JAKARTA - Banyak hal membuntuti kritik 'The King of Lip Service' yang dilancarkan BEM UI kepada Jokowi. Terakhir Jokowi merespons, mengatakan terbuka pada kritik. Tapi itu saja. Sebuah 'lip service' lain dari Jokowi. Banyak pembuktian konkret yang bisa dilakukan Jokowi sebagai respons dari kritik ini.
Kita perlu mengarahkan mata pada substansi untuk melihat bahwa respons Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak menyentuh sedikit pun muatan kritik BEM UI. Dalam unggahan meme dan ilustrasi visual Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), setidaknya ada empat poin kritikan.
Pertama pernyataan Jokowi yang pernah bilang dirinya rindu didemo. Kata Jokowi, sebuah pemerintahan butuh dikritik, termasuk lewat demonstrasi. Jokowi mengatakan itu ketika masih menjabat Wali Kota Solo. Lalu apa yang terjadi ketika demonstrasi betul dilakukan?
BEM UI menyinggung berbagai aksi represif yang dilakukan aparatur negara di bawah pemerintahan Jokowi terhadap massa dalam banyak aksi unjuk rasa. Atau soal revisi UU ITE yang dikhawatirkan jadi alat merepresi. Jokowi juga dikritik atas responsnya terhadap upaya-upaya pelemahan KPK.
[JURNALISME RASA: Kami ke Lokasi Nobar KPK Endgame dan Buktikan Sabotase Tak Bisa Gulung Layar yang Sudah Terkembang]
Jokowi kerap menyatakan dukungan pada KPK, ketika di waktu yang sama melegitimasi revisi UU KPK yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Selain itu, soal bagaimana Jokowi meminta ketidaksepakatan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di waktu lain Jokowi juga meminta MK untuk menolak semua gugatan terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Dasar-dasar itulah yang mendasari penyebutan Jokowi sebagai 'The King of Lip Service'. Terlalu banyak pernyataan Jokowi bertolak belakang dengan tindakannya sendiri.
BEM UI turut memuat daftar pustaka dan referensi yang mendukung kritikan mereka, termasuk artikel MEMORI berjudul Sejarah UU ITE: Megawati Ajukan Draf, Disahkan SBY dan Berlanjut sampai Jokowi.
"Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan (Jokowi) tidak lebih dari sekadar bentuk 'lip service' semata," tulis BEM UI dalam keterangannya.
"Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya. Tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya."
Aliansi Kebebasan Berpendapat
BEM UI, BEM FISIP UI, BEM FH UI, BEM IKM FK UI, BEM FKG UI, BEM FIK UI, BEM FF UI, BEM IM FKM UI, BEM FIA UI, BEM FEB UI, BEM FMIPA UI, BEM FT UI, BEM FPsi UI, BEM Fasilkom UI, dan BEM Vokasi UI.#ITE#UUITE#SemuaBisaKena#RevisiUUITESekarangJuga pic.twitter.com/watZ5HUwJ1
— BEM UI (@BEMUI_Official) June 28, 2021
Merespons kritik 'lip service' dengan lip service
Lalu apakah respons Jokowi menyentuh empat poin kritikan itu? Dalam sebuah video unggahan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi mengaku paham kritik terhadapnya adalah bentuk ekspresi mahasiswa. Jokowi juga mengingatkan soal budaya sopan santun dan tata krama dalam video itu.
"Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa. Dan ini negara demokrasi. Jadi kritik ya boleh-boleh saja. Dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, budaya kesopan santunan."
Dalam video itu Jokowi juga mengulas sejumlah kritik yang pernah diterimanya. "Dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer. Ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo," tutur Jokowi.
"Kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter. Kemudian ada juga yang ngomong saya ini bebek lumpuh dan baru-baru ini ada yang ngomong saya ini Bapak Bipang. Dan terakhir ada yang menyampaikan mengenai The King of Lip Service," tambah dia.
Begitu banyak yang Jokowi ingat. Sayang, tak ada satu pun dalam kalimatnya, Jokowi menyinggung soal represivitas aparat, pelemahan KPK, kisruh Omnibus Law UU Cipta Kerja ataupun UU ITE.
Apa yang harus dilakukan Jokowi?
Publik butuh tindakan konkret. Pernyataan Jokowi tentang dirinya terbuka pada kritik tak berarti banyak. Researcher Associate Institute Criminal for Justice Reform Iftitahsari merinci apa-apa saja hal konkret yang bisa dilakukan Jokowi.
Pertama, segala terkait kebebasan berpendapat serta berekspresi. Jokowi wajib menolak pasal-pasal yang dapat mengancam kebebasan di atas. Misalnya dimulai dari yang paling dekat dengannya, yakni mencabut pasal penghinaan presiden yang kini masih tercantum di RKUHP.
"Kemudian di isu yang lain soal pasal karet UU ITE kemarin Presiden juga ada janji mau melakukan revisi UU tersebut. Tapi ternyata beda lagi yang dilakukan, yaitu hanya sebatas mengeluarkan SKB menteri. Mungkin perlu diingatkan soal komitmen-komitmen itu," Iftitahsari pada VOI, Kamis, 1 Juli.
Hal serupa disampaikan Amnesty International Indonesia. Pemanggilan oleh rektorat dan peretasan yang dialami sejumlah anggota BEM UI jadi sorotan. Dua hal itu menandakan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat belum terwujud di tengah kehidupan bernegara di Tanah Air.
“Tanggapan kritis seperti ini seharusnya mendapat dukungan, bukannya diminta dihapus oleh universitas atau mendapat pembalasan seperti peretasan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dikutip VOI.
“Dugaan peretasan yang dialami beberapa aktivis mahasiswa dan pengurus BEM UI juga merupakan bagian dari pembungkaman kritik yang dapat melanggar hak atas kemerdekaan untuk berekspresi dan berpendapat,” tambah Usman Hamid.
Usman Hamid merinci banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan Jokowi untuk menepati janji dan ucapan-ucapannya. Sepanjang 2020, Amnesty mencatat setidaknya 66 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 86 korban.
Korban peretasan itu terdiri dari 30 aktivis dan 19 akademisi. Sementara, di 2021 ada setidaknya 44 kasus peretasan akun media sosial maupun konferensi video terhadap individu ataupun organisasi yang juga dianggap kritis terhadap kebijakan negara.
Amnesty mengingatkan hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak tersebut dijamin oleh pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di dalam Komentar Umum Nomor 34 terhadap pasal 19 ICCPR.
Hak tersebut juga dijamin dalam Konsitusi Indonesia. Ada beberapa butir ketentuan yang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi: Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD, serta pada Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Jika Presiden Jokowi tidak ingin dicap sebagai ‘King of Lip Service’ maka ia harus menunjukkan ucapannya dengan komitmen nyata berupa kebijakan yang melindungi dan menjamin kemerdekaan berekspresi dan berpendapat," ungkap Usman.
Kami telah berupaya menghubungi Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman untuk menanggapi ini. Namun hingga Kamis siang, pukul 13.10 WIB, pesan kami tak dibalas. Panggilan telepon juga tak diangkat.
*Baca informasi lain tentang JOKOWI atau tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.