Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah menghapus cuti bersama 24 Desember 2021 sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi SKB Tiga Menteri Nomor 712 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, serta Nomor 3 Tahun 2021 tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama 2021.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, menjelaskan kebijakan penghapusan cuti natal dan tahun baru dilakukan untuk membatasi mobilisasi atau pergerakan orang yang lebih masif menjelang libur akhir tahun.

Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Persiapan Angkutan Natal 2021 dan Tahun Baru 2022, bersama Menhub Budi Karya Sumadi, perwakilan Dirlantas seluruh Indonesia, Dishub seluruh Indonesia, Satgas COVID-19, beserta stakeholder terkait, yang diselenggarakan secara daring dan luring, pada Selasa, 26 Oktober. 

"Kita upayakan menekan sedikit mungkin yang akan berpergian. Dan ini sudah diberi pagar-pagar pembatasan. Mulai dari tidak adanya libur cuti bersama. Kemudian pelarangan mereka untuk mengambil cuti akan kita lakukan," ujar Muhadjir.

Menurutnya, kebijakan tersebut membutuhkan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat. Oleh sebab itu perlu dilakukan bersama oleh pihak kepolisian, dinas perhubungan, dan juga media massa. Ini perlu dilakukan agar masyarakat lebih memaklumi keadaan yang ada dan tidak nekat melanggar.

"Saya mohon nanti ada kampanye besar-besaran untuk mengimbau masyarakat agar tidak berpergian. Tidak pulang kampung, atau berpergian atas tujuan-tujuan yang tidak primer," katanya.

 

Menyikapi keputusan pemerintah, Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar Melkiades Laka Lena, setuju dengan penghapusan cuti bersama natal dan tahun baru tahun ini. Menurutnya, saat pendemi perlu langkah-langkah yang sistematis.

"Pandemi masih berlangsung, dan potensi gelombang ketiga bisa terjadi kalau tidak ada langkah pencegahan serius dan sistematis, termasuk kebijakan menghapus cuti bersama selama libur natal dan tahun baru," kata Melki, Rabu, 27 Oktober. 

Politikus Golkar itu menilai, mungkin akan ada efek buruk dari aturan itu. Namun kata dia, hal itu demi kesehatan masyarakat Indonesia.

"Dalam prinsip kesehatan, lebih baik mencegah daripada mengobati. Kebijakan ini mencegah orang terkena COVID-19," kata Melki.

 

Sementara ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan kebijakan yang diambil pemerintah akan cukup membantu agar tidak ada lonjakan kasus. 

 

Hanya saja, Dicky berpendapat perlu ada kebijakan lain agar pencegahan tersebut bisa lebih efektif.

"Saya kira itu langkah yang akan cukup membantu, ya. Tapi bicara efektivitas tentu tidak bisa berdiri sendiri, harus ada kebijakan di sektor lain yang saling menunjang," ucap Dicky, Rabu, 27 Oktober. 

Dicky menilai, kebijakan yang diambil pemerintah harus didukung dengan kebijakan di masing-masing kantor. Misalnya kantor memberikan insentif ketika para karyawannya tidak keluar daerah. Selain itu, sistem pemantauan pun penting untuk dilakukan agar karyawan tidak mencuri kesempatan bepergian. 

 

Di samping itu, Dicky menjelaskan terdapat lima hal yang bisa dilakukan dalam upaya mencegah gelombang ketiga. 

 

"Pertama, imunitas masyarakat yang harus dikejar dengan vaksinasi. Kedua, vaksin booster bagi kelompok rawan seperti tenaga kesehatan dan penderita komorbid," jelas Dicky.

Faktor ketiga adalah penguatan 3T (testing, tracing, treatment). Dicky menekankan pentingnya testing bagi orang-orang yang bepergian. Sementara itu, faktor keempat adalah penguatan 5M.

"Tidak bepergian dan tidak liburan tapi tidak pakai masker ya sama saja. Yang kelima dan terakhir, penguatan surveillance genomik yang pembatasan pintu masuk agar memantau varian-varian baru," pungkas Dicky.