Saat Pemberantasan Korupsi Dianggap Tak Diperhatikan Jokowi dan Dianggap Hanya <i>Lip Service</i>
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Kritikan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya memberantas korupsi di Tanah Air bermunculan. Selama tujuh tahun menjabat, ia dianggap tak bersungguh-sungguh dan hanya sekadar memberi lip service dalam upaya melawan tindak rasuah yang masif terjadi dan merugikan masyarakat.

Oktober tahun ini menjadi tahun kedua bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, pemerintah saat ini dianggap tak memberi perhatian dalam upaya pemberantasan korupsi dan lebih fokus dalam upaya pembangunan infrastruktur oleh peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainur Rahman.

"Saya melihat bahwa tidak ada perhatian dari Presiden dalam pemberantasan korupsi," kata Zainur kepada wartawan yang dikutip Kamis, 21 Oktober.

Penilaiannya ini makin kuat jika berkaca dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang merosot dari angka 40 di 2019 ke 37 di 2020. Menurut Zainur, penurunan drastis itu menunjukan Indonesia masih lekat dengan korupsi dan belum menjadi negara yang bersih dari pidana korupsi.

Selain itu, ia berpendapat turunnya IPK Indonesia ini disebabkan karena adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019 lalu. Kondisi ini, sambung dia, juga makin diperparah dengan pemilihan pimpinan KPK yang buruk melalui pansel bentukan presiden Jokowi.

Sehingga, dua faktor itu kini berhasil menggembosi pemberantasan korupsi dan memperburuk kinerja KPK. Apalagi, di bawah kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri angka penindakan utamanya operasi tangkap tangan (OTT) menurun drastis sehingga komisi antirasuah tak lagi disegani para pejabat korup.

Lebih lanjut, dia menganggap turunnya kinerja KPK juga menjadi salah satu faktor. Zainur mengatakan komisi antirasuah kini lebih banyak dirundung masalah internal, salah satunya terkait Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang akhirnya berujung pada pemecatan Novel Baswedan dan 57 pegawai KPK.

"KPK juga banyak dirundung oleh permasalahan internal, salah satunya adalah akibat dari revisi UU KPK yang mengubah status kepegawaian menjadi ASN, ada Tes Wawasan Kebangsaan yang menghasilkan pemecatan 57 pegawai," ungkapnya.

Dia mengatakan, pemecatan ini menjadi kerugian besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air apalagi puluhan pegawai ini mumpuni dalam menjalankan tugasnya. Namun, sayangnya Jokowi terkesan tutup mata karena rekomendasi terkait temuan pelanggaran dalam proses TWK yang dihasilkan Komnas HAM dan Ombudsman RI tidak dijalankan.

Selain dari hal tersebut, Jokowi juga dianggap tidak berinisiatif membuat perundangan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi secara optimal. "Kenapa, karena selama ini upaya pemberantasan korupsi terbentur banyak hal seperti misalnya dalam upaya pengembalian aset itu terbentur karena adanya hambatan-hambatan yang diatur dalam undang-undang Tipikor," jelasnya.

"Sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga belum dibahas antara pemerintah dan DPR bahkan tidak masuk prolegnas. Padahal RUU ini dapat menjadi perubah permainan atau game changer," imbuh Zainur.

Kemudian, Jokowi juga dianggap tak berupaya melakukan reformasi institusi di aparat penegak hukum lain seperti Kejaksaan Agung dan Polri. Padahal, dua lembaga ini kerap terjerat dalam perilaku menyimpang seperti yang paling menghebohkan adalah bekerja sama dengan buronan Joko Tjandra.

"Nah, reformasi aparat penegak hukum ini tidak dilakukan oleh pemerintah dalam dua bahkan tujuh tahun terakhir ini. Begitu juga reformasi birokrasi," ujar Zainur.

Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan pemberantasan korupsi (KPK) saat ini menjadi problem serius. Bahkan, dia melihat tak ada implementasi serius dalam upaya tersebut.

"Pemberantasan korupsi beberapa waktu ke belakang hanya sebatas lip service. Sebatas tulisan di atas kertas tanpa ada implementasi yang konkrit," kata Kurnia.

Melemahnya upaya pemberantasan korupsi ini terjadi karena prosesnya dilakukan dan didukung oleh elite politik yang duduk di pemerintahan juga DPR. "Pemerintah dan DPR adalah dalang di balik runtuhnya pemberantasan korupsi di Indonesia," tegas pegiat antikorupsi itu.

Berkaca dari kondisi yang ada, Kurnia lantas meminta pemerintah segera mengambil kebijakan konkrit terkait pemberantasan korupsi terutama terhadap KPK. Hal ini perlu dilakukan demi mencegah terjadinya penurunan IPK yang diyakini bisa terjadi.

"Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan kembali bagaimana IPK Indonesia di mana tahun 2020 sudah menurun dan sekarang belum ada kebijakan yang konkret juga dari pemerintah soal penguatan KPK maka kami meyakini IPK kita akan anjlok diikuti dengan indeks demokrasi dan lain-lain," ungkap Kurnia.

Penguatan KPK, sambungnya, mejadi hal yang harusnya jadi perhatian karena selama ini telah terjadi penggembosan terhadap lembaga itu termasuk menyangkut independensi. Praktik ini makin terlihat di tengah polemik Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dimana 58 pegawai KPK akhirnya didepak dari pekerjaannya karena tak lolos.

"Bahwa ada gerakan dari partai politik yang sepakat dengan kebijakan yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan Pimpinan KPK semata tapi ada kontribusi dari pemerintah dan DPR," jelasnya.

"Ini bukan pekerjaan Pimpinan KPK semata tapi ada kontribusi dari pemerintah dan DPR, tentu kalau kita mengaitkan langsung pemerintah dan DPR ada pada fase regulasi yang berujung pada Perkom 1 Tahun 2021 yang memuat soal TWK yaitu UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 atau revisi UU Nomor 30 Tahun 2002," pungkas Kurnia.