JAKARTA – Pejabat pemerintahan mengundurkan diri akibat kesalahan atau ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sudah lazim terjadi di negara-negara maju. Tengok peristiwa terbaru di Inggris. Meski baru 43 hari menjabat menteri dalam negeri, Suella Braverman tak segan menyatakan mundur.
Selain karena telah melakukan kesalahan teknis dengan mengirim dokumen resmi ke parlemen menggunakan email pribadi, pengunduran diri Braverman disinyalir juga karena tidak cocok dengan arah kebijakan pemerintah.
“Ini merupakan pelanggaran teknis terhadap aturan. Seperti diketahui, dokumen tersebut merupakan draft Pernyataan Tertulis Menteri tentang migrasi, yang akan segera diterbitkan,” tulis Braverman dalam surat pengunduran dirinya yang ditujukan untuk Perdana Menteri Liz Truss dilansir dari BBC.
“Segera setelah saya menyadari kesalahan, saya segera melaporkan hal ini melalui saluran resmi, dan memberitahu sekretaris kabinet. Sebagai Menteri Dalam Negeri saya memegang standar tertinggi dan pengunduran diri saya adalah hal yang benar untuk dilakukan,” ujar Braverman, wanita eksentrik dari sayap kanan Partai Konservatif ini melanjutkan.
Braverman mengundurkan diri pada 19 Oktober 2022 waktu setempat. Menurut dia, keberlangsungan jalannya roda pemerintahan bergantung kepada orang yang menerima tanggung jawab.
Berpura-pura tidak melakukan kesalahan, melanjutkan seolah-olah semua orang tidak dapat melihat kesalahan yang telah dilakukan, dan berharap semua akan menjadi benar bukanlah cara yang tepat dan bijak sebagai seorang pejabat.
“Saya telah membuat kesalahan, saya menerima tanggung jawab, saya mengundurkan diri,” tegas Braverman.
Dalam suratnya, Braverman juga menyampaikan kekhawatiran terkait arah kebijakan Liz Truss yang notabene rekan satu partainya untuk membawa Inggris keluar dari masa yang penuh gejolak.
“Saya khawatir dengan arah pemerintah ini. Kami tidak hanya melanggar janji utama yang dijanjikan kepada pemilih kami, tetapi saya juga memiliki keprihatinan serius tentang komitmen pemerintah untuk menghormati komitmen manifesto, seperti mengurangi jumlah migrasi secara keseluruhan dan menghentikan migrasi ilegal,” tutur Braverman.
“Saya berharap penerus saya sukses,” Braverman menutup suratnya.
Tak hanya Braverman. Satu hari berselang, Perdana Menteri Liz Truss juga mengundurkan diri, padahal baru 45 hari menjabat. Truss merasa gagal dalam mengatasi sejumlah masalah perekonomian mulai dari polemik pemangkasan pajak, krisis energi dan pangan, hingga inflasi yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Dalam pidato singkat di luar kantor dan kediaman PM di Downing Street, London pada 20 Oktober 2022, Liz Truss mengatakan, "Saya menyadari saya telah gagal melaksanakan mandat yang diamanatkan oleh Partai Konservatif."
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino menilai apa yang dilakukan kedua wanita tersebut menjadi teladan berpolitik.
“Sekecil apapun kesalahan tidak harus kesalahan itu berupa kejahatan kemanusiaan, hanya kesalahan teknis saja mereka berani mengundurkan diri. Padahal, tidak melanggar delik pidana atau melanggar mekanisme partai,” ucapnya kepada VOI, Senin (24/10).
Sebab, politik bagi mereka sejatinya bukan menyoal kekuasaan, melainkan tentang bagaimana menciptakan sistem yang baik demi mewujudkan keadilan sosial untuk rakyat.
Berbeda dengan Indonesia
Memang sangat berbeda dengan budaya dan etika berpolitik di Indonesia yang cenderung tidak mengenal rasa malu.
“Sebelum ada inkrah pengadilan pantang mengundurkan diri. Lihat saja Tragedi Kanjuruhan, tidak ada yang teriak lantang saya mengundurkan diri meski ratusan orang tewas,” tutur Hutri.
Padahal, Ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Mahfud MD sudah mengimbau, “Dalam negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.”
Bahkan, kata Hutri, sudah inkrah pun banyak koruptor yang ingin maju lagi sebagai pejabat publik. Itulah mengapa tak heran bila muncul anggapan, negara-negara sekuler lebih memiliki etika yang baik dalam berpolitik dibandingkan Indonesia yang mengakui diri sebagai negara beragama.
Menurut Hutri, kualitas politik di Indonesia memang mengalami gradasi luar biasa. Pada masa Orde Lama, para intelektual dan negarawan berpeluang besar berkecimpung di pemerintahan.
Namun, perlahan terkikis ketika Orde Baru. Kecerdasan dalam berpolitik dianggap hal berbahaya yang dapat menggerus kekuasaan.
Pada fase reformasi, kualitas politik bisa dibilang berubah total. Lebih materialistis dan lebih berbasis kepada kepemilikan kapital.
M Subhan dalam bukunya ‘Bangsa Mati di Tangan Politikus’ pun mengakui, pada era 1950-an gejolak politik memang luar biasa. Partai-partai yang terkelompok dalam beberapa ideologi bisa saling menjatuhkan.
Namun, perbedaan pandangan dan konflik menjadi dinamika sebagai tahapan mencari solusi. Mereka bertentangan keras, tetapi dalam pikiran dan jiwa mereka sudah terpatri bahwa itu merupakan proses menemukan atau meneguhkan rumah besar Indonesia. Semua sekat primordial diaduk-aduk tetapi untuk menemukan wujud keindonesiaan.
“Sekarang, potret Indonesia hari ini penuh prasangka, amarah, kebencian, dan fitnah. Panggung politik bukan lagi sebagai arena untuk kebaikan bersama melainkan kisah penaklukan bagi mereka yang haus kuasa. Korupsi yang merajalela, saling sikut, dan saling mencerca jadi santapan getir sehari-hari. Banyak politikus menjalani hidup memilih asal beda, bukan mencari titik kebersamaan,” tutur Subhan.
Negeri yang Unik
Budayawan YB. Mangunwijaya dalam buku ‘Politik Hati Nurani’ mengatakan, Indonesia ini memang negeri yang unik, penuh dengan hal-hal yang seram serius, tetapi penuh dagelan dan badutan juga.
Mengerikan tapi lucu, dilarang justru dicari dan amat laku, dianjurkan, disuruh tetapi malah diboikot, kalah tetapi justru menjadi amat populer dan menjadi pahlawan khalayak ramai, berjaya tetapi keok celaka.
“Fanatik anti PKI tetapi berbuat persis PKI, terpeleset tetapi dicemburui, aman tertib tetapi kacau balau, ngawur tetapi justru disenangi, sungguh misterius tetapi gamblang bagi semua orang,” tutur Romo Mangun dalam bukunya itu.
Hutri mengakui Indonesia sudah sengkarut. Ibarat kanker, permasalahan sudah menggerogoti negara dari hulu ke hilir. Mengatasinya tidak cukup hanya dalam satu fase.
Keteladanan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, HOS Cokroaminoto, dan lainnya mulai terlupakan. Nation and character building yang dulu diteriakkan pendiri bangsa, Soekarno tiada ceritanya lagi.
BACA JUGA:
“Budaya dan etika politik itulah yang tergadaikan dalam kehidupan pragmatis politik saat ini. Namun, bukan berarti menyerah. Indonesia memiliki peluang besar untuk maju. Mengubah pola pikir dan tindakan hal yang absolut, ayo merujuk kembali dengan benar-benar menerapkan dan mengamalkan nilai-nilai luhur pancasila,” Hutri mengajak.
Terkait itu, pakar komunikasi dari Universitas Hamka, Said Romadlan mengatakan dunia pendidikan memegang peran penting dalam proses transformasi nilai-nilai keadaban. Contoh Jepang, Inggris, dan Amerika yang sudah memupuk etika moral bernegara sejak pendidikan dasar.
Sehingga, generasi mendatang memiliki kesadaran jiwa kebangsaan yang kuat dan kepribadian yang baik dengan tujuan akhir tentu menjadikan Indonesia negara maju.
“Budaya malu dan mundur dari jabatan seperti yang dilakukan oleh para pejabat Inggris bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Namun, yang terpenting, kita juga perlu contoh teladan,” tandasnya kepada VOI, Senin (24/10).