Kalau Pemerintah Semangat Menghijaukan Hutan, Kok Bisa Meneken UU Ciptaker yang Disebut Melegitimasi Eksploitasi Hutan?
Presiden Jokowi melakukan penanaman pohon bersama masyarakat di salah satu daerah aliran sungai (DAS) di Sintang, Kalbar. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan rencananya untuk menanggulangi banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Salah satunya ia bakal menghijaukan kembali daerah aliran sungai (DAS) di daerah terdampak. Pemerintah tahu kalau pohon itu penting buat mencegah banjir. Mereka paham betul itu. Tapi kok sudi mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dianggap bisa mengeksploitasi hutan?

Saat bertandang ke Kabupaten Sintang 8 Desember kemarin, Jokowi menyempatkan diri menanam berbagai jenis pohon. Dalam kunjungan itu pula presiden memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama perusahaan besar membuat tempat persemaian. Semua itu dilakukan demi terciptanya revitalisasi kawasan daerah aliran sungai.

"Kami akan perintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta perusahaan besar di sini untuk membuat nursery, persemaian sehingga penghutanan kembali bisa berjalan," kata Jokowi dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.

Langkah penghijauan kembali di DAS sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Melawi menjadi salah satu langkah pemerintah untuk menghadapi masalah banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Selatan. Jokowi mengamini kalau bencana ini terjadi bukan karena hujan ekstrem tapi disebabkan oleh kerusakan lingkungan.

"Ini terjadi pertama memang adanya hujan ekstrem dan kedua, ini perlu kita atasi adalah kerusakan daerah aliran sungai, kerusakan area tangkapan hujan," ujar eks Gubernur DKI Jakarta itu. "Inilah yang akan kita siapkan yaitu penanaman kembali, penanaman pohon, penghutanan kembali daerah-daerah yang ada di sekitar Sungai Kapuas maupun Melawi."

Sementara untuk menanggulangi banjir dalam jangka pendek, dia bilang pemerintah kini tengah membuat geotube yang berisi dari pasir. "Kita harapkan dalam jangka pendek kita bisa mengurangi banjir yang ada."

Krisis lingkungan

DAS Kapuas membentang dari Kabupaten Kapuas Hulu sampai ke Kota Pontianak yang melintasi sejumlah kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Landak. Sungai ini, di samping besar manfaatnya, juga menyimpan berbagai persoalan bak benang kusut. Salah satunya terkait maraknya tambang ilegal. Setidaknya, anak Sungai Kapuas, yakni Sungai Meliau dan Kalaman menjadi salah dua daerah paling rusak. 

Seperti dikutip Kompas.id,  di Desa Hurung Pukung, Kapuas, tambang emas ilegal dapat dengan mudah dijumpai di jalan besar yang menjadi akses utama Desa Hurung Pukung. Setidaknya pada 2020 ratusan petambang bergantian masuk di wilayah tersebut.

Baik Sungai Meliau maupun Kalaman, sebelum ditambang merupakan sumber ikan bagi masyarakat sekitar. Tapi karena sebagian besar masyarakat lebih tergiur pada tambang, sungai-sungai itu pun ditambang sampai rusak.

Dalam sehari penambang bisa beroperasi 12-14 jam per hari. Mereka menggunakan alat tradisional kato angkat yang berfungsi mengisap pasir di lubang-lubang yang sebelumnya digali dengan ekskavator. Setelah diisap, terdapat alat kasbuk yang fungsinya memisahkan air dan material lainnya. Dalam kasbuk itu para penambang menggunakan raksa atau merkuri yang diperoleh dari pemilik modal.

Kepala Desa Hurung Pukung, Sinarti menjelaskan kepada Kompas.id, tambang ilegal di desanya sudah dimulai sejak 1970-an. Menurutnya menambang emas memang sudah jadi mata pencarian di daerahnya.

"Menambang memang jadi mata pencarian di sini. Tak hanya di sini, tapi di seluruh kecamatan ini," kata Sinarti.

Soal penertiban, jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Barat bukannya berpangku tangan. Mereka sudah berkali-kali melakukannya operasi operasi penertiban pertambangan emas tanpa izin (PETI). Namun, tampaknya hal itu sulit untuk ditertibkan.

Seperti dikutip Mongabay, istilah PETI diberikan pada penambang swadaya masyarakat yang tak mengantongi izin pemerintah. Kegiatan ini seringkali tidak memerhatikan aspek kerusakan lingkungan dan kesehatan.

Laporan United Nations Environmental Program (UNEP) pada 2013 mengidentifikasi sektor pertambangan emas skala kecil (PESK) sebagai penymbang utama emisi dari merkuri 37 persen.  Asia Timur dan Asia Tenggara menyumbang penyebaran merkuri mencapai 39,7 persen. Indonesia pun berada di zona merah peredaran dan pemanfaatan merkuri. Setiap tahunnya 200 ton merkuri dilepaskan (dirilis) ke udara, tanah dan perairan.

Presiden Joko Widodo bersama Mensos Tri Rismaharini di Kelurahan Ladang Sintang Kalimantan Barat, Rabu, 8 Desember (Foto: Teofilusianto Timotius/Antara)

Petaka UU Ciptaker 

Dalam upaya menanggulangi permasalahan lingkungan ini, memang perlu ada sinergi dari berbagai sektor. Terutama dari segi penegakkan hukum. Tapi sayangnya, dari segi peraturan, pemerintah dianggap mundur dalam menghadapi isu lingkungan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Catatan Kritis yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2020) misalnya, menilai terdapat pasal-pasal kontroversial dalam UU Ciptaker. Dalam catatan yang dikutip VOI, salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 36 butir 2, tentang perubahan Pasal 18 UU Kehutanan. Pasal ini dianggap melegitimasi eksploitasi sumberdaya hutan yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan, karena mengatakan pengusaha tidak harus melakukan konservasi hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau.

"Dengan melihat narasi investasi di dalam UU Ciptaker ini, sesungguhnya dapat ditebak bahwa selain merupakan legalisasi bagi laju eksploitasi pada delapan wilayah yang telah berada di bawah luas minimum kawasan hutan yang harus dipertahankan, juga untuk melonggarkan limitasi pengusahaan kawasan hutan pada wilayah provinsi yang lain di luar Pulau Jawa, Bali, dan Lampung," tertulis.

Jokowi paham betul apa yang harus dilakukan untuk merevitalisasi kawasan daerah aliran sungai. Apalagi setelah bencana banjir yang melanda setidaknya 12 kecamatan di Kabupaten Sintang, Kalbar. Namun kenapa pemerintah ngotot meneken UU Ciptaker?

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut sikap pemerintah ini sebagai anomali kebijakan. "Itulah yang disebut anomali kebijakan atau paradoks kebijakan," kata Ujang kepada VOI.

Menurut Ujang kalau Jokowi punya konsep reboisasi hutan, maka sudah sepatutnya tidak berkeras melegitimasi eksploitasi hutan seperti termaktub dalam UU Ciptaker. "Mestinya jika Jokowi punya konsep reboisasi atau penghijauan kembali hutan, maka sudah sepatutnya tidak ngotot meligitimasi eskploitasi dalam UU Ciptaker yang bermasalah tersebut. Pemimpin yang hebat, mesti selaras antara kata dan perbuatan."

"Kita semua mendukung program reboisasi ala Jokowi. Namun eksploitasi hutan juga jangan dibiarkan. Karena kerusakan alam itu pula, maka banyak terjadi bencana dimana-mana," pungkasnya.

*Baca Informasi lain tentang UU CIPTA KERJA baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya