Pesan Presiden Jokowi dan Realitas Partai Politik di Indonesia
Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh politik menghadiri malam puncak perayaan HUT Partai Golkar ke-58 di Hall C, JIExpo Kemayoran pada 21 Oktober 2022. (Instagram @golkar.indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Dua orang mendaftar menjadi pilot di perusahaan penerbangan. Agar bisa terpilih, keduanya unjuk kelebihan dan gagasan. Calon pilot pertama berkomitmen mematuhi hukum penerbangan internasional dan tetap akan terbang di ketinggian 30 ribu kaki.

Sementara, calon pilot kedua melontarkan gagasan yang nantinya semua penumpang akan duduk di kelas bisnis dan akan mendapatkan diskon.

Presiden Jokowi menganalogikan calon presiden sebagai pilot. Menurutnya, dari pernyataan kedua calon pilot tersebut, pilihan kedua tentu lebih menarik. Namun, tidak masuk akal.

“Yang milih nomor 2 itu hati-hati, karena pasti ini karena emosional dan kurang informasi dan seberulnya tawarannya tidak masuk akal. Sudah diberi kelas bisnis semuanya, kemudian tiketnya didiskon. Menarik sekali tapi tidak masuk akal,” ucap Jokowi dalam pidatonya di acara HUT ke-58 Partai Golkar di Hall C, JiExpo Kemayoran, Jakarta Pusat pada 21 Oktober 2022.

Lewat cerita tersebut, Jokowi berpesan agar partai politik tidak sembarang dalam menentukan calon pilot dan co-pilotnya. Pemimpin Indonesia nanti haruslah figur berpengalaman yang memiliki jam terbang tinggi.

“Dalam pembangunan sebuah negara penting sekali yang namanya stabilitas politik. Kita juga butuh stabilitas keamanan apalagi dalam situasi dunia yang sangat sulit, sulit dihitung, sulit dikalkulasi, sulit diprediksi,” Presiden Jokowi menambahkan.

Presiden Jokowi bersama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menghadiri acara puncak HUT ke-58 Partai Golkar di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada 21 Oktober 2022. (Antara/Hafidz Mubarak)

Pernyataan Jokowi tersebut cenderung bias dan multitafsir. Memang diucapkan saat HUT Partai Golkar, tetapi bukan tidak mungkin pula menjadi pesan untuk para ketua umum partai politik yang hadir saat itu.

“Yang pasti, pernyataan Jokowi secara langsung atau tidak menjadi kritik atau masukan bagi partai yang hadir saat acara, seperti PDIP, PSI, PPP, PAN, NasDem, Demokrat, dan PKS,” kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro dalam keterangannya pada 22 Oktober 2022.

Sebab sejatinya, partai politik (Parpol) adalah pilar utama demokrasi. Jembatan yang menghubungkan antara aspirasi kepentingan rakyat dan kebijakan pemerintah. Parpol yang sehat dan berkualitas, kata peneliti dan pengamat politik, Syamsuddin Haris, akan membuat sistem pemerintahan dan demokrasi yang sehat dan berkualitas pula, begitupun sebaliknya.

“Parpol memiliki posisi sentral dan strategis di dalam sistem demokrasi. Mengubah input berupa aspirasi dan kepentingan publik menjadi output yakni kebijakan publik yang merupakan produk parlemen atau produk bersama antara parlemen sebagai lembaga legislatif dan pemerintah sebagai eksekutif,” ucap Syamsuddin dalam bukunya ‘Menuju Reformasi Partai Politik’.

Lewat partai lah, rakyat bisa mendapatkan pilot dan co-pilot terbaik demi memajukan Indonesia. Sesuai, pasal 6A ayat 2 UUD 1945, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Lewat partai pula, rakyat bisa menempatkan wakilnya di parlemen. Sesuai Pasal 22E ayat 3 UUD 1945, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Integritas Parpol

Itulah sebabnya, untuk menciptakan sistem pemerintahan dan demokrasi yang baik, permasalahan yang kerap melanda Parpol harus dapat diatasi terlebih dahulu. Utamanya, menurut Syamsuddin, urgensi pelembagaan standar etik, sistem kaderisasi dan rekrutmen politik, dan tata kelola keuangan.

