Alasan Kenapa Pertentangan Trump dan Biden pada Pemilihan Hakim Agung AS Begitu Panas
Ilustrasi (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang segera mengganti posisi hakim agung AS ditentang keras rivalnya, Joe Biden. Pasalnya, pemilihan hakim agung adalah perkara penting yang dapat memengaruhi kehidupan warga AS dalam beberapa dekade.

Sebelumnya Trump menyatakan bakal segera mengganti posisi hakim yang terkenal liberal, Ruth Bader Ginsburg yang meninggal Jumat lalu. Sontak Biden menyuarakan protesnya berbarengan ketika Senat Republik kedua menyuarakan hal yang sama seperti diwartakan Reuters.   

Penunjukan presiden seperti itu, jika mendapat restu Senat, akan memperkuat mayoritas golongan konservatif 6-3. Bila itu terjadi artinya, kemungkinan besar kebijakan hukum dan kehidupan AS bakal ke arah konservatif dalam beberapa dekade. 

Sementara kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden mendesak Senat Partai Republik untuk tidak memberikan suara pada kandidat mana pun yang dinominasikan ke Mahkamah Agung AS. Ia menyebut rencana Presiden Donald Trump sebagai "latihan kekuatan politik mentah."

"Para pemilih di negara ini harus didengarkan, merekalah yang diharapkan oleh Konstitusi untuk memutuskan siapa yang memiliki kekuasaan untuk membuat penunjukan ini," kata Biden. 

"Untuk menghentikan pencalonan ini melalui Senat hanyalah sebuah latihan kekuatan politik mentah," tambahnya.

Mantan wakil presiden tersebut menolak gagasan untuk merilis nama-nama calon hakim agung yang potensial. Biden mengatakan bahwa melakukan hal itu, dapat memengaruhi keputusan kandidat tersebut dalam peran pengadilan saat ini serta membuat mereka terkena "Serangan politik yang tak henti-hentinya."

Sebelumnya pada Minggu 20 September, Senator Lisa Murkowski dari Alaska mengatakan dia tidak mendukung rencana Trump untuk bergerak cepat mengisi kursi hakim agung. Ia menjadi orang kedua dari 53 anggota Partai Republik di ruang 100 kursi yang mengajukan keberatan atas penggantian Ginsburg yang dipercepat.

Pada Sabtu 19 September, Senator Republik Susan Collins dari Maine juga mengatakan presiden terpilih yang berhak memilih calon mahkamah agung. Collins saat ini berada dalam pertarungan pemilihan ulang yang ketat, sementara masa jabatan Murkowski saat ini diperpanjang dua tahun lagi.

Sementara itu, senator dari Republik yang cukup moderat Lamar Alexander, tidak keberatan dengan ide pemungutan suara. "Tidak ada yang perlu terkejut bahwa mayoritas Senat Republik akan memberikan suara pada nominasi hakim agung dari Partai Republik, bahkan selama pemilihan presiden,” katanya.

Belajar dari masa lalu

Kita ambil contoh empat tahun lalu. Saat itu, Hakim Antonin Scalia, seorang teman dekat Ginsburg, meninggal pada Februari 2016. Namun pada saat itu, Demokrat tak langsung buru-buru menggelar prosesi penunjukan hakim baru karena waktunya berdekatan dengan Pemilu. 

Saat itu Partai Republik memblokir sidang konfirmasi untuk hakim yang dinominasikan oleh Barack Obama. Hakim baru dinominasikan saat Trump terpilih pada Januari 2017. Saat itu ia menyodorkan Hakim Neil Gorsuch untuk mengisi kekosongan jabatan sebelumnya.

Ancang-ancang Trump untuk mengganti Ginsburg sudah dilakukan sebelum dirinya meninggal. Namun, Ginsburg saat itu menolak.

"Keinginan saya yang paling kuat adalah saya tidak akan digantikan sampai presiden baru dilantik," tulis Ginsburg dalam sebuah pernyataan kepada cucunya sebelum meninggal dunia, menurut National Public Radio.

Tak heran apabila sepeninggalnya Ginsburg, Trump ngebet untuk "menaruh" orang baru di posisi strategis itu. Trump mengatakan bahwa dia akan memberikan nominasi pengisi kursi hakim agung minggu ini dan menunjuk Amy Coney Barrett dari Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit Ketujuh yang berbasis di Chicago. Trump juga menyebut nama Barbara Lagoa dari Sirkuit ke-11 yang berbasis di Atlanta sebagai kandidat yang mungkin mengisi posisi Mahkamah Agung.

Kematian Ginsburg membalikkan keadaan kampanye presiden, memberi energi pada basis konservatif Trump, yang sangat ingin melihat pengadilan membatalkan keputusan Roe V. Wade 1973 yang melegalkan aborsi secara nasional. Hal ini menghadirkan komplikasi baru dalam pertempuran untuk mengontrol Senat AS.   

Peran vital Mahkamah Agung AS

Melansir BBC, Mahkamah Agung AS seringkali menjadi keputusan akhir tentang undang-undang yang sangat kontroversial, perselisihan antara negara bagian dan pemerintah federal, serta banding terakhir untuk menghentikan eksekusi. Pengadilan mendengar kurang dari 100 kasus setahun dan pengumuman penting dibuat pada Juni.

Kasus biasanya dibawa ke pengadilan setelah naik banding dari serangkaian pengadilan yang lebih rendah, meskipun dalam kasus yang sensitif, pengacara dapat mengajukan petisi untuk sidang. Pendapat pengadilan juga dapat menjadi preseden, mengarahkan hakim lain untuk mengikuti interpretasi mereka dalam kasus serupa.

Dalam beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung AS telah memperluas pernikahan gay ke semua 50 negara bagian, mengizinkan larangan perjalanan Presiden Donald Trump diberlakukan, dan menunda rencana AS untuk mengurangi emisi karbon. Ginsburg sendiri memilih menyelesaikan masalah progresif di pengadilan, termasuk menegakkan bagian-bagian penting dari Undang-Undang Perawatan Terjangkau 2010, umumnya dikenal sebagai Obamacare, dan melegalkan pernikahan sesama jenis.

Sejak terpilih sebagai presiden, Trump telah memilih dua hakim baru, Neil Gorsuch dan Brett Kavanaugh. Sebelum kematian Ginsburg, pengadilan tersebut dianggap memiliki mayoritas konservatif 5-4, yang mengarah ke apa yang oleh beberapa orang disebut sebagai pengadilan yang paling konservatif dalam sejarah AS modern.

Namun, Ketua Mahkamah Agung AS John Roberts, yang dicalonkan oleh presiden Partai Republik, telah memihak empat hakim liberal dalam beberapa putusan, termasuk kasus yang melibatkan aborsi. 

Penelitian AS menunjukkan bahwa pengaruh Mahkamah Agung di luar negeri telah berkurang selama dua dekade terakhir. Hal tersebut dikarenakan sistem pengadilan di negara lain lebih berkembang dan pengaruh AS secara umum berkurang. Lebih sedikit pengadilan internasional yang mengutip pendapat Mahkamah Agung AS, semakin banyak yang mengutip Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan pengadilan tertinggi nasional lainnya.