BIN Tegaskan Tak Punya Wewenang Tangkap Koruptor
Lambang Badan Intelijen Negara (BIN) (Foto: Instagram @binofficial_ri)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan pihaknya tak punya wewenang untuk menangkap koruptor baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Hal ini disampaikan Wawan menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan karena gagal mendeteksi keberadaan buronan kasus Cessie Bank Bali Djoko Tjandra, sehingga dapat dengan mudah bepergian di Indonesia.

"Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan baik di dalam maupun di luar negeri. BIN bukan lembaga penegak hukum. BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara," kata Wawan melalui keterangan tertulisnya, Rabu, 29 Juli.

Meski begitu, Wawan menegaskan BIN melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen dalam dan luar negeri dalam rangka memburu koruptor secara tertutup. Hal ini, kata dia, terjadi saat penangkapan Totok Ari Prabowo dan Samadikun Hartono. 

"Demikian juga dalam kasus Maria Pauline Lumowa yang ujung tombaknya adalah Kemenkumham," ujarnya.

Melalui beleid itu, Wawan mengatakan BIN memiliki wewenang untuk melakukan operasi di luar negeri untuk mengejar koruptor yang buron. Dia menambahkan, BIN juga memiliki perwakilan di luar negeri tempat para koruptor bersembunyi. Hanya saja, tidak semua negara itu memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Lebih lanjut, dia mengatakan para koruptor itu kebanyakan mengajukan peninjauan kembali termasuk Djoko Tjandra dan yang berwenang untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru atau novum yang dimiliki adalah pihak yudikatif.

"Jika ada pelanggaran dalam SOP proses pengajuan PK maka ada tindakan atau sanksi dan BIN tidak berkewenangan melakukan intervensi dalam proses hukumnya," tegas Wawan.

Sebelumnya, ICW meminta agar BIN dievaluasi oleh Presiden Jokowi karena dianggap tak mampu melacak keberadaan buronan Djoko Tjandra.

"Kasus Djoko Tjandra menunjukkan bahwa BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik, hingga mendaftarkan peninjauan kembali ke PN Jakarta Selatan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan BIN sebenarnya memiliki pengalaman memulangkan buronan koruptor yaitu Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada tahun 2015 lalu dan Samadikun Hartono di China pada tahun 2016. Namun, di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, BIN tak mampu mendeteksi para buronan koruptor tersebut.

Sehingga, desakan agar Jokowi mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan pun muncul. Apalagi, merujuk pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2020, negara memberikan alokasi anggaran kepada BIN sebesar Rp 7,4 triliun, yang Rp 2 triliun di antaranya digunakan untuk operasi intelijen luar negeri.

"Oleh sebab itu, ICW mendesak agar Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan, karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," ucapnya.

Setelah mendesak melakukan evaluasi, ICW juga mendesak agar Kepala BIN Budi Gunawan dicopot dari jabatannya jika kedapatan tak memberikan informasi mengenai masuknya buronan koruptor baik kepada Presiden Jokowi maupun aparat penegak hukum lainnya.