“Ini mendesak jika dihubungkan dengan maraknya kasus dan skandal pelanggaran etik oleh politisi dan elite parpol, masih merajalela tindak pidana korupsi di kalangan pejabat publik dari partai, serta maraknya politik uang dan mahar politik di balik proses kaderisasi, baik dalam Pemilu maupun Pilkada,” tulisnya.

Sebagai badan hukum publik, Parpol tak hanya perlu dikelola profesional, terbuka, dan demokratis, tetapi juga benar-benar berorientasi terhadap kepentingan umum.

“Di sisi lain, para politisi dari setiap Parpol diharapkan memiliki standar perilaku minimum sehingga laik memperoleh mandat politik ketika menjadi wakil rakyat atau pejabat publik,” Syamsuddin melanjutkan.

Begitupun sistem kaderisasi dan rekrutmen politik. Hampir semua Parpol belum memiliki sistem kaderisasi yang baku sehingga siapa saja bisa menjadi pengurus dan/atau pimpinan partai dan bahkan calon pejabat publik jika dikehendaki oleh segelintir elite ‘pemilik’ partai.

Ilustrasi - Parpol yang sehat dan berkualitas akan membuat sistem pemerintahan dan demokrasi yang sehat dan berkualitas pula (Antara/Ampelsa)

Lalu, sistem rekrutmen yang cenderung memilih keluarga, kerabat, atau figur-figur yang populer demi mendongkrak suara partai dengan mahar tertentu. Padahal, dari sisi pengalaman dan intelektualnya masih jauh dari standar.

“Tak jarang rekrutmen politik berbasis keluarga dan kerabat akhirnya membentuk dinasti politik,” kata Syamsuddin.

Kemudian juga tata keuangan atau pendanaan partai. Sesuai UU Parpol, sumber dana berasal dari iuran anggota, sumbangan perorangan dan perusahaan yang sah menurut hukum, dan subsidi negara.

Namun, permasalahan yang lazim terjadi, iuran anggota tidak bisa diharapkan, sumbangan sah tidak begitu pasti, dan subsidi negara sangat kecil hanya Rp10 ribu per suara sah parpol yang memperoleh kursi dalam Pemilu Legislatif. Dengan kondisi ini, peluang pemilik modal masuk semakin besar.

“Dampaknya beralih kepemilikan Parpol ke personal yang akhirnya mengelola dan memutuskan kebijakan partai secara oligarki pula. Fenomena ini tampak jelas dalam Pemilu dan Pilkada,” Syamsuddin menambahkan.

Meningkatkan Nilai Subsidi

Satu upaya membangun pola kepemimpinan partai yang lebih institusional-demokratis ketimbang personal-oligarkis adalah dengan meningkatkan subsidi negara secara signifikan kepada parpol yang memperoleh kursi di parlemen.

Namun, kata Syamsuddin harus disertai persyaratan ketat, misalnya:

  1. Kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR mengenai nominal maksimal nilai subsidi negara yang diberikan kepada Parpol per tahun, apakah 50 persen seperti yang diusulkan KPK.
  2. Subsidi tidak harus dalam bentuk dana tunai, melainkan bisa dalam bentuk pembiayaan kegiatan Parpol oleh negara.
  3. Bertahap, dalam arti pemenuhan nominal maksimal subsidi negara baru bisa dipenuhi dalam jangka waktu dua kali pemilu atau tiga kali pemilu.
  4. Pengelolaan dana subsidi harus transparan dan jelas
  5. Pemerintah perlu membuat skema pengawasan dan standar supervisi baku agar penggunaan dana subsidi negara benar-benar berkotribusi positif bagi perbaikan kualitas Parpol dan demokrasi dengan menggandeng misalnya BPK dan KPK.

Prasyarat lain, Parpol sebagai penerima subsidi berkewajiban melembagakan empat elemen sistem integritas, yakni: standar etik bagi politisi dan Parpol; sistem kaderisasi yang baku, inklusif, berkala, berjenjang; sistem rekrutmen politik yang terbuka, demokratis dan berbasis kaderisasi; serta sistem tata kelola keuangan yang baik.

“Apabila partai tidak atau belum memiliki seluruh elemen tersebut, partai tidak berhak memperoleh dana subsidi negara,” Syamsuddin menandaskan.