Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanggapi santai meme The King of Lip Service Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Tak ada raut wajah kesal sedikit pun. Ia bahkan meminta universitas tidak melarang mahasiswanya melancarkan kritik. 

"Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa, dan ini negara demokrasi. Jadi kritik itu boleh2 saja. dan universitas tak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tatakrama, budaya kesopansantunan. Saya kira biasa saja." kata Jokowi. 

Pernyataan itu sontak banjir pujian. Budayawan Sudjiwo Tedjo misalnya, ia mengaku salut atas kebijaksanaan Jokowi. "Salut, Pak Jokowi, mengaku oke-oke aja atas kritik terhadap dirinya bahkan meminta universitas tak membatasi kebebasan ekspresi mahasiswa."

Meski Sudjiwo menambahkan sedikit kritik bahwa lebih salut lagi kalau Jokowi segera membatalkan pasal penghinaan presiden dalam draf KUHP, tapi hal itu tak menggugurkan apresiasinya. "Lebih salut lagi kalau ke-legowo-an ini Bapak wujudkan secara nyata dengan cawe-cawe membatalkan pasal penghinaan presiden di draf KUHP."

Bukan cuma budayawan,  apresiasi juga datang dari akademisi. Dosen Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando misalnya, ia mengatakan "gimana bangsa ini enggak bangga dengan Anda, Pak Presiden?" kata Ade lewat akun Twitternya. 

Kritik, ledekan, bahkan cemoohan bukan barang baru bagi Jokowi. Dalam pernyataannya ia  mengatakan  kritikan semacam itu sudah sejak lama ia dapatkan. Mulai dari ada yang menyebut Jokowi klemar-klemer, plonga-plongo, otoriter, dan sebagainya. Lagi-lagi atas kebijaksanaannya, Jokowi menganggap hal itu biasa-biasa saja. 

"Itu kan sudah sejak lama. Dulu ada yang bilang saya klemar-klemer, ada yang bilang saya plonga-plongo, ganti lagi ada yang bilang saya otoriter, kemudian ada juga yang bilang saya ini bebek lumpuh, baru-baru ini ada yang bilang saya ini bapak bipang, dan terakhir ada yang bilang the king of lip service. Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa," ujar Jokowi sambil tersenyum. 

Kangen didemo

Tak ada yang berubah dari kebijaksanaan mantan wali kota Solo ini. Ia tetap mencirikan kedekatannya dengan masyarakat. Egaliter. Sosoknya yang terbuka terhadap kritikan juga memang sudah dipegangnya sejak lama. 

Buktinya, kita masih begitu familiar dengan ucapan Jokowi yang mengaku kangen di demo. Pernyataan ikonik itu keluar bahkan saat dirinya masih menjabat Wali Kota Solo, beberapa bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. 

"Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun... apapun... pemerintah itu perlu dikontrol," kata Jokowi lewat rekaman video yang pertama kali diunggah pada 18 Juli 2012. 

Jokowi blusukan (Sumber: Wikimedia Commons)

Prinsip itu ia pegang terus sampai sekarang. Ia tak pernah memerintahkan jajarannya untuk menghalang-halangi masyarakat termasuk mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya. 

Kalau pun sempat ada kericuhan di beberapa peristiwa unjuk rasa, mungkin itu adalah ulah penyusup. Sebut saja pada aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja 14 Agustus 2020. Ada ratusan orang ditangkap pada aksi tersebut. 

Seperti dikatakan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus pada waktu itu polisi memang sedang menggelar razia massa unjuk rasa di beberapa titik sekitar Gedung DPR/MPR. Mereka ditengarai bukan peserta aksi massa yang hendak berunjuk rasa. Polisi bilang mereka masih muda dan bukan mahasiswa maupun buruh. 

"Masih muda. Mereka bukan orang yang mau demo. Bukan buruh dan mahasiswa, mereka yang akan rencana untuk membikin kekacauan," kata Kombes Yusri. 

Mau bukti lain? kita bisa lihat saat masyarakat unjuk rasa menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari peristiwa itu setidaknya lebih dari 200 orang menjadi korban dari unjuk rasa yang berlangsung di berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan hingga Sulawesi Selatan. 

Aksi massa (Foto: VOI)

Pada demo mahasiswa yang dilakukan di Sulawesi Selatan berakhir ricuh. Akibatnya ada sekitar 37 mahasiswa dan 3 wartawan menjadi korban. 

Mulanya aksi di depan gedung DPRD Sulsel ini berjalan lancar. Namun ketika asyik melayangkan orasi, tiba-tiba lemparan batu terjadi. Mahasiswa berhamburan dan polisi menembakkan gas air mata. 

Massa aksi yang sudah berhamburan dikejar polisi. Ada sekitar 37 mahasiswa yang mendapatkan luka di bagian kepala dan wajah karena mendapat pukulan. Selain itu tiga wartawan yang sedang meliput juga menjadi korban. 

Tak punya tampang otoriter 

Di era pemerintahan Jokowi, kita nyaris tak lagi melihat adanya peristiwa penangkapan aktivis yang pernah terjadi saat masa Orde Baru. Ia lahir dari rahim penduduk sipil, yang berhasil mengalahkan mantan jenderal zaman pemerintahan Presiden Soeharto dua kali, dalam Pilpres dua periode terakhir. Sudah benar rakyat menaruh harapan besar padanya untuk melaksanakan amanat Reformasi. 

Sejak tiga tahun silam Presiden Jokowi sudah menegaskan dirinya sama sekali tak ada tampang menjadi pemimpin otoriter. "Saya heran saja, kenapa diblang otoriter. Pemimpin yang otoriter enggak ada potongan. Penampilan saya juga tidak sangar, ke mana-mana juga saya selalu tersenyum," kata Jokowi, 10 Maret 2018. 

Lantas bagaimana dengan insiden penangkapan mantan Jurnalis Dandhy Laksono dan Ananda Badudu? Memang benar mereka sempat ditangkap. Tapi pada akhirnya mereka dilepaskan kembali. 

Pada 2019 lalu Dandhy Laksono yang merupakan mantan jurnalis pernah ditangkap oleh pihak kepolisian. Dia ditangkap setelah menuliskan terkait Papua di akun Twitter miliknya. Saat itu, dia ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyebaran kebencian namun polisi memutuskan untuk tidak menahannya.

Setelah Dandhy, penangkapan kembali dilakulan oleh polisi terhadap Ananda Badudu. Penyanyi sekaligus aktivis dan jurnalis ini ditangkap terkait dengan penggalangan dana aksi demo 23-24 September 2019. Namun tak lama Ananda dibebaskan. 

Kalau memang betul Jokowi ini begitu terbuka dengan segala aspirasi masyarakat dan tidak anti-kritik, lantas mengapa ada catatan yang menyebut demokrasi di bawah rezim Jokowi mengalami kemunduran, dan munculnya ancaman kembalinya rezim otoritarian? Mungkin saja salah satu faktor mengapa muncul persepsi itu adalah karena ulah pendukungnya. 

Pendukung yang mencemari

Kritik BEM UI yang menyebut Presiden Jokowi sebagai the king of lip service berbuntut panjang. Salah satu penyebabnya adalah karena munculnya reaksi dari pihak yang dikenal sebagai pendukung sang presiden. 

Komentar pertama yang mengundang kontroversial terkait meme BEM UI datang dari Dosen UI Ade Armando. Ade bilang kalau jadi lembaga yang mewakili mahasiswa UI jangan sampai terlihat pandir alias bodoh alias bebal. Dan ungkapan yang menjadi kontroversial adalah ketika ia mengatakan "dulu masuk UI, nyogok ya?"

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komaruddin menilai pembelaan Ade untuk Jokowi itu malah merugikan Jokowi. "Apa yang dilakukan oleh AA itu melakukan pembelaan untuk Jokowi berimbas terlihat seperti blunder dan merugikan Jokowi," kata Ujang kepada VOI

Padahal menurut Ujang, apa yang dilakukan Ade bertentangan dengan kenyataan. "Karena itu yang bisa mereka lakukan tuk membela bosnya. Padahal apa yang dilakukannya bertentangan dengan kenyataan. Dan akhirnya berbalik sendiri."

Apa yang dilakukannya justru malah mengundang simpati bagi BEM UI. "Makanya banyak BEM lain mendukung dan rakyat juga mendukung," kata Ujang. 

Reaksi serupa yang tak kalah menimbulkan kontroversi juga dilakukan oleh orang yang dikenal sebagai pendukung Jokowi yakni Denny Siregar. Lewat akun Twitternya @dennysiregar7 ia menyindir BEM UI tidak 'jantan' karena mengkritik Jokowi dengan berlindung di balik institusi. 

"Untuk adik mahasiswa, usahakan kalau mau mengkritik atau menghina presiden sekalipun pakai nama sendiri bukan bersembunyi di balik nama institusi. Jantan dong, masih remaja kok sudah bencong," kata Denny.

Dan yang terbaru, twit kontroversial lain datang dari Komisaris PT Pelni yang pernah menjadi tim media sosial Jokowi saat Pilpres 2019, Kristia Budiyarto atau Kang Dede. Twitnya dianggap menyindir status Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra delapan tahun lalu, saat dirinya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama.

Dalam twitnya Kang Dede bertanya kepada Leon kapan akan ke Istana kembali. "Kapan ke Istana lagi dek @Leon_Alvinda?" kata dia. 

*Baca Informasi lain tentang JOKO WIDODO atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya