Apakah dengan Adanya KUHP Baru, UU Pokok Pers Tetap Menjadi Acuan?
Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman dalam Diskusi "RUU KUHP dan Ancaman Kebebasan Pers" di Media Center, Gedung Nusantara III DPR RI 19/07/22. (Devi/Man)

Bagikan:

JAKARTA - Dalam forum diskusi legislasi di Media Center, Gedung Nusantara III DPR RI pada 19 Juli lalu, Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman memastikan tidak ada pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam dan mematikan kebebasan pers.

Pasal yang mengatur maupun pasal irisan terkait kebebasan pers dalam RUU tersebut nantinya tetap pada prinsip menjamin dan mengawal kebebasan hak untuk menyatakan pendapat sebagai hak atas kebebasan pers.

Benny meminta rekan-rekan pers tak perlu khawatir. RKUHP nantinya tetap akan diberlakukan sebagai UU yang bersifat umum, sedangkan UU Pers bersifat khusus. Artinya, UU Pokok pers tetap dijadikan acuan.

“Ketentuan terkait tugas-tugas jurnalistik dalam RKUHP sebetulnya dalam konteks penegasan UU Pokok Pers. Jadi, ketentuan dalam UU Pokok Pers sangat bagus untuk melindungi dan mengawal hak-hak kebebasan pers yang diatur dalam RKUHP sebagaimana dijamin konstitusi,” ujar Benny.

Dalam forum tersebut, Ketua Komisi Pendataan, Kajian dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu juga telah meminta agar sistem pidana dan pemidanaan yang tercantum dalam RUU tersebut tidak lagi multitafsir.

Gelombang penolakan pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terus mengalir. (Twitter/@YLBHI)

Tujuan dibentuknya hukum adalah memberikan kepastian, memberikan perlindungan dan tidak lagi berisi pasal-pasal karet yang selama ini cukup berimplikasi negatif terhadap rekan-rekan jurnalis akibat UU ITE.

“Kami ingin mendudukkan bahwa kasus-kasus pers itu diselesaikan oleh dewan pers bukan dengan cara pidana,” tuturnya.

Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 klaster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

Alih-alih memberi feedback, pemerintah dan DPR justru melanggengkan RUU tersebut. Sejumlah pasal yang membungkam kemerdekaan pers masih tetap ada.

Pers sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna berpotensi lumpuh karena berhadapan dengan ancaman pidana.

“Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RKUHP yang baru disetujui oleh Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi UU KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers dalam keterangan resminya pada 7 Desember 2022.

Contohnya, Pasal 263 ayat 1 dan 2 dan Pasal 264 mengenai Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong:

Ayat (1) menyebut, “Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

Sedangkan Ayat (2), “Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Lalu, Pasal 264, “Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Ilustrasi - Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas Ajurnalistik. (Pixabay)

Begitupun Pasal 594-596 mengenai Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan:

  • Pasal 594

    Setiap Orang yang menerbitkan tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

  1. Orang yang meminta menerbitkan tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau
  2. Penerbit mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang meminta menerbitkan pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.
  • Pasal 595

    Setiap Orang yang mencetak tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

  1. Orang yang meminta mencetak tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan;
  2. Pencetak mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang meminta mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.            
  • Pasal 596

    Jika sifat tulisan atau gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 594 dan Pasal 595 merupakan Tindak Pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, penerbit atau pencetak hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena Tindak Pidana tersebut.

“Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik,” Arif menambahkan.

Padahal, mandat UU Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

Tanpa perlindungan hukum, wartawan tidak dapat berperan maksimal menjalankan tugas dan fungsinya dalam social control, melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Yang menjadi pertanyaan, dengan adanya KUHP baru, apakah UU Pokok Pers tetap menjadi acuan? Apakah pernyataan Benny tersebut benar-benar dapat diimplementasikan?

Dewan Pers mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, sebagai berikut:

  1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
  3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
  4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
  5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap. Siaran Pers Dewan Pers: UU KUHP Mengancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
  6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
  7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
  8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
  9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
  10. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
  11. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

“Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki,” Arif menandaskan.

Terkait