowi adalah hal yang harus dilakukan. Ini cara-cara haram. Ini bentuk pengkhianatan terhadap reformasi, pengkhianatan terhadap konstitusi, dan pengkhianatan terhadap rakyat. Harus ditolak, jangan mengakal-akali demokrasi,” ucap Ujang kepada VOI pada 9 Desember 2022.
BACA JUGA:
Pasal 7 UUD 1945 telah mengamanatkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Aturan itu merupakan hasil dari amandemen konstitusi yang pertama pada 14-21 Oktober 1999.
Pasal 22E, Ayat (1) pun menyebut, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Aturan penyelenggaraan pemilu itu juga diperkuat dalam Pasal 167 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.