Bagikan:

JAKARTA - Media asing, South China Morning Post (SCMP), menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai "Suharto kecil." Tulisan yang berjudul ‘Little Suharto’? Indonesian leader Widodo’s places Twitter personalities, allies in key posts, sparking backlash itu membeberkan soal penunjukkan beberapa pendukung Jokowi yang diangkat menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Intinya SCMP memandang kronisme Orde Baru bagai hidup lagi di pemerintahan Jokowi.

Perdebatan soal penunjukan loyalis Jokowi yang menjadi komisaris di beberapa perusahaan plat merah memang sedang jadi buah bibir. Kristia Budiarto atau kerap dipanggil Kang Dede, misalnya. Influencer media sosial yang punya pengikut hampir 100.000 orang di Twitter tersebut diangkat jadi komisaris perusahaan Pelni. 

Budiarto dikenal sebagai loyalis Jokowi. Pada pemilu tahun lalu, ia sering mendengungkan pujian atas program dan kebijakan yang diusulkan Jokowi.

Ruang publik semakin riuh saat Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Tohir, bekas Ketua Tim Kampanye Nasional saat Pilpres 2019 silam, menunjuk tiga tokoh media sosial lainnya untuk menjabat komisaris di beberapa perusahaan. Pertama Ulin Yusron, pendukung setia Jokowi selama dua pemilu terakhir ini, menjadi komisaris Perusahaan Pengembangan Pariwisata Indonesia.

Kedua, Dyah Kartika Rini, yang membantu Jokowi membangun jaringan relawan media sosial saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta pada 2012. Ia juga mendapat rejeki nomplok sebagai komisaris perusahaan operator jalan tol, Jasa Raharja. Ketiga, Eko Sulistyo, sosok yang membantu Jokowi pada pemilu wali kota Solo 2005, ia menjabat sebagai komisaris PLN saat ini.

Secara keseluruhan, SCMP mencatat setidaknya ada 17 pendukung Jokowi yang sebagian besar merupakan tim resmi kampanyenya tahun lalu telah dilantik menjadi komisaris dalam satu tahun terakhir. Termasuk Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman yang juga menjabat sebagai komisaris di Waskita Karya. (Redaksi VOI sudah menulis siapa-siapa saja relawan Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu yang kini duduk manis di kursi komisaris sejumlah BUMN. Baca artikelnya di sini)

Tangkap layar artikel di South China Morning Post

Bagi BUMN, peran dewan komisaris adalah mengawasi dan memberi masukan atas pengelolaan perusahaan. Dewan sendiri tidak memiliki kewanangan untuk membuat keputusan. Setidaknya ada 142 BUMIN di Indonesa, dan gaji bulanan seorang komisaris BUMN berkisar antara 80 juta rupiah sampai 3 miliar rupiah. 

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih kepada This Week in Asia melihat hal ini sebagai praktik kronisme. "Ini adalah bentuk kronisme yang dipandang pemerintah sebagai sesuatu yang legal, namun justru menunjukkan kemunduran kenegarawanan di Indonesia," katanya.

Kata Alamsyah, Presiden Jokowi kini tak lagi berdaya karena mendapat banyak "tagihan" dari para pendukungnya. "Akibatnya, mereka diberi kursi di dewan komisaris perusahaan plat merah," ujarnya. 

Suharto kecil 

SCMP juga menyinggung soal ambisi Jokowi yang ingin menarik investor asing secara besar-besaran lewat Undang-Undang Omnibus Law. Mereka menyebut salah satu cara untuk menggolkan tujuannya itu yakni dengan menunjuk Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan.

Pasalnya dengan menggandeng Prabowo di pemerintahannya, Jokowi otomatis memperkuat koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat karena Partai Gerindra yang diketuai Prabowo ikut merapat. Alhasil setidaknya Jokowi punya dukungan lebih dari 74 persen dari total kursi di DPR.

"Jokowi tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Dia mengandalkan figur publik dan relawan selama pemilu ntuk mendapatkan pendukung, dan ia tahu bahwa dirinya berkewajiban untuk membalas mereka," kata Sulfikar Amir, prosesor dari Sekolah Ilmu Sosial di Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

"Jokowi kemudian terjebak dalam agenda oligarki, yang menurutnya sejalan dengan tujuannya. Agenda ini tidak bisa dikritisi, ia sekarang hanya fokus pada peningkatan investasi, dan itu membawa kita kembali ke era Suharto. Dia adalah Suharto kecil, menurut saya," kata Amir. 

SCMP juga menjelaskan perilah kekecewaan para aktivis sosial atas penunjukan Ulin Yusron sebagai komisaris. Pasalnya ia pernah tersandung masalah membongkar identitas seorang pria yang konon berencana memenggal kepala presiden, namun kemudian terbukti bahwa ia salah sangka. Dia lalu meminta maaf dan menghapus unggahan tersebut, meskipun tangkapan gambar unggahannya masih dapat ditemukan di internet.

Menurut Amir, guru besar ilmu sosial NTU, hal itu memunculkan rasa ketidakadilan. Akibat hal itu timbul perasaan bahwa satu-satunya hal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan posisi mentereng di perusahaan milik negara ialah dengan berani membela presiden di media sosial.

Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Erick Thohir saat peresmian secara virtual jalan tol Manado-Bitung ruas Manado-Danowudu (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)

"Orang-orang biasa yang telah bekerja keras hanya untuk bertahan bisa dimengerti bila merasa kesal, karena mendengar bahwa orang-orang ini dibayar dalam jumlah besar untuk tidak melakukan apa-apa. BUMN juga mungkin tidak diuntungkan dengan penunjukan mereka, karena mereka tidak memliki kekuasaan eksekutif untuk menciptakan dampak," kata Amir.

Berdasarkan temuan Ombudsman tahun lalu, 397 komisaris BUMN, dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN, juga bekerja sebagai pejabat tinggi di kementerian atau lembaga negara. Hal itu menurut Ombudsman adalah praktik yang melanggar hukum di Indonesia. 

"Belum ada kemajuan signifikan dalam pemberantasan kronisme di Indonesia sejak reformasi," kata Alamsyah, anggota Ombudsman. "Pemerintah belum menujukkan tekad yang kuat untuk memperbaiki pengeololaan BUMN, mereka masih menrapkan cara lama dalam mengelolanya, yaitu memanfaatkannya sebagai sapi perah politik."

Menteri BUMN Erick Thohir mengakui banyak pihak yang menitipkan nama kepadanya untuk dijadikan komisaris maupun direksi perusahaan di pelat merah. Namun menurutnya itu adalah hal lumrah. Ia juga tak menampik bahwa nama-nama tersebut juga dijadikan pertimbangan dalam melakukan perombakan manajemen di BUMN.

"Hal yang wajar saya rasa [ada titipan], tetapi yang penting kompetennya dan prosesnya baik. Kalau memang diajukan, [hitam di atas putih] iya dong, itu yang kita mauin dong. Ga semuanya diterima, buktinya banyak yang kecewa juga," kata Erick dalam program "Mata Najwa" yang disiarkan Trans7, 5 Agustus. 

Erick bilang, sejauh ini hanya 10 persen saja dari total titipan yang lolos, itu pun harus melewati proses yang ditentukan kementerian. Salah satunya yakni harus melewati proses tim penilai akhir (TPA). Proses TPA kali ini juga diklaim berbeda dengan proses TPA sebelumnya, selain meminta pertimbangan presiden, pada tahap ini juga diperlukan masukan dari menteri-menteri terkait.

Selain itu pengecekan latar belakang juga hal yang wajib dilakukan untuk mengetahui rekam jejak calon komisaris tersebut. Yang paling penting kata Erick, kandidat itu harus punya kapabilitas dan kontributif untuk perusahaan yang ditempatinya.