Bagikan:

JAKARTA - Dua ledakan terjadi di area Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016. Ledakan pertama di kedai kopi Starbucks seberang Mal Sarinah. Seorang pria yang kemudian teridentifikasi bernama Ahmad Muhazan menjadi pelaku bom bunuh diri di kedai kopi tersebut.

Hampir pada saat bersamaan, terdengar ledakan lagi di pos polisi dekat Gedung Sarinah. Pelaku melempar bom tabung sembari mengendarai sepeda motornya. Usai ledakan, polisi merespon hingga terjadi aksi baku tembak dengan para komplotan pelaku.

Aksi teror yang dikenal dengan ‘Bom Sarinah’ tersebut mengakibatkan 21 orang menjadi korban. Delapan di antaranya meninggal dunia, termasuk empat orang pelaku. M Ali selaku koordinator aksi, Dian Juni, Afif alias Sunakim, dan Ahmad Muhazan. Merekat terafiliasi dengan kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang didalangi pentolan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Aman Abdurrahman.

Masih pada tahun yang sama, komplotan tersebut kembali melancarkan aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Solo, tepatnya pada 5 Juli 2016.

Dua tahun kemudian, mereka memindahkan sasaran teror ke Surabaya. Aksi bom bunuh diri terjadi di sejumlah Gereja dan Mapolrestabes Surabaya pada Mei 2018. Kali ini, pola yang dilakukan berubah, kelompok radikal juga memanfaatkan wanita dan anak-anak dalam menjalankan aksinya.

Petugas kepolisian melakukan pengamanan di area pos polisi yang diledakan oleh sekelompok peneror di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta pada 14 Januari 2016. (Antara/Muhammad Adimaja)

Pelaku bom bunuh diri tersebut adalah keluarga (suami, istri, dan anak) yang diketahui tergabung dalam kelompok JAD. Fenomena bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga, menurut Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, baru pertama kali terjadi di Indonesia.

"Fenomena bom bunuh diri oleh wanita, ini yang pertama berhasil. Sedangkan, menggunakan anak, ini yang pertama kali di Indonesia. Kenapa mereka melakukan aksi ini? Karena pimpinan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Jatim ditangkap," kata Tito kepada awak media pada Mei 2018.

Setelah aksi Bom Sarinah, Densus 88 Anti Teror telah menggagalkan puluhan rencana aksi teror serta menangkap lebih dari 100 terduga teroris sepanjang 2016-2017, termasuk Aman Abdurrahman. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Juni 2018 bahkan telah memvonis Aman dengan hukuman mati.

Namun, paham radikalisme di Indonesia masih terus tumbuh. Teror bom bunuh diri oleh JAD pun masih terus terjadi, seperti di Mapolrestabes Medan 13 November 2019 dan di Mapolsek Astanaanyar pada 7 Desember 2022.

ISIS Lebih Modern

Aksi teror yang terjadi di Indonesia tentu tak lepas dari pergerakan kelompok-kelompok radikal dunia. Pada dekade 1980-an hingga 2000-an awal, kelompok Al Qaeda menghadirkan ancaman baru di dunia modern dengan terorisme berkedok agama. Amerika Serikat, Eropa, Afrika, hingga Asia, termasuk Indonesia pernah menjadi sasaran peledakan bom para pelaku teror yang berafiliasi dengan kelompok itu.

Jamaah Islamiyah (JI) merupakan sel Al Qaeda di Indonesia. Namun, seperti yang tertulis di buku ‘Merekam Jejak Teror ISIS di Indonesia’ karya Iksan Mahar, penangkapan terhadap sejumlah pemimpin JI, seperti Abu Bakar Baasyir, Dulmatin, Azahari Husin, dan Noordin M Top melumpuhkan jaringan tersebut. Ini mengakhiri era terorisme jilid satu di Tanah Air.

Setelah berdirinya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) pada 2013, sel-sel teroris kembali mengancam. Berbeda dengan Al Qaeda yang memiliki kriteria khusus bagi orang-orang yang ingin bergabung sehingga terkesan tertutup dan bergerak seperti organisasi rahasia, ISIS muncul lebih terbuka dalam menggandeng simpatisannya. Tak perlu harus menjalani pendidikan militer.

“Aman Abdurrahman tidak pernah mengikuti pelatihan militer di luar negeri, tetapi ia mampu menerjemahkan sekitar 30 buku dan instruksi yang dikeluarkan ISIS untuk disebarkan ke kelompok radikal di Tanah Air,” tulis Iksan Mahar

Keterbukaan itulah yang memunculkan sel-sel ISIS di Indonesia, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Anshar Khilafah Daulah Nusantara (JAKDN) yang beranggotakan kalangan dari usia dan profesi beragam.

Aman Abdurrahman, dedengkot kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang dijatuhi hukuman mati pada 22 Juni 2018. (Antara/Wahyu Putro A)

Mereka menyebarkan paham radikalisme dan meningkatkan keahlian tertentu dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Tak heran, bila banyak aksi teror saat ini dilakukan secara lone wolf atau pelaku tunggal.

“Melalui kesendirian itu, mereka menciptakan bom dan keperluan aksi teror dari kamar mereka. Mereka menciptakan gerakan radikal tanpa pemimpin dan organisasi,” ucap Iksan.

Secara umum, menurut Daveed Gartenstein-Ross dan Nathaniel Barr dalam artikel berjudul ‘The Myth of Lone Wolf Terrorism’ yang dimuat majalah Foreign Affairs edisi Juli 2016, terdapat empat kategori teroris pelaku tunggal.

Pertama, pelaku teror tunggal telah dilatih dan diutus suatu organisasi radikal, seperti ISIS. Kedua, para pelaku tunggal berhubungan melalui media sosial dengan perencana aksis teror. Ketiga, pelaku teror tunggal yang sempat melakukan kontak dengan kelompok teroris, tetapi tidak mendapat instruksi spesifik terkait aksi teror.

Adapun keempat, seseorang yang murni pelaku teror tunggal karena tidak pernah berkomunikasi dengan jaringan kelompok teroris, baik secara daring maupun langsung.

Meski hanya belajar melalui media sosial, sejumlah orang dalam kelompok telah memampu menciptakan sejumlah bom berdaya ledak tinggi. Terungkap dari penangkapan Endang alias Abu Rafi di wilayah Cibinong, Jawa Barat pada Mei 2019. Ia telah menciptakan enam bom yang diramu dengan bahan utama triaseton triperoksida dan sejumlah bahan kimia lain.

Bom jenis ini digunakan dalam bom bunuh diri di tiga gereja di Sri Lanka awal Mei 2019.

“Pembuatan bom berdaya ledak tinggi juga telah diungkap tim Densus 88 Antiteror ketika menangkap jaringan teroris di Sibolga, Sumatera Utara yang dipimpin oleh Abu Hamzah, Maret 2019. Abu Hamzah telah membuat bom rakitan berdaya ledak tinggi seberat 100 kilogram,” tulis Iksan.

Pola Teror Berkembang

Penangkapan puluhan simpatisan JAD pada 2019 menunjukkan fenomena baru, yakni kelompok teroris daring. Mereka, menurut Irjen Muhammad Iqbal, saat menjabat Kadiv Humas Polri, beraktivitas dan berkomunikasi melalui ranah virtual.

Terdapat lima tahapan radikalisme daring. Dimulai dengan komunikasi intens di media sosial atau aplikasi pesan instan. Berlanjut dengan rapat umum secara daring untuk memberikan pemahaman radikal, kemudian pemimpin agama atau kelompok itu menginisiasi kopi darat kepada sejumlah individu yang dianggap telah terpapar radikalisme.

“Setelah bertemu, mereka melakukan pelatihan paramiliter sebagai persiapan aksi teror. Langkah pamungkasnya adalah amaliah atau aksi teror,” tulis Iksan mengutip pernyataan Irjen Iqbal.

Tim Brimob Polri mengamankan area pertokoan usai peristiwa bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, Bandung pada 7 Desember 2022. (Antara/Novrian Arbi)

Ibarat tubuh manusia, radikalisme adalah sel kanker di suatu lingkungan. Seluruh bagian masyarakat harus menjalankan sistem sosial yang terbuka dan inklusif agar mampu meredam sedini mungkin potensi kehadiran kanker radikalisme.

Bangsa ini sebenarnya memiliki benteng terhadap radikalisme, yaitu karakter komunal yang mengedepankan sikap gotong royong. Masihkah kita menjaga karakter itu?

“Kesungguhan pemerintah melakukan kontra ideologi, kesigapan aparat penegak hukum, dan peran serta masyarakat akan menjadi penentu seberapa besar kelompok teroris mampu berkembang di Tanah Air,” Iksan menandaskan.