Menakar Hukuman Putri Candrawathi: Mungkinkah Dia Mendapat Keringanan?
Putri Candrawathi, istri Irjen Ferdy Sambo, masih memiliki balita berusia 1 tahun 6 bulan yang kemungkinan menjadi faktor yang akan meringankan hukumannya. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA – Saat membahas hukuman yang bakal diterima Putri Candrawathi, tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, ingatkah dengan Pinangki Sirna Malasari? Dia seorang jaksa perempuan yang tersandung kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana dalam kasus tersebut: Menerima uang suap 500.000 dolar AS dari Djoko Tjandra; Melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dolar AS; dan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.

Pinangki Sirna Malasari, sebelumnya berstatus sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Pada Februari 2021, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta kepada Pinangki. Dia kemudian mengajukan banding dan dikabulkan.

Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020). (Antara/Muhammad Adimaja)

Melansir dari situs Pengadilan Tinggi Jakarta, Majelis hakim memangkas hukuman Pinangki dari yang semula 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pertimbangan hakim, Pinangki sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.

Pertimbangan lainnya, status Pinangki sebagai seorang ibu yang memiliki anak berusia empat tahun. Menurut hakim, Pinangki layak diberi kesempatan mengasuh dan memberi kasih sayang dalam pertumbuhan anaknya.

“Bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil,” ucap hakim banding.

Berbeda dengan Angelina Sondakh. Pada tingkat pertama, istri dari almarhum Adjie Massaid ini divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp245 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, setelah mengajukan banding, bukan keringanan yang diperoleh. Pengadilan Tinggi Jakarta justru memvonisnya 5 tahun penjara.

Begitupun di tingkat kasasi, hukuman Angie dinaikkan menjadi 12 tahun penjara. Meski telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), hukumannya hanya berkurang menjadi 10 tahun penjara.

Angelina Sondakh dan kedua anaknya yang sudah berusia remaja, setelah sang ibu menyelesaikan 10 tahun masa hukuman. (Instagram/@aaliyah.massaid)

Padahal, saat itu, Angie juga memiliki balita yang masih berusia 2 tahun 6 bulan. Satu tahun sebelumnya, sang anak juga harus kehilangan ayahnya karena meninggal dunia.

Angie menjadi warga binaan di Lapas Perempuan Jakarta sejak 27 April 2012. Majelis hakim menilai, Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima pemberian uang senilai Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dolar AS dari Grup Permai.

Selaku anggota sekaligus Badan Anggaran DPR, Angie menyanggupi untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional sehingga dapat disesuaikan dengan permintaan Grup Permai.

“Aku memang menerima (uang korupsi) walaupun menurut aku, tapi aku tidak melakukan sendiri,” kata Angie dalam acara Kompas TV pada 31 Maret 2022.

Berkaca dari dua kasus tersebut, mungkinkan Putri Candrawathi akan mendapatkan keringanan hukuman saat proses pengadilan nanti? Secara status, istri Ferdy Sambo itu sama dengan Pinangki dan Angie, seorang ibu yang memiliki balita. Putri kabarnya memiliki 4 orang anak, sulung berusia 18 tahun dan yang bungsu 1 tahun 6 bulan.

Kewenangan Instansi

Menurut Praktisi Hukum dari Universitas Mataram, Farizal keputusan hakim berdasar tiga hal. Pertama terkait dengan Undang-Undang yang dikenakan, kedua terkait fakta-fakta persidangan, semisal saksi dan alat bukti yang diajukan dalam proses persidangan. Ketiga, keyakinan hakim.

“Dalam keyakinan hakim sendiri, ketika terjadi suatu keputusan, itu ada hal-hal yang memberatkan kemudian ada hal-hal yang meringankan,” kata Farizal kepada VOI, Sabtu (27/8).

Yang memberatkan semisal, terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit, kemudian tidak bersikap ramah, atau hal lainnya. Sedangkan yang meringankan umumnya seperti berkelakuan baik, memiliki balita, atau hal-hal lain berdasarkan penafsiran hakim.

“Artinya, hakim memiliki wewenang subjektif dalam pengenaan hukum. Tentu, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu,” tambah Farizal.

Ilustrasi kewenangan memutuskan hukuman di pengadilan ada dalam diri hakim. (Pixabay)

Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat sama. Dalam proses hukum, setiap instansi yang sedang melakukan pemeriksaan memiliki kewenangan masing-masing.

Contoh dalam kasus istri Ferdy Sambo. Polisi memiliki kewenangan di tingkat penyidikan untuk menahan atau tidak menahan Putri Candrawathi.

“Bila tidak ada kekhawatiran melarikan diri atau kekhawatiran menghilangkan barang bukti, penyidik boleh saja tidak menahan Putri. Atau, kalau ditahan sekalipun, Putri bisa saja mengasuh anaknya yang masih balita di dalam tahanan. Kembali kepada kewenangan penyidik,” jelas Fickar kepada VOI, Sabtu (27/8).

Begitupun di tingkat penuntutan oleh jaksa atau sudah di tingkat pengadilan oleh hakim. Masing-masing memiliki kewenangannya. Itulah mengapa kerap terjadi kasus yang sama tetapi dengan hukuman berbeda.

“Hakim mau mempertimbangkan atau tidak, ya kewenangan hakim. Enggak bisa kita analisa ke kanan atau kiri, terserah hakimnya,” Fickar menegaskan.

Bagaimanapun, penerapan hukum tetap harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan meski tersangka melakukan perbuatan yang tak manusiawi sekalipun.

“Artinya, hukum bukanlah alat balas dendam, hukum juga harus memperbaiki,” tandasnya